Okelah, Enjoy the Story chingu ^-^
A Choice
Aku
mengamati kelas dengan pintu yang masih tertutup itu dari kejauhan. ‘Mengapa
belum ada satupun yang keluar?’ pikirku dalam hati. Tak lama kemudian riuh
rendah suara murid – murid terdengar lalu pintu menyentak terbuka. Aku buru –
buru berlari ke balik tembok dan mengamati dengan saksama murid – murid yang
tengah berhamburan itu.
‘Ah,
itu dia.’ Gumamku senang begitu melihat seorang laki – laki yang ku tunggu
keluar dari kelas yang hampir kosong. Jeon Jin Ho. Seorang murid laki – laki
kelas 3A yang sudah ku sukai selama 2 tahun. Aku tidak pernah berbuat apapun
agar dia mengetahui perasaanku atau bahkan sekedar tahu nama ku. Bagiku,
mengamatinya dari kejauhan seperti ini sudah sangat cukup. Jika kita menyukai
seseorang, itu adalah urusan kita dengan hati kita sendiri. Lain hal nya dengan
suka serta ingin memiliki, kedua hal tersebut akan cenderung membuat seseorang
menyatakan perasaanya terhadap orang yang disukai. Aku bukan tipe orang seperti
itu. Sejauh ini, aku dan hati ku bahagia hanya dengan memandanginya dari
kejauhan – yang sudah menjadi rutinitasku setiap harinya. Sungguh kebahagiaan
yang sederhana.
Jeon
Jin Ho berjalan menjauhiku. Mau kemana dia? Seharusnya ia kan berjalan ke
arahku, bukan ke arah sebaliknya. Karena penasaran, diam – diam aku
mengikutinya. Baru akan melangkahkan kaki, tiba – tiba sebuah tangan menahan
ku.
“Ya, Shin-a (hei, Shin)! Mengagetkan ku
saja!” omelku pada laki – laki yang terkekeh menyebalkan itu. Ia tak tahan
melihat ekspresi kaget di wajah ku.
“Mianhae (maafkan aku).” Katanya masih
sambil terkekeh. “Jin Ho lagi?” sambungnya.
“O (iya). Aneh, mengapa ia berjalan ke
arah sana? Tangga terdekat kan ada disini.” Kataku sambil menunjuk barisan anak
tangga yang tak jauh dari kami.
“Mungkin
ia ingin ke perpustakaan. Ia kan murid pintar, sudah pasti sering ke
perpustakaan. Tidak seperti kau yang lebih suka menghabiskan waktu menonton
acara reality show.” Kata Kang Shin sambil menjitak kepalaku. Aku meringis
sekilas. Laki – laki ini hafal betul mengenai kebiasaan ku. Hal ini tidak
mengherankan mengingat kami sudah bersahabat sejak kelas 1 SMA.
“Dwaesseo. Kaja (sudahlah. Ayo pergi)!”
katanya sambil menarik tangan ku. Aku hanya bisa mengikuti langkah kakinya
dengan pasrah, namun mataku masih terus memperhatikan koridor yang telah kosong
itu. Berharap bisa melihat wajah Jin Ho untuk terakhir kalinya pada hari ini.
✿❀✿
Aku
membaca novel yang ku pegang dengan serius sampai tidak memperhatikan jalan.
Sekarang adalah jam istirahat, dan aku ingin menemui Shin di lapangan sepak
bola. Sebenarnya aku merasa sedikit malas, karena untuk menuju lapangan sepak
bola aku harus melewati lapangan basket terlebih dahulu. Dan sebagaimana
lapangan sepak bola, lapangan basket juga tak pernah kosong dari siswa yang
berlatih secara rutin. Terlebih lagi, para anggota ekstrakurikuler ini memiliki
para penggemar wanita yang tak pernah absen menunggui mereka latihan. Aku
sedikit canggung melewati banyak orang. Itulah sebabnya mengapa aku malas
menemui Shin sekarang, kalau saja ia tidak meminta dibawakan minum olehku, aku
tidak akan mau ke lapangan sepak bola saat jam istirahat.
Aku
terus menundukkan wajah ke lembaran novel yang ku pegang sambil berjalan. Botol
minum untuk Shin ada di tangan kiri ku. Saking seriusnya membaca, aku sampai
terlambat menyadari bahwa beberapa anak telah riuh meneriakiku. Aku mengangkat
wajahku dan menoleh ke arah lapangan basket yang sedang ku lintasi. Tepat saat
itulah aku melihat sebuah bola basket meluncur cepat ke arahku. Tidak banyak
yang ku lakukan dalam waktu sepersekian detik. Dan akhirnya bola basket itu
benar mendarat di wajahku dan berhasil menumbangkan keseimbanganku. Aku
terjatuh.
Kepala
ku terasa pusing, dan hidungku sakit sekali. Aku takut dalam sekejap aku telah
kehilangan hidung mancungku. Beberapa kali aku goyangkan kepala ku untuk
menghilangkan rasa pusing yang terus mendera. Dan tidak membutuhkan waktu
banyak bagi siswa – siswi untuk mengerumuniku. Suara mereka tidak terdengar
jelas di telingaku. Sepertinya tidak ada yang benar – benar menanyakan
keadaanku, mereka hanya saling berbisik sambil terus memperhatikanku. Cih,
menyebalkan!
“Gwaenchana (baik – baik saja)?” akhirnya
aku mendengar pertanyaan yang ku tunggu dari seseorang dengan napas sedikit
tersengal. Lalu kurasakan seseorang berjongkok tepat didepanku, aku pun
mengangguk.
“Ne, gwaencha... (ya, baik – baik..),”
kata – kata ku terhenti begitu melihat seseorang yang selalu ingin ku lihat
setiap hari. “..na (..saja).”
“Jinca gwaenchana (sungguh baik – baik
saja)? Na jeongmal mianhae (aku betul
– betul minta maaf).” Suaranya benar – benar terdengar menyesal.
”O (iya).” Kataku sambil mengangguk.
Tiba
– tiba wajahnya terlihat kaget. “Omo,
andwae (astaga, tidak)!” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arah
wajahku. Aku sedikit memundurkan wajahku. Dan aku rasakan ia menyentuh bagian
bawah hidungku. Aku sama kaget nya begitu melihat di jarinya terdapat bercak
berwarna merah. Pantas saja hidungku sakit sekali, berdarah rupanya.
“Aku
rasa kau tidak benar – benar baik. Ayo ku antar kau ke ruang kesehatan.” Ia pun
berdiri dan mengulurkan tangannya. Sesaat aku ragu menatap tangan itu. Aku
tidak percaya bisa memegang tangan itu. Melihat tak ada respon apapun dari ku,
ia kemudian menarik tanganku dan membantu ku berdiri. Aku bisa mendengar suara
dari ekspresi kaget sekaligus tak percaya dari murid – murid perempuan yang
mengerumuni ku. Tiba – tiba seulas senyum muncul di wajahku, aku merasa
memiliki derajat yang lebih tinggi dari mereka. Ini pertama kali nya aku merasa
bahagia karena terluka. Cinta sungguh aneh!
✿❀✿
Aku
terus menunduk sambil menutup hidung ku. Di sebelah kanan ku ada Jin Ho yang
masih menggandengku, kami sedang menuju ruang kesehatan. Aneh, sungguh aneh.
Jantungku tidak henti – hentinya berdegup dengan kencang. Aku ingin menyuruhnya
untuk berdetak dengan sedikit normal, karena aku khawatir Jin Ho bisa
mendengarnya.
“Pakai
ini saja,” suara Jin Ho membuyarkan lamunanku. Ku lihat tangan kanannya
mengulurkan sebuah sapu tangan. Aku menatap sapu tangan itu dengan ragu.
“Ah,
tidak usah. Tidak apa – apa.” Rasanya sayang sekali kalau sapu tangan itu
kugunakan untuk mengelap darah ini.
“Tidak
apa – apa, sungguh. Gunakan saja.”
“Tidak
perlu, terima kasih.” Kataku lagi. Namun tiba – tiba Jin Ho mengulurkan
tangannya ke hidungku dan menutup nya dengan sapu tangannya. Seketika aku menghentikan
langkahku dan menatapnya.
“Pakailah,”
katanya sambil tersenyum. Senyum itu sungguh membuatku meleleh. Aku pun
akhirnya menggunakan sapu tangan – yang sangat harum – itu untuk menutup
hidungku yang masih mengalirkan darah. Kami pun terus berjalan.
“Tanganmu
dingin,” ujar Jin Ho. Bagaimana tidak dingin, aku gugup sekali ada di
sampingnya, memegang tangannya.
“Tanganmu
sangat hangat,” balasku. Jin Ho tertawa. Aku senang bisa membuatnya tertawa.
“Nama
mu Go Eun Hye kan?” aku tersentak. Bagaimana Jin Ho bisa mengetahui nama ku?
“Bagaimana
kau tahu?”
“Itu,
tertulis pada nametag mu.” Katanya
sambil menunjuk nametag yang
terpasang pada blazer ku.
“Oh,
iya. Aku Eun Hye.” Ujarku sambil tertawa.
“Aku
betul – betul minta maaf. Aku tidak sengaja.”
“Aku
tahu, tidak apa – apa. Jangan khawatir.” Bagaimana aku bisa marah kalau
pengganti dari mimisan ku adalah berjalan bergandengan dengan Jin Ho?
Aku
mendecakkan lidah begitu melihat ruang kesehatan. Kenapa jaraknya dekat sekali?
Aku betul – betul berharap bahwa ruang kesehatan berada di lantai 4, bahkan
kalau bisa tidak perlu ada di sekolah ini. Jadi Jin Ho bisa mengantar ku ke
rumah sakit dengan jarak paling dekat 2 kilometer.
✿❀✿
“’Nama
mu Go Eun Hye kan?’ Dia bilang seperti itu tadi. Dia tahu nama ku, Shin!”
Kataku sambil memukul lengan Shin dan melompat – lompat senang.
“Jangan
melompat – lompat seperti itu! Nanti kapas mu jatuh.” Kata Shin sambil
menengadahkan tangannya di bawah dagu ku, mengantisipasi kalau – kalau kapas
yang menyumbat hidung sebelah kanan ku terjatuh.
“Iya
tapi dia tahu nama ku. Hebat bukan?!”
“Tapi
kan dia tahu karena melihat nametag mu.”
“Iya
juga sih. Tapi bagaimana kau tahu?”
“Kau
sudah menceritakannya berulang – ulang padaku Eun Hye-ya. Sekarang adalah yang
ketiga kalinya.”
“Jinca (benarkah)?” Shin hanya
mengangguk. Sekarang aku dan Shin sedang berjalan pulang menuju rumah kami
masing – masing yang memang berdekatan.
“Oh
iya, ini,” Shin mengeluarkan sesuatu dari tas nya dan menyerahkan kepadaku.
Sebuah tempat minum dan novel milikku.
“Wah,
kau menyimpannya? Ku pikir sudah hilang saat aku terjatuh tadi.”
“Jangan
ditinggal lagi.”
“Tadi
tidak sengaja terjatuh, Shin.” Aku mengoreksi ucapan Shin.
“Iya
iya.” Kami sama – sama terdiam.
“Eun
Hye-ya, aku mau tanya satu hal.” Shin bersuara lagi.
“Hmm?”
“Apa
yang membuat mu suka pada Jin Ho?”
Aku
berpikir sejenak. Mengingat beberapa hal tentang laki – laki itu. “Apa perasaan
itu butuh alasan?” tanyaku akhirnya.
“Tentu
saja perasaan itu butuh alasan. Seseorang yang mengatakan ‘aku mencintai mu apa
adanya’ itu salah. Yang benar adalah ‘aku mencintaimu ada apanya’. Karena pasti
ada sesuatu hal yang istimewa pada seseorang tersebut sehingga dia dicintai.”
Jelas Shin panjang lebar.
“Hmm,
coba aku pikirkan dulu. Aku rasa aku menyukainya karena dia tampan, pintar, dan
populer.”
“Kau
terdengar tak ada bedanya dengan wanita diluar sana yang mengidolakannya.”
“Aku
tidak hanya mengidolakannya. Perasaan ini berbeda dari sebatas mengidolakan”,
ujar ku deklaratif.
“Tapi
alasan mu sama saja. Jika memang perasaan mu itu benar – benar suka, seharusnya
kau sudah menemukan sisi istimewa lain dalam dirinya. Tidak hanya apa yang
tampak dari luar saja.”
“Astaga,
Shin. Kenapa kau jadi senang berkhotbah seperti ini? Ckck,” aku mendecakkan
lidah.
Shin
hanya tersenyum kecil. “Ada yang ingin ku tanyakan lagi.”
“Astaga.
Selain jadi senang berkhotbah, kau jadi senang bertanya juga sekarang.”
Shin
tak mampu menyembunyikan tawanya, aku pun ikut tertawa bersamanya. “Aku serius
sekarang.”
“Iya,
baiklah. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Kenapa
kau menutup mata dari kenyataan?” deg! Apa maksud Shin? “Kita sama – sama tau
kalau... kalau Jin Ho belum bisa berpaling dari Kak Song Mi. Tapi, kenapa kau
masih terus mempertahankan perasaan mu? Apa kau tidak lelah menerima pengabaian
seperti itu?”
Aku
terdiam sesaat. Mataku menangkap sebuah kursi kosong di taman kecil yang tak
jauh dari kami. Aku bergegas kesana, karena kata – kata Shin betul – betul
menusuk ku tepat ke titik terlemah ku. Aku takut tak sanggup menopang berat badan
ku sendiri karena rasa sakit ini.
Aku
pun duduk dikursi itu, dan Shin duduk disebelahku. “Shin-a, jika kita menyukai
seseorang, itu adalah urusan kita dengan hati kita sendiri. Dan aku tidak perlu
melibatkan Jin Ho dalam hal ini karena aku tidak ingin memilikinya. Aku hanya
ingin mencintainya dalam diam.”
“Jadi...”
“Jadi
aku tidak masalah mengenai Jin Ho yang masih belum berpaling dari kak Song Mi. Aku tidak masalah
dengan pengabaiannya.” Sambungku nanar. Song Mi adalah kakak kelas 2 tahun diatas
kami yang kini telah lulus. Jin ho sangat menyukainya sejak kami kelas 1 SMA,
sebagaimana aku menyukainya sejak kelas 1 SMA. Dan ia belum berpaling dari kak
Song Mi sebagaimana aku belum berpaling darinya. Cinta ini rumit ya?
Lalu
aku merasakan Shin memegang kedua bahuku dan mengarahkan tubuhku menghadap nya.
“Sekarang, kau tatap mataku dan jujur,” aku sedikit kaget, namun aku segera
mengendalikan pikiranku dan mengangguk. “Kau bahagia kan saat Jin Ho perhatian
padamu, mengorol dengan mu dan memegang tanganmu?”
Aku
mengingat kejadian yang masih segar di pikiranku itu, dan mengangguk dengan
mantap. Bagaimana bisa aku tidak bahagia?
“Lalu,
apa kau tidak menginginkan hal tersebut terjadi lagi?” pertanyaan Shin kali ini
mampu membuat ku terdiam cukup lama. Jujur saja, iya aku sangat menginginkan
hal tersebut terjadi lagi. Tapi, aku tidak bisa berharap dan aku tidak boleh
membiarkan diriku mulai berharap kembali. Sudah cukup satu kali saja harapan ku
musnah.
“Shin-a,
sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya ku lirih.
Shin
hanya memandangku, kemudian dia memegang kedua tanganku. “Eun Hye-ya, aku ini
sahabatmu. Aku menginginkan yang terbaik untukmu. Aku tidak ingin kau sedih
lagi, kau hancur lagi. Cukup sekali hatiku pilu melihatmu hancur saat itu.
Cukup satu kali, aku tidak ingin hal itu terulang lagi.”
Hal
yang dimaksud Shin terjadi setahun yang lalu. Saat aku mengetahui bahwa meski
pun kak Song Mi sudah lulus, namun Jin Ho masih tidak bisa melepasnya. Dia
masih mengharapkan kak Song Mi walaupun kak Song Mi tidak memiliki perasaan
yang sama dengannya. Dan saat mengetahui hal itu, aku benar – benar hancur.
Tidak ku sangka, meski sudah tidak berada dalam satu lingkungan sekolah, namun
Jin Ho masih betul – betul menyukainya. Aku tidak bisa membayangkan betapa
besar cinta Jin Ho untuk kak Song Mi. Karena hal itu, aku betul – betul
berhenti berharap dari Jin Ho. Namun, aku tak berhenti mencintainya.
Aku
memejamkan mata sebentar, menahan bulir – bulir air mata agar tidak jatuh.
“Jadi-“
“Berhentilah.
Sudah cukup Eun Hye-ya. Mau sampai kapan kau akan seperti ini terus? Apa kau
akan terus – terusan mencintai tanpa ada balasan sedikitpun? Jangan membohongi
diri sendiri. Aku tau kau juga ingin dicintai, kan?”
Aku meresapi semua kata – kata Shin. Dia, ada
benarnya juga. Sampai kapan aku harus berhenti pada titik ini sementara jalan
ku masih panjang. Walaupun benar, tapi mengapa hati ku sesakit ini?
Aku
menarik napas panjang, “Shin-a, kau pulang saja duluan. Aku mau sedikit lebih
lama disini.”
Shin
menghembuskan napas berat, sepertinya ini bukan hal yang mudah juga untuknya, “Baiklah.
Jangan pulang terlalu malam.” Kata Shin sambil berdiri dan menyampirkan jaket
yang semula ia kenakan ke bahuku. Seketika tubuhku terasa lebih hangat. Shin
pun pergi.
Aku
bisa merasakan air mata jatuh ke pipiku. Sakit sekali. Ini yang kedua kalinya
aku merasakan hancur seperti ini. Tapi, aku rasa keputusan yang harus aku ambil
ini adalah jalan terbaik. Agar tidak ada lagi kehancuran yang ketiga kalinya.
Angin
berhembus lagi. Aku merapatkan jaket Shin dan berencana untuk pulang. Saat
itulah aku melihat sebuah buku tergeletak di bangku tempat Shin duduk tadi. Aku
dapat dengan mudah mengenali buku itu. Buku itu adalah buku sketsa Shin. Dia
sangat berbakat dalam menggambar. Buku itu selalu dibawa kemana – kemana
olehnya selama 3 tahun. Selain berbakat dalam menggambar, Shin juga berbakat
dalam bidang fotografi. Beberapa kali ia memenangkan lomba fotografi.
Aku
mengambil buku itu. Aku sudah sering melihatnya. Hanya gambar perempuan biasa.
Aku sudah sering meminta digambar olehnya, tapi ia selalu menolak. Sahabat
macam apa itu? Sudahlah, besok akan aku kembalikan buku ini.
✿❀✿
Bel
istirahat pun akhirnya terdengar. Saat aku sedang merapikan buku – bukuku, aku
mendengar suara seseorang memanggilku dari arah pintu. Aku sangat terkejut
ketika tau siapa pemilik suara itu. Aku pun mengampiri Jin Ho yang tersenyum
menyambutku. Senyum yang selalu berhasil membuatku meleleh.
“Bisa
bicara sebentar?” tanya nya.
Aku
ragu sejenak. Aku mengalihkan pandangan ke arah Shin yang masih didalam kelas,
Shin hanya balik menatapku dengan sorot mata datar. Aku pun mengangguk.
Jin
Ho mengajakku ke balkon gedung. Dari sana, kami dapat melihat lapangan basket
dan sepak bola.
“Ada
apa?” aku membuka percakapan.
Jin
Ho terlihat gusar, “Hmm, apa hidungmu sudah lebih baik?” Aku mengangguk. “Hmm,
ada sesuatu yang harus aku sampaikan.”
“Katakan
saja,”
“Kau
dan mungkin seluruh sekolah juga sudah tahu kan kalau selama ini aku menyukai
kak Song Mi?” tenggorokanku tercekat
mendengarnya. Dan lagi – lagi aku hanya bisa mengangguk. “Aku lelah
mengharapkannya. Aku ingin lepas darinya. Dan aku menemukan seseorang yang, ku rasa,
bisa menggantikan posisi dia di hatiku.”
“Lalu?”
“Orang
itu, adalah kau.” Aku tersentak mendengar perkataan Jin Ho. Jin Ho pasti
menyadari perubahan ekspresi di wajahku. “Tapi, jujur saja masih ada sedikit
perasaan terhadap kak Song Mi. Jadi, aku mohon kau bantu aku untuk benar –
benar melepaskannya.”
“Lalu
dari mana aku tau bahwa suatu hari nanti kau sudah benar – benar melepaskannya?”
“Apa?”
“Jin
Ho-ya. Aku tidak bisa memenuhi permintaan mu. Aku tidak mau lagi menunggu
sesuatu yang tidak pasti. Tidak ada orang lain yang bisa membantumu, kau harus
berusaha sendiri untuk melakukan itu. Aku tidak mau berbagi hati dengan orang
lain.” Jawabku mantap. Aku tau dari mana aku mendapatkan kekuatan untuk
berbicara seperti itu.
“Aku
kembali ke kelas dulu. Aku senang bisa mengatakan hal ini kepadamu.” Aku pun
berlalu dari hadapan Jin Ho yang masih tertunduk. Aku harus menemui seseorang
sekarang sebelum terlambat. Aku harus berterima kasih padanya, pada Shin.
Aku
pun melihat Shin yang memperhatikan kami dari pintu kaca yang menghubungkan
koridor dengan balkon. Aku mempercepat langkahku menghampirinya. Aku tersenyum
pada Shin yang sekarang sudah berdiri dihadapanku.
Tanpa
bisa aku bendung lagi, aku segera memeluk Shin dengan erat. Nampaknya ia
terkejut, namun pada akhirnya ia balik memelukku. Setelah beberapa saat, aku
melepaskan pelukanku. Aku pun menggandeng Shin pergi dari tempat itu. Akhirnya,
aku tau dengan siapa aku bisa bahagia.
✿❀✿
Aku memasukkan buku – buku
kedalam tasku. Lalu tidak sengaja aku menyenggol buku yang tergeletak di meja
belajarku hingga terjatuh ke lantai. Aku memungut buku Shin itu. Iseng, aku pun
membukanya. Di 3 halaman paling depan masih ada gambar yang sama. Gambar itu
sudah aku liat berkali – kali. Karena bosan, aku tidak pernah melanjutkan membuka
halaman lain dari buku itu. Namun kali ini lain, ada sesuatu yang mendorongku
agar terus membuka halaman demi halaman dari buku sketsa itu.
Beberapa halaman kosong. Namun
di halaman selanjutnya aku melihat gambar perempuan yang berbeda dari
sebelumnya. Perempuan itu sedang memegang buku dan membacanya dengan serius.
Gambar itu indah sekali. Detailnya sangat bagus, aku memperhatikan detail –
detail itu dengan saksama. Aku pun membuka halaman selanjutnya. Di bagian sisi
belakang kertas itu ternyata ada sebuah foto.
Aku kaget sekali begitu melihat potret diriku yang sedang duduk sambil
membaca novel. Jadi gambar itu dibuat berdasarkan foto yang diambil. Dan gambar
perempuan itu adalah... aku?
Aku membuka halaman lain. Ada
gambar perempuan yang sama sedang duduk. Wajahnya tertunduk, namun di pipinya
ada air mata yang jatuh menetes. Aku membuka halaman belakangnya. Lagi – lagi
kudapati foto diriku yang sedang dalam keadaan sama dengan gambar dibaliknya.
Aku ingat kejadian ini. Saat itu aku sedang menangis di balkon karena
mengetahui Jin Ho masih mengharapkan kak Song Mi. Saat itu Shin memang datang
menghiburku, tapi aku tidak tau bahwa sebelumnya ia memotret ku.
Lalu mataku tertumbuk pada
sederet tulisan yang ku kenali sebagai tulisan Shin. “Hari ini ia menangis. Aku
tidak sanggup melihatnya. Hatiku ikut menangis bersamanya. Ingin sekali aku
mengahapus air matanya, dan memeluknya erat. Dan mengatakan bahwa aku akan
selalu ada untuknya. Jangan menangis lagi Eun Hye-ya.”
Kaki ku lemas seketika, aku
pun jatuh terduduk di lantai. Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya? Seketika,
penyesalan datang menghantam ku. Shin, maafkan aku. Aku titipkan hatiku pada
mu. Aku yakin kau bisa menjaga hati ku dengan baik. Karena, kau mencintaiku.
✿❀✿
“Tentu
saja perasaan itu butuh alasan. Seseorang yang mengatakan ‘aku mencintai mu apa
adanya’ itu salah. Yang benar adalah ‘aku mencintaimu ada apanya’. Karena pasti
ada sesuatu hal yang istimewa pada seseorang tersebut sehingga dia dicintai.” - SDP