Purple Bow Tie

Jumat, 07 Februari 2014

A Choice

Satu lagi Fanfiction karyaku. Dan lagi - lagi main cast perempuannya diperankan sendiri oleh ku *jadienak
Okelah, Enjoy the Story chingu ^-^


A Choice
Aku mengamati kelas dengan pintu yang masih tertutup itu dari kejauhan. ‘Mengapa belum ada satupun yang keluar?’ pikirku dalam hati. Tak lama kemudian riuh rendah suara murid – murid terdengar lalu pintu menyentak terbuka. Aku buru – buru berlari ke balik tembok dan mengamati dengan saksama murid – murid yang tengah berhamburan itu.
‘Ah, itu dia.’ Gumamku senang begitu melihat seorang laki – laki yang ku tunggu keluar dari kelas yang hampir kosong. Jeon Jin Ho. Seorang murid laki – laki kelas 3A yang sudah ku sukai selama 2 tahun. Aku tidak pernah berbuat apapun agar dia mengetahui perasaanku atau bahkan sekedar tahu nama ku. Bagiku, mengamatinya dari kejauhan seperti ini sudah sangat cukup. Jika kita menyukai seseorang, itu adalah urusan kita dengan hati kita sendiri. Lain hal nya dengan suka serta ingin memiliki, kedua hal tersebut akan cenderung membuat seseorang menyatakan perasaanya terhadap orang yang disukai. Aku bukan tipe orang seperti itu. Sejauh ini, aku dan hati ku bahagia hanya dengan memandanginya dari kejauhan – yang sudah menjadi rutinitasku setiap harinya. Sungguh kebahagiaan yang sederhana.
Jeon Jin Ho berjalan menjauhiku. Mau kemana dia? Seharusnya ia kan berjalan ke arahku, bukan ke arah sebaliknya. Karena penasaran, diam – diam aku mengikutinya. Baru akan melangkahkan kaki, tiba – tiba sebuah tangan menahan ku.
Ya, Shin-a (hei, Shin)! Mengagetkan ku saja!” omelku pada laki – laki yang terkekeh menyebalkan itu. Ia tak tahan melihat ekspresi kaget di wajah ku.
Mianhae (maafkan aku).” Katanya masih sambil terkekeh. “Jin Ho lagi?” sambungnya.
O (iya). Aneh, mengapa ia berjalan ke arah sana? Tangga terdekat kan ada disini.” Kataku sambil menunjuk barisan anak tangga yang tak jauh dari kami.
“Mungkin ia ingin ke perpustakaan. Ia kan murid pintar, sudah pasti sering ke perpustakaan. Tidak seperti kau yang lebih suka menghabiskan waktu menonton acara reality show.” Kata Kang Shin sambil menjitak kepalaku. Aku meringis sekilas. Laki – laki ini hafal betul mengenai kebiasaan ku. Hal ini tidak mengherankan mengingat kami sudah bersahabat sejak kelas 1 SMA.
Dwaesseo. Kaja (sudahlah. Ayo pergi)!” katanya sambil menarik tangan ku. Aku hanya bisa mengikuti langkah kakinya dengan pasrah, namun mataku masih terus memperhatikan koridor yang telah kosong itu. Berharap bisa melihat wajah Jin Ho untuk terakhir kalinya pada hari ini.
✿❀✿
Aku membaca novel yang ku pegang dengan serius sampai tidak memperhatikan jalan. Sekarang adalah jam istirahat, dan aku ingin menemui Shin di lapangan sepak bola. Sebenarnya aku merasa sedikit malas, karena untuk menuju lapangan sepak bola aku harus melewati lapangan basket terlebih dahulu. Dan sebagaimana lapangan sepak bola, lapangan basket juga tak pernah kosong dari siswa yang berlatih secara rutin. Terlebih lagi, para anggota ekstrakurikuler ini memiliki para penggemar wanita yang tak pernah absen menunggui mereka latihan. Aku sedikit canggung melewati banyak orang. Itulah sebabnya mengapa aku malas menemui Shin sekarang, kalau saja ia tidak meminta dibawakan minum olehku, aku tidak akan mau ke lapangan sepak bola saat jam istirahat.
Aku terus menundukkan wajah ke lembaran novel yang ku pegang sambil berjalan. Botol minum untuk Shin ada di tangan kiri ku. Saking seriusnya membaca, aku sampai terlambat menyadari bahwa beberapa anak telah riuh meneriakiku. Aku mengangkat wajahku dan menoleh ke arah lapangan basket yang sedang ku lintasi. Tepat saat itulah aku melihat sebuah bola basket meluncur cepat ke arahku. Tidak banyak yang ku lakukan dalam waktu sepersekian detik. Dan akhirnya bola basket itu benar mendarat di wajahku dan berhasil menumbangkan keseimbanganku. Aku terjatuh.
Kepala ku terasa pusing, dan hidungku sakit sekali. Aku takut dalam sekejap aku telah kehilangan hidung mancungku. Beberapa kali aku goyangkan kepala ku untuk menghilangkan rasa pusing yang terus mendera. Dan tidak membutuhkan waktu banyak bagi siswa – siswi untuk mengerumuniku. Suara mereka tidak terdengar jelas di telingaku. Sepertinya tidak ada yang benar – benar menanyakan keadaanku, mereka hanya saling berbisik sambil terus memperhatikanku. Cih, menyebalkan!
Gwaenchana (baik – baik saja)?” akhirnya aku mendengar pertanyaan yang ku tunggu dari seseorang dengan napas sedikit tersengal. Lalu kurasakan seseorang berjongkok tepat didepanku, aku pun mengangguk.
Ne, gwaencha... (ya, baik – baik..),” kata – kata ku terhenti begitu melihat seseorang yang selalu ingin ku lihat setiap hari. “..na (..saja).”
Jinca gwaenchana (sungguh baik – baik saja)? Na jeongmal mianhae (aku betul – betul minta maaf).” Suaranya benar – benar terdengar menyesal.
O (iya).” Kataku sambil mengangguk.
Tiba – tiba wajahnya terlihat kaget. “Omo, andwae (astaga, tidak)!” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arah wajahku. Aku sedikit memundurkan wajahku. Dan aku rasakan ia menyentuh bagian bawah hidungku. Aku sama kaget nya begitu melihat di jarinya terdapat bercak berwarna merah. Pantas saja hidungku sakit sekali, berdarah rupanya.
“Aku rasa kau tidak benar – benar baik. Ayo ku antar kau ke ruang kesehatan.” Ia pun berdiri dan mengulurkan tangannya. Sesaat aku ragu menatap tangan itu. Aku tidak percaya bisa memegang tangan itu. Melihat tak ada respon apapun dari ku, ia kemudian menarik tanganku dan membantu ku berdiri. Aku bisa mendengar suara dari ekspresi kaget sekaligus tak percaya dari murid – murid perempuan yang mengerumuni ku. Tiba – tiba seulas senyum muncul di wajahku, aku merasa memiliki derajat yang lebih tinggi dari mereka. Ini pertama kali nya aku merasa bahagia karena terluka. Cinta sungguh aneh!
✿❀✿
Aku terus menunduk sambil menutup hidung ku. Di sebelah kanan ku ada Jin Ho yang masih menggandengku, kami sedang menuju ruang kesehatan. Aneh, sungguh aneh. Jantungku tidak henti – hentinya berdegup dengan kencang. Aku ingin menyuruhnya untuk berdetak dengan sedikit normal, karena aku khawatir Jin Ho bisa mendengarnya.
“Pakai ini saja,” suara Jin Ho membuyarkan lamunanku. Ku lihat tangan kanannya mengulurkan sebuah sapu tangan. Aku menatap sapu tangan itu dengan ragu.
“Ah, tidak usah. Tidak apa – apa.” Rasanya sayang sekali kalau sapu tangan itu kugunakan untuk mengelap darah ini.
“Tidak apa – apa, sungguh. Gunakan saja.”
“Tidak perlu, terima kasih.” Kataku lagi. Namun tiba – tiba Jin Ho mengulurkan tangannya ke hidungku dan menutup nya dengan sapu tangannya. Seketika aku menghentikan langkahku dan menatapnya.
“Pakailah,” katanya sambil tersenyum. Senyum itu sungguh membuatku meleleh. Aku pun akhirnya menggunakan sapu tangan – yang sangat harum – itu untuk menutup hidungku yang masih mengalirkan darah. Kami pun terus berjalan.
“Tanganmu dingin,” ujar Jin Ho. Bagaimana tidak dingin, aku gugup sekali ada di sampingnya, memegang tangannya.
“Tanganmu sangat hangat,” balasku. Jin Ho tertawa. Aku senang bisa membuatnya tertawa.
“Nama mu Go Eun Hye kan?” aku tersentak. Bagaimana Jin Ho bisa mengetahui nama ku?
“Bagaimana kau tahu?”
“Itu, tertulis pada nametag mu.” Katanya sambil menunjuk nametag yang terpasang pada blazer ku.
“Oh, iya. Aku Eun Hye.” Ujarku sambil tertawa.
“Aku betul – betul minta maaf. Aku tidak sengaja.”
“Aku tahu, tidak apa – apa. Jangan khawatir.” Bagaimana aku bisa marah kalau pengganti dari mimisan ku adalah berjalan bergandengan dengan Jin Ho?
Aku mendecakkan lidah begitu melihat ruang kesehatan. Kenapa jaraknya dekat sekali? Aku betul – betul berharap bahwa ruang kesehatan berada di lantai 4, bahkan kalau bisa tidak perlu ada di sekolah ini. Jadi Jin Ho bisa mengantar ku ke rumah sakit dengan jarak paling dekat 2 kilometer.
✿❀✿
“’Nama mu Go Eun Hye kan?’ Dia bilang seperti itu tadi. Dia tahu nama ku, Shin!” Kataku sambil memukul lengan Shin dan melompat – lompat senang.
“Jangan melompat – lompat seperti itu! Nanti kapas mu jatuh.” Kata Shin sambil menengadahkan tangannya di bawah dagu ku, mengantisipasi kalau – kalau kapas yang menyumbat hidung sebelah kanan ku terjatuh.
“Iya tapi dia tahu nama ku. Hebat bukan?!”
“Tapi kan dia tahu karena melihat nametag mu.”
“Iya juga sih. Tapi bagaimana kau tahu?”
“Kau sudah menceritakannya berulang – ulang padaku Eun Hye-ya. Sekarang adalah yang ketiga kalinya.”
Jinca (benarkah)?” Shin hanya mengangguk. Sekarang aku dan Shin sedang berjalan pulang menuju rumah kami masing – masing yang memang berdekatan.
“Oh iya, ini,” Shin mengeluarkan sesuatu dari tas nya dan menyerahkan kepadaku. Sebuah tempat minum dan novel milikku.
“Wah, kau menyimpannya? Ku pikir sudah hilang saat aku terjatuh tadi.”
“Jangan ditinggal lagi.”
“Tadi tidak sengaja terjatuh, Shin.” Aku mengoreksi ucapan Shin.
“Iya iya.” Kami sama – sama terdiam.
“Eun Hye-ya, aku mau tanya satu hal.” Shin bersuara lagi.
“Hmm?”
“Apa yang membuat mu suka pada Jin Ho?”
Aku berpikir sejenak. Mengingat beberapa hal tentang laki – laki itu. “Apa perasaan itu butuh alasan?” tanyaku akhirnya.
“Tentu saja perasaan itu butuh alasan. Seseorang yang mengatakan ‘aku mencintai mu apa adanya’ itu salah. Yang benar adalah ‘aku mencintaimu ada apanya’. Karena pasti ada sesuatu hal yang istimewa pada seseorang tersebut sehingga dia dicintai.” Jelas Shin panjang lebar.
“Hmm, coba aku pikirkan dulu. Aku rasa aku menyukainya karena dia tampan, pintar, dan populer.”
“Kau terdengar tak ada bedanya dengan wanita diluar sana yang mengidolakannya.”
“Aku tidak hanya mengidolakannya. Perasaan ini berbeda dari sebatas mengidolakan”, ujar ku deklaratif.
“Tapi alasan mu sama saja. Jika memang perasaan mu itu benar – benar suka, seharusnya kau sudah menemukan sisi istimewa lain dalam dirinya. Tidak hanya apa yang tampak dari luar saja.”
“Astaga, Shin. Kenapa kau jadi senang berkhotbah seperti ini? Ckck,” aku mendecakkan lidah.
Shin hanya tersenyum kecil. “Ada yang ingin ku tanyakan lagi.”
“Astaga. Selain jadi senang berkhotbah, kau jadi senang bertanya juga sekarang.”
Shin tak mampu menyembunyikan tawanya, aku pun ikut tertawa bersamanya. “Aku serius sekarang.”
“Iya, baiklah. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Kenapa kau menutup mata dari kenyataan?” deg! Apa maksud Shin? “Kita sama – sama tau kalau... kalau Jin Ho belum bisa berpaling dari Kak Song Mi. Tapi, kenapa kau masih terus mempertahankan perasaan mu? Apa kau tidak lelah menerima pengabaian seperti itu?”
Aku terdiam sesaat. Mataku menangkap sebuah kursi kosong di taman kecil yang tak jauh dari kami. Aku bergegas kesana, karena kata – kata Shin betul – betul menusuk ku tepat ke titik terlemah ku. Aku takut tak sanggup menopang berat badan ku sendiri karena rasa sakit ini.
Aku pun duduk dikursi itu, dan Shin duduk disebelahku. “Shin-a, jika kita menyukai seseorang, itu adalah urusan kita dengan hati kita sendiri. Dan aku tidak perlu melibatkan Jin Ho dalam hal ini karena aku tidak ingin memilikinya. Aku hanya ingin mencintainya dalam diam.”
“Jadi...”
“Jadi aku tidak masalah mengenai Jin Ho yang masih belum  berpaling dari kak Song Mi. Aku tidak masalah dengan pengabaiannya.” Sambungku nanar. Song Mi adalah kakak kelas 2 tahun diatas kami yang kini telah lulus. Jin ho sangat menyukainya sejak kami kelas 1 SMA, sebagaimana aku menyukainya sejak kelas 1 SMA. Dan ia belum berpaling dari kak Song Mi sebagaimana aku belum berpaling darinya. Cinta ini rumit ya?
Lalu aku merasakan Shin memegang kedua bahuku dan mengarahkan tubuhku menghadap nya. “Sekarang, kau tatap mataku dan jujur,” aku sedikit kaget, namun aku segera mengendalikan pikiranku dan mengangguk. “Kau bahagia kan saat Jin Ho perhatian padamu, mengorol dengan mu dan memegang tanganmu?”
Aku mengingat kejadian yang masih segar di pikiranku itu, dan mengangguk dengan mantap. Bagaimana bisa aku tidak bahagia?
“Lalu, apa kau tidak menginginkan hal tersebut terjadi lagi?” pertanyaan Shin kali ini mampu membuat ku terdiam cukup lama. Jujur saja, iya aku sangat menginginkan hal tersebut terjadi lagi. Tapi, aku tidak bisa berharap dan aku tidak boleh membiarkan diriku mulai berharap kembali. Sudah cukup satu kali saja harapan ku musnah.
“Shin-a, sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya ku lirih.
Shin hanya memandangku, kemudian dia memegang kedua tanganku. “Eun Hye-ya, aku ini sahabatmu. Aku menginginkan yang terbaik untukmu. Aku tidak ingin kau sedih lagi, kau hancur lagi. Cukup sekali hatiku pilu melihatmu hancur saat itu. Cukup satu kali, aku tidak ingin hal itu terulang lagi.”
Hal yang dimaksud Shin terjadi setahun yang lalu. Saat aku mengetahui bahwa meski pun kak Song Mi sudah lulus, namun Jin Ho masih tidak bisa melepasnya. Dia masih mengharapkan kak Song Mi walaupun kak Song Mi tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Dan saat mengetahui hal itu, aku benar – benar hancur. Tidak ku sangka, meski sudah tidak berada dalam satu lingkungan sekolah, namun Jin Ho masih betul – betul menyukainya. Aku tidak bisa membayangkan betapa besar cinta Jin Ho untuk kak Song Mi. Karena hal itu, aku betul – betul berhenti berharap dari Jin Ho. Namun, aku tak berhenti mencintainya.
Aku memejamkan mata sebentar, menahan bulir – bulir air mata agar tidak jatuh. “Jadi-“
“Berhentilah. Sudah cukup Eun Hye-ya. Mau sampai kapan kau akan seperti ini terus? Apa kau akan terus – terusan mencintai tanpa ada balasan sedikitpun? Jangan membohongi diri sendiri. Aku tau kau juga ingin dicintai, kan?”
 Aku meresapi semua kata – kata Shin. Dia, ada benarnya juga. Sampai kapan aku harus berhenti pada titik ini sementara jalan ku masih panjang. Walaupun benar, tapi mengapa hati ku sesakit ini?
Aku menarik napas panjang, “Shin-a, kau pulang saja duluan. Aku mau sedikit lebih lama disini.”
Shin menghembuskan napas berat, sepertinya ini bukan hal yang mudah juga untuknya, “Baiklah. Jangan pulang terlalu malam.” Kata Shin sambil berdiri dan menyampirkan jaket yang semula ia kenakan ke bahuku. Seketika tubuhku terasa lebih hangat. Shin pun pergi.
Aku bisa merasakan air mata jatuh ke pipiku. Sakit sekali. Ini yang kedua kalinya aku merasakan hancur seperti ini. Tapi, aku rasa keputusan yang harus aku ambil ini adalah jalan terbaik. Agar tidak ada lagi kehancuran yang ketiga kalinya.
Angin berhembus lagi. Aku merapatkan jaket Shin dan berencana untuk pulang. Saat itulah aku melihat sebuah buku tergeletak di bangku tempat Shin duduk tadi. Aku dapat dengan mudah mengenali buku itu. Buku itu adalah buku sketsa Shin. Dia sangat berbakat dalam menggambar. Buku itu selalu dibawa kemana – kemana olehnya selama 3 tahun. Selain berbakat dalam menggambar, Shin juga berbakat dalam bidang fotografi. Beberapa kali ia memenangkan lomba fotografi.
Aku mengambil buku itu. Aku sudah sering melihatnya. Hanya gambar perempuan biasa. Aku sudah sering meminta digambar olehnya, tapi ia selalu menolak. Sahabat macam apa itu? Sudahlah, besok akan aku kembalikan buku ini.
✿❀✿
Bel istirahat pun akhirnya terdengar. Saat aku sedang merapikan buku – bukuku, aku mendengar suara seseorang memanggilku dari arah pintu. Aku sangat terkejut ketika tau siapa pemilik suara itu. Aku pun mengampiri Jin Ho yang tersenyum menyambutku. Senyum yang selalu berhasil membuatku meleleh.
“Bisa bicara sebentar?” tanya nya.
Aku ragu sejenak. Aku mengalihkan pandangan ke arah Shin yang masih didalam kelas, Shin hanya balik menatapku dengan sorot mata datar. Aku pun mengangguk.
Jin Ho mengajakku ke balkon gedung. Dari sana, kami dapat melihat lapangan basket dan sepak bola.
“Ada apa?” aku membuka percakapan.
Jin Ho terlihat gusar, “Hmm, apa hidungmu sudah lebih baik?” Aku mengangguk. “Hmm, ada sesuatu yang harus aku sampaikan.”
“Katakan saja,”
“Kau dan mungkin seluruh sekolah juga sudah tahu kan kalau selama ini aku menyukai kak Song Mi?”  tenggorokanku tercekat mendengarnya. Dan lagi – lagi aku hanya bisa mengangguk. “Aku lelah mengharapkannya. Aku ingin lepas darinya. Dan aku menemukan seseorang yang, ku rasa, bisa menggantikan posisi dia di hatiku.”
“Lalu?”
“Orang itu, adalah kau.” Aku tersentak mendengar perkataan Jin Ho. Jin Ho pasti menyadari perubahan ekspresi di wajahku. “Tapi, jujur saja masih ada sedikit perasaan terhadap kak Song Mi. Jadi, aku mohon kau bantu aku untuk benar – benar melepaskannya.”
“Lalu dari mana aku tau bahwa suatu hari nanti kau sudah benar – benar melepaskannya?”
“Apa?”
“Jin Ho-ya. Aku tidak bisa memenuhi permintaan mu. Aku tidak mau lagi menunggu sesuatu yang tidak pasti. Tidak ada orang lain yang bisa membantumu, kau harus berusaha sendiri untuk melakukan itu. Aku tidak mau berbagi hati dengan orang lain.” Jawabku mantap. Aku tau dari mana aku mendapatkan kekuatan untuk berbicara seperti itu.
“Aku kembali ke kelas dulu. Aku senang bisa mengatakan hal ini kepadamu.” Aku pun berlalu dari hadapan Jin Ho yang masih tertunduk. Aku harus menemui seseorang sekarang sebelum terlambat. Aku harus berterima kasih padanya, pada Shin.
Aku pun melihat Shin yang memperhatikan kami dari pintu kaca yang menghubungkan koridor dengan balkon. Aku mempercepat langkahku menghampirinya. Aku tersenyum pada Shin yang sekarang sudah berdiri dihadapanku.
Tanpa bisa aku bendung lagi, aku segera memeluk Shin dengan erat. Nampaknya ia terkejut, namun pada akhirnya ia balik memelukku. Setelah beberapa saat, aku melepaskan pelukanku. Aku pun menggandeng Shin pergi dari tempat itu. Akhirnya, aku tau dengan siapa aku bisa bahagia.
✿❀✿
Aku memasukkan buku – buku kedalam tasku. Lalu tidak sengaja aku menyenggol buku yang tergeletak di meja belajarku hingga terjatuh ke lantai. Aku memungut buku Shin itu. Iseng, aku pun membukanya. Di 3 halaman paling depan masih ada gambar yang sama. Gambar itu sudah aku liat berkali – kali. Karena bosan, aku tidak pernah melanjutkan membuka halaman lain dari buku itu. Namun kali ini lain, ada sesuatu yang mendorongku agar terus membuka halaman demi halaman dari buku sketsa itu.
Beberapa halaman kosong. Namun di halaman selanjutnya aku melihat gambar perempuan yang berbeda dari sebelumnya. Perempuan itu sedang memegang buku dan membacanya dengan serius. Gambar itu indah sekali. Detailnya sangat bagus, aku memperhatikan detail – detail itu dengan saksama. Aku pun membuka halaman selanjutnya. Di bagian sisi belakang kertas itu ternyata ada sebuah foto.  Aku kaget sekali begitu melihat potret diriku yang sedang duduk sambil membaca novel. Jadi gambar itu dibuat berdasarkan foto yang diambil. Dan gambar perempuan itu adalah... aku?
Aku membuka halaman lain. Ada gambar perempuan yang sama sedang duduk. Wajahnya tertunduk, namun di pipinya ada air mata yang jatuh menetes. Aku membuka halaman belakangnya. Lagi – lagi kudapati foto diriku yang sedang dalam keadaan sama dengan gambar dibaliknya. Aku ingat kejadian ini. Saat itu aku sedang menangis di balkon karena mengetahui Jin Ho masih mengharapkan kak Song Mi. Saat itu Shin memang datang menghiburku, tapi aku tidak tau bahwa sebelumnya ia memotret ku.
Lalu mataku tertumbuk pada sederet tulisan yang ku kenali sebagai tulisan Shin. “Hari ini ia menangis. Aku tidak sanggup melihatnya. Hatiku ikut menangis bersamanya. Ingin sekali aku mengahapus air matanya, dan memeluknya erat. Dan mengatakan bahwa aku akan selalu ada untuknya. Jangan menangis lagi Eun Hye-ya.”
Kaki ku lemas seketika, aku pun jatuh terduduk di lantai. Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya? Seketika, penyesalan datang menghantam ku. Shin, maafkan aku. Aku titipkan hatiku pada mu. Aku yakin kau bisa menjaga hati ku dengan baik. Karena, kau mencintaiku.
✿❀✿
“Tentu saja perasaan itu butuh alasan. Seseorang yang mengatakan ‘aku mencintai mu apa adanya’ itu salah. Yang benar adalah ‘aku mencintaimu ada apanya’. Karena pasti ada sesuatu hal yang istimewa pada seseorang tersebut sehingga dia dicintai.” - SDP