Purple Bow Tie

Minggu, 22 Februari 2015

One Day Love


Hello! Is it me you looking for? *nyanyi
Well, cerita ini sih cerita aku yang paling baru walaupun jadinya udah lama, telat posting aja, hehe. Soalnya lagi fokus ama cerita yang panjaaannggg, mudah-mudahan aja cepet kelar. Aamiin. Sekarang punya tema Paris, setelah cerita aku sebelumnya bersetting di Korea dan Jepang. Pengen keluar negeri aja sih sebenernya, tapi karena belom kesampean jadi diwujudin dalam imajinasi dalam bentuk cerita aja dulu. Mudah-mudahan suatu hari nanti (harus bisa!!) keluar negeri especially Perancis, Korea Selatan, dan so pastay Arab (pergi haji maksudnya), eh Mesir juga deh biar bisa ketemu Fahri wkwk.
Walaupun set nya di Paris, tapi tetep berhubungan ama Korea-Korean sih haha. Mudah-mudahan suka, have an enjoy reading ^^



One Day Love
“Eiffel aku mau makaaaaaannnn.” Aku berteriak sekencang-kencangnya di depan menara besi setinggi 325 meter itu. Namun menara itu tetap diam, menyebalkan sekali.
“Eiffel beri aku makanaaaaaannnn.” Teriak ku lagi. Aku tidak peduli pada orang-orang yang memandang aneh ke arah ku, toh mereka tidak mengerti apa yang aku ucapkan karena aku mengucapkan kalimat itu dalam bahasa Korea. Mungkin di tempat ini hanya aku yang sedang berdiri frustasi memandang Eiffel. Aku pun mengedarkan pandangan pada orang-orang di sekeliling ku. Kebanyakan dari mereka berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, saling merangkul, berciuman, berfoto bersama, tertawa satu sama lain, dan saling menyuapi makanan. Aku muak sekali melihatnya. Tapi pemandangan yang terakhir membuat ku iri. Makanan, aku ingin sekali makan. Aku pun menggaruk-garuk kepala ku asal, membuat rambutku yang dikuncir kehilangan bentuknya. Helai-helai rambut pun mencuat tak tentu arah. Dan aku tetap tak peduli. Satu-satunya yang aku pedulikan sekarang adalah perutku.
Ingin rasanya aku mencekik leherku sendiri karena menyesali kebodohan yang aku lakukan. Rencana liburan sekaligus melarikan diri dari kenyataan ku hancur total. Aku baru saja kehilangan tas ku. Dompet, handphone, paspor, peta Paris, kamus mini, daftar makanan enak, dan daftar belanjaan ku semua ada didalam tas itu. Tadi tidak sengaja aku tertidur di dalam metro (kereta bawah tanah), lalu terbangun tiba-tiba dan menyadari aku sudah sampai di stasiun tujuan. Karena pintu metro sudah akan tertutup lagi karenanya aku segera berlari keluar metro. Untung saja badan ku langsing, pikirku setelah aku berhasil mencapai peron stasiun. Namun pemikiran menyenangkan mengenai kelangsingan runtuh seketika ketika aku melihat di kursi metro yang sudah berjalan perlahan ada seonggok tas yang aku yakini adalah hak milikku. Andwae(tidak)! Dan disinilah aku sekarang. Menatap frustasi kepada Eiffel dan rasanya aku ingin mati saja.
“Eiffel bunuh aku sekaraaaaaannnggg.” Teriak ku lagi. Aku pun terduduk dan menangis. Tidak bisa dikatakan menangis juga karena tidak ada air mata yang keluar dari mata ku. Mungkin lebih tepatnya histeris. Tidak tahu lah, aku tidak bisa menemukan padanan kata yang tepat untuk mengekspresikan nya.
Tiba-tiba aku teringat pada Hee Jun, mantan kekasihku. “Tidak, tidak. Aku tidak boleh mati sekarang. Kalau aku mati sekarang Hee Jun dan selingkuhannya, tidak, mereka pasti sekarang sudah resmi menjadi pasangan kekasih, menyebalkan. Kalau aku mati sekarang Hee Jun dan pacar baru nya pasti sangat senang dan hidup bahagia bersama selama-lamanya. Enak saja. Tidak akan ku biarkan hal itu terjadi. Aku akan menuntut balas, lihat saja nanti Hee Jun!” Semangat ku pun bangkit begitu mengingat perselingkuhan pacar mantan pacar ku itu. Karena itu lah aku pergi ke Paris dengan modal nekat dan uang seadanya bermaksud untuk menenangkan diri. Namun semuanya kini hilang. Uang dan tekad nekat ku. Yang tersisa hanya perasaan betapa-bodohnya-aku dan lapar.
Dan tepat saat itulah aku melihat seorang laki-laki yang berjalan didepan ku melemparkan sebuah kotak terbuat dari plastik berwarna cerah ke tanah dan terseok-seok berjalan menuju lebih dekat dengan Eiffel. Apa.. apa kah kotak itu berisi makanan. Insting ku pun mengatakan iya. Bagaimana bisa dia membuang makanan begitu saja? Jika dia membuangnya itu artinya dia tidak menginginkannya kan? Aku pun menelan ludah dan merangkak maju perlahan mendekati kotak itu. Setelah setengah jalan aku berhenti dan menatap laki-laki itu. Sekarang laki-laki itu telah berlutut di depan Eiffel, wajahnya tertunduk. Dan entah mengapa aku bersyukur pada Tuhan bahwa di depan Eiffel masih ada orang lain yang sama frustasi nya dengan diriku dan dia membawa makanan.
Aku pun melanjutkan rangkakakan (?) ku menuju kotak makanan yang sekarang bersinar-sinar itu. Aku menelan ludah lagi, batu-batu kerikil yang mengenai telapak tangan ku bukanlah penghalang bagiku untuk terus berjuang maju menyongsong kehidupan. Dan kini aku sudah berada didepan kotak makanan itu. Dengan senyum penuh kemerdekaan aku mendekatkan tanganku untuk membuka kotak itu. Tinggal satu senti lagi jari ku sudah menyentuh kotak itu ketika kemudian,
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaarrgggggghhhhhhhh,” si laki-laki itu berteriak, membuat ku memundurkan tanganku. Dengan leher kaku aku pun memutar pandangan ke arah laki-laki itu. Kini dia sedang bersujud dan memukulkan kepalan tangannya ke tanah. Seketika aku meralat ucapan syukurku. Dia bukan sama frustasinya dengan ku, melainkan jauh lebih gila frustasi.
Aku pun kembali mengalihkan pandangan ke kotak makanan. Kini dengan gerakan cepat aku membuka tutupnya dan segera saja aku disambut oleh dua potong makanan berbentuk seperti dada ayam berukuran besar. Kulit bagian luarnya berwarna kuning keemasan dan dilapisi semacam tepung roti. Aku tidak tahu apa nama makanan ini. Tapi kelihatannya enak sekali. Karena tuntutan perut yang sudah tidak bisa dibendung lagi, aku pun mengambil satu makanan tersebut dan menjejalkannya ke dalam mulut.

Ternyata benar ini adalah dada ayam, namun ada isian lain. Aku bisa merasakan daging juga. Selain itu lelehan keju pun terasa sangat kuat di lidah. Aku tidak bisa membayangkan sesuatu yang lebih indah dari makanan ini. Sedang asik-asiknya menikmati makanan, tiba-tiba terdengar suara yang sangat licin dalam bahasa Perancis. Aku pun mendongakkan kepala dan melihat tubuh seseorang menjulang tinggi disampingku.
"Sorry?" tidak ada kata lain yang terpikir untuk ku ucapkan. Aku tidak bisa berbahasa Perancis. Kalau tahu aku akan pergi ke Perancis, dulu aku tidak akan menyaiakan-nyiakan les bahasa Perancis ku untuk memilih pergi membolos ke Everland dan dipukuli ayah ku saat pulang.
"What are you doing with my food?" laki-laki itu bersuara lagi, nampaknya kalimat ini juga yang ia ucapkan dalam bahasa Perancis barusan. Dan sialnya, aku juga tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar.
"I'm hungry. I'm sorry." sekenanya saja aku bicara.
"You have to pay for this food."
"Mwo (apa)? I'm not have money. My bag is go. You know?" ku lihat laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya. Mungkin ia tidak mengerti apa yang aku ucapkan. Kenapa aku tidak pernah serius saat pelajaran bahasa Inggris?
Aku pun berdiri, "My bag in metro. I'm sleepy and I stop in station and I don't know where is my bag." aku menjelaskan sambil menggerakkan tangan dan tubuh ku, berharap ia lebih mengerti dengan apa yang aku ucapkan.
"Hanguk saramieyo (kau orang Korea)?" kata laki-laki tersebut kemudian.
~*~
"Jadi begitu," ujar si laki-laki sambil mengangguk pelan setelah mendengar cerita ku. Aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan semua hal padanya, berawal dari perselingkuhan pacarku, pengrusakan motor pacarku (laki-laki itu berjengit dengan wajah resah, "Kau benar-benar melakukannya?"), mengambil semua tabungan ku, meminjam uang pada teman, berangkat ke Perancis, istirahat di motel murah, keinginan bersenang-senang di Eiffel, tertidur di dalam metro, turun tanpa tas, berjalan terseok-seok ke depan Eiffel, hingga memakan makanan yang dibuang laki-laki tersebut.
"Ya, begitulah." aku menghembuskan napas berat. "Ngomong-ngomong, boleh aku habiskan makananmu? Nampaknya kau tidak mau memakannya." Laki-laki itu pun mengulurkan kotak yang bersisa satu makanan padaku. "Gomawo (terima kasih)." kataku senang sambil mengulurkan tangan mengambilnya.
"Chicken courdon bleu,"
"Mwo (apa)?"
"Nama makanan itu."
"Ah, geurae (benarkah)?"
"O (iya). Makanan ini adalah makanan kesukaannya," kata laki-laki itu murung.
"Nugu (siapa)?"
"Naui yeojachingu gerom (pacarku tentu saja)."
"Oh. Lalu kenapa tadi kau membuangnya? Kenapa tidak kau berikan pada pacarmu?"
"Dia, dia baru saja memutuskanku. Dia seorang model dan kariernya sedang menanjak sekali sekarang. Jadi dia takut tidak bisa membalas perhatianku lagi dan kemudian memutuskanku."
Aku tidak percaya laki-laki ini bisa menceritakan masalah pribadinya padaku. Nasib yang kami alami tidak jauh berbeda sebenarnya. "Aku juga suka makanan itu. Chicken... chicken kadon..." aku kesulitan mengingat nama makanan ini.
"Chicken courdon bleu," si laki-laki menambahkan.
"Ah, itu. Aku juga suka makanan itu. Jika kau membuatnya lagi, kau bisa memberikannya padaku. Aku akan menerimanya dengan senang hati." ujarku berusaha meringankan suasana.
Laki-laki itu tertawa. Syukurlah, setidaknya aku bisa melepaskannya dari kesedihan walaupun mungkin hanya sebentar.
"Jika aku membuatnya lagi, maka kau harus membayar jika mau mencicipinya."
"Mwo (apa)? Perhitungan sekali sih." Aku memberengut. Si laki-laki tertawa lebih keras.
"Sudah hampir malam. Ayo kita pergi."
"Pergi kemana? Barang-barangku ada di kamar motelku. Tapi aku tidak punya uang lagi untuk menyewa kamarnya malam ini. Lagipula kunci nya ada didalam tasku."
Laki-laki itu terdiam sejenak, "Jadi kau memutuskan untuk bermalam disini?" tanyanya.
"Tentu saja tidak."
"Kalau begitu ayo kita pergi."
"Odi (kemana)?"
"Ke apartemenku."
~*~
Aku mengerjapkan mata dua kali. Memandang ruangan ini sejenak dan baru teringat bahwa semalam aku datang ke apartemen laki-laki itu. Karena di apartemennya hanya ada satu kamar, jadi aku tidur di sofa ruang tamu –yah, setidaknya aku tidak tidur di jalan. Pintu kamar pun terbuka, laki-laki itu muncul sambil mengancingkan lengan baju nya.
“Kau sudah bangun?” aku pun mengubah posisiku menjadi duduk, selimut masih tersampir di tubuhku. Aku mengangguk sambil menguap.
“Kau mau kemana?” tanyaku.
“Pergi kerja.” Jawabnya sambil mengambil jas putih yang tergeletak di sofa depanku.
“Oh.” Jawabku singkat.
“Kau, apa rencana mu hari ini?”
Molla (tidak tahu).” Jawabku jujur. Aku benar-benar tidak tahu akan melakukan apa hari ini.
“Kau mau ikut ke tempat kerja ku?”
“Bolehkah?”

45 menit kemudian mobil laki-laki itu meluncur di jalanan kota Paris yang sedikit lengang karena hari ini hari minggu. Tapi yang membuatku bingung kenapa laki-laki ini mesti pergi kerja di akhir pekan seperti saat ini. Aku pun memutuskan untuk mengutarakan pertanyaanku.
“Kenapa kau bekerja di hari minggu?”
“Aku tidak bekerja, aku hanya akan mengontrol saja.” Jawabnya, namun matanya tetap terpaku ke jalanan. Sesekali matanya melirik ke spion, aku hanya memperhatikan dari kaca depan. Matanya berwarna coklat bening. Kenapa aku suka melihat matanya? Aku pun mengalihkan pandangan ke jalanan.
Tak lama kemudian laki-laki itu memarkir mobilnya disebuah restauran. Kami memasuki restauran itu dan beberapa pelayan tersenyum pada kami. Aku pikir laki-laki ini mau mengajak ku sarapan karena tadi kami tidak sempat sarapan di apartemennya. Tapi alih-alih memilih meja, laki-laki itu malah jalan terus menuju pintu yang sedikit kedalam. Dia pun membuka pintu itu dan ternyata ruangan itu adalah dapur. Dapur itu luas sekali -tentu saja, itu kan dapur restauran dasar bodoh!- beberapa orang berpakaian chef terlihat sangat sibuk. Lalu salah satu dari mereka menghampiri kami.
“Bagaimana semuanya?” tanya laki-laki itu dalam bahasa Inggris.
“Semuanya terkontrol dengan baik, Chef!” jawab salah satu chef  yang menghampiri kami dengan tegas. Aku tersentak kaget, Chef? Jadi laki-laki ini Chef? Rasanya tidak heran mengingat makanan yang kemarin aku makan begitu enaknya. Tapi tetap saja aku tidak percaya.
Laki-laki itu berdehem sekali, “Baiklah. Aku hanya datang untuk mengontrol saja. Aku akan ke ruangan lalu pergi lagi. Aku serahkan padamu.”
“Siap, Chef!” laki-laki itu menepuk pundak lawan bicaranya sekali lalu keluar ruangan, aku hanya bisa mengikutinya saja. Dari dapur kami berbelok ke kanan dan menuju pintu di ujung koridor yang dindingnya beraksen kayu dengan lampu-lampu yang ditempel disepanjang dinding.
Ternyata ruangan itu adalah semacam kantor kecil. Ada sebuah meja disana, dan ada papan nama bening dengan tulisan hitam. Papan itu bertuliskan “Sam Lee” dan “Vice President” dibawah namanya.
“Sam Lee?” tanya ku.
“Lee Seung Hwa.” Ujarnya. Jadi nama laki-laki ini adalah Lee Seung Hwa, dan di Paris dia lebih dikenal sebagai Sam Lee.
“Kau sendiri?” tanya nya sambil duduk dan mengambil sebuah map di mejanya.
“Apa?”
“Namamu. Siapa namamu?”
“Oh. Aku Cha Hye Ri.”  Jawabku sambil duduk di kursi di depan mejanya. Rasanya aneh sekali, kami baru tahu nama satu sama lain setelah menghabiskan malam bersama. Tunggu dulu, malam bersama? Kedengarannya kurang enak. Aku tidak suka pemikiran itu!
“Aku akan memeriksa ini sebentar, setelah itu baru kita pergi.” Jawabnya sambil memandang komputer yang menyala didepannya.
O (iya).” Karena iseng, aku pun mengambil tumpukan majalah tak jauh dari tempat dudukku. Aku pun kaget begitu melihat cover depan majalah itu yang memampang wajah Seung Hwa. Aku tidak mengerti apa yang dituliskan pada headline nya, sebagai gantinya aku menanyakan hal itu pada Seung Hwa.
“Ini... ini apa?” kataku sambil menunjuk-nunjuk majalah itu.
Seung Hwa mengalihkan pandangan sekilas dari layar untuk menatapku, lalu kemudian kembali menatap layar dengan serius “Oh, itu majalah.” Jawabnya sekenanya.
Aku memutar bola mata, “Aku juga tahu ini majalah. Pikirmu di Korea tidak ada majalah apa? Maksudku, apa yang tertulis disini? Kenapa ada wajahmu dimajalah ini?”
“Berita tentang Chef.” Jawabnya sekenanya lagi. Karena tidak puas dengan jawabannya, aku pun mencari halaman headline tersebut. Walaupun aku tidak mengerti, tapi coba kupahami saja maksud artikel itu dari deretan 10 nama-nama yang tidak kukenal. Dan nama no 1 adalah Sam Lee.
“Ini, urutan nama apa? Apa urutan nama 10 chef terbaik di Paris?”
“Sebenarnya Perancis.” Jawabnya singkat. Aku hanya mengangguk-angguk paham. Laki-laki ini hebat juga, pikirku. Aku pun mengambil majalah lain, dan lagi-lagi terpampang wajah Seung Hwa, namun kali ini ia tidak sendiri, melainkan ada perempuan cantik disampingnya.
“Ini pacarmu?” tanyaku sambil menunjuk gambar perempuan itu.
“Sudah kubilang itu majalah.” Menyebalkan sekali berbicara dengannya. Aku pun meletakkan kembali kedua majalah itu. Namun saat itulah aku melihat sesuatu tersembul dari kolong meja. Akupun mengambilnya. Lagi-lagi majalah. Di covernya menampilkan wajah perempuan yang sama dengan perempuan di majalah sebelumnya, namun kali ini laki-laki yang bersamanya bukan Seung Hwa, melainkan orang lain.
“Pacarmu, sudah punya kekasih lain?” aku bertanya hati-hati. Kulirik Seung Hwa yang masih menatap layar komputer, rahangnya mengeras dan tatapannya pun berubah. Ia diam saja. Alih-alih menjawab pertanyaanku dia malah melepas pandangan dari komputer lalu membereskan beberapa kertas yang terserak dimejanya.
“Sudah selesai. Ayo kita pulang.” Katanya sambil memakai jas yang sebelumnya ia lepaskan.
“Oh, baiklah.” Aku tidak berani bertanya lebih lanjut tentang pacarnya.
Begitu kami keluar dari kantor kecil Seung Hwa, aroma masakan pun segera menyambut penciumanku dan meneruskan ke perutku yang mendadak berbunyi. Aku hanya bisa menggigit bibir karena malu. Seung Hwa yang tadinya berjalan santai tiba-tiba berhenti.
“Kau lapar?”
“Tadi kan kita belum sempat sarapan.”  Jawabku sambil memegangi perut. Lalu Seung Hwa melempar pandangan ke ruangan restauran yang mejanya terisi penuh oleh orang-orang yang menikmati sarapan.
“Tidak ada tempat lagi. Ayo ikuti aku.” Seung Hwa pun menarikku kembali ke dapur. Seung Hwa menggantung jas nya didekat pintu dan sebagai gantinya mengenakan apron putih bersih disekitar pinggangnya. Kemudian ia menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. Beberapa Chef yang masih sibuk berkutat dengan masakan melempar pandangan ke arah Seung Hwa.
“Kalian lanjutkan saja, aku hanya akan memasak sebentar.” Ia bersuara keras sehingga chef yang berada diujung ruangan pun bisa mendengar kata-katanya.
“Baik, Chef!” jawab mereka hampir serentak. Aku pun duduk di sebuah kursi didepan meja panjang yang menghadap tembok. Nampaknya meja ini untuk meletakkan masakan yang sudah matang sebelum diantarkan pelayan.
Aku memperhatikan Seung Hwa yang memasak tidak jauh dari tempat ku duduk. Ia terlihat sangat serius sekali berhadapan dengan bahan-bahan masakan. Dia mengiris-iris dengan cepat, menggunakan pan dengan handal, menaburkan bumbu-bumbu tanpa takaran. Entah kenapa, aku terkesima sekali dengan kemampuannya. Matanya yang coklat bening bergerak dengan cepat kesana kemari memperhatikan setiap detail masakannya. Dan tak lama kemudian dia membawa semangkuk makanan kehadapanku.
Penampilan masakan itu menarik sekali, dan aroma wanginya segera saja menyambut hidungku, “Ini namanya apa?” tanyaku.
“Itu makanan.” Aku pun mengerucutkan bibir, nenek-nenek bau tanah  juga tahu kalau ini makanan. Seung Hwa tersenyum tipis, “Soupe L’oignon Gratinee, sup bawang.” Jawabnya.

Aku hanya bisa ber-oh saja. Lalu aku mengambil sendok yang sudah disediakannya juga dan segera mencicipi sup dengan nama sulit diingat itu. Rasa bawang bombay terasa sekali, namun ada rasa keju juga didalamnya. Secara keseluruhan sup ini manis dan gurih. Aku memakannya dengan lahap, karena selain tuntutan perut sup ini memang enak sekali.
“Lahap sekali,” komentar Seung Hwa yang memandangi ku makan.
“Kau tidak sarapan? Kau tidak lapar?” tanyaku dengan mulut penuh kuah sup.
“Telan dulu, kau bisa memuntahkannya jika sambil bicara.” Aku pun menuruti perintahnya. “Aku sudah kenyang hanya dengan memandangimu makan.” Ujar Seung Hwa lagi.
“Jadi kau Chef disini?”
“Kepala Chef sekaligus pemilik restauran lebih tepatnya.” Katanya mengoreksi. Sekali lagi aku hanya bisa ber-oh saja.
“Pantas saja kemarin kau bilang aku harus bayar jika ingin mencicipi Chicken kadon mu lagi.”
“Chicken courdon bleu.”
“Iya itu maksudku.”
“Ah, kau benar. Kau harus membayar untuk sup ini.” Seketika aku berhenti makan dan menatapnya tak percaya.
“Kau mau memeras ku? Kau kan sudah tahu kalau aku tidak punya uang sama sekali karena kehilangan tas.” Omelku.
Arasseo (aku tahu). Tapi kan aku tidak bilang kau harus membayarnya dengan uang.” Aku hanya mengerjap-ngerjapkan mata sambil mencerna kalimatnya.
~*~
“Tempat apa ini? Seperti museum.” Tanyaku begitu kami memasuki ruangan megah.
“Memang ini museum. Musee De Louvre –museum Louvre. Kau mau lihat salah satu lukisan paling terkenal di dunia?” tanyanya. Mata coklatnya menatapku dengan antusias. Seperti tersihir karena matanya, aku mengangguk. Seung Hwa pun menarik tanganku agar mengikutinya. Dan kami berhenti didepan lukisan seorang perempuan.
“Oh, Monalisa!” seruku begitu mengenali lukisan yang memang sangat terkenal itu.
O (iya). Kau tahu? Lukisan ini juga merupakan lukisan yang paling misterius. Tidak ada yang tahu siapa wanita dalam lukisan ini. Malah ada yang bilang bahwa Da Vinci sendiri yang ada didalam lukisan ini.” Jelas Seung Hwa panjang lebar.
“Benarkah?” aku terkesima dengan lukisan yang biasanya hanya bisa kulihat melalui gambar di internet saja. Aku dan Seung Hwa berputar-putar di dalam museum, memandangi setiap lukisan yang membuatku selalu mendecakkan lidah karena terpesona. Setelah keluar dari museum, matahari sudah hampir mencapai pusara langit, membuat cuaca panas. Seung Hwa pun mengajakku menuju sebuah gerai makanan untuk membeli soda. Dia tahu saja kalau aku haus dan kepanasan. Sambil menikmati soda, kami duduk di sebuah kursi dibawah pohon didepan museum.
“Sejak kapan kau tinggal di Paris?” tanyaku membuka percakapan.
“Hmm, sejak usia 10 tahun.” Jawabnya. Karena tidak tahu apa yang harus ku tanyakan lagi, jadi aku diam saja. Kami larut dalam keheningan sebelum bayangan seseorang muncul didepan kami. Aku menaikkan arah pandangan. Terlihatlah sepasang kaki dengan heels tinggi, semakin keatas aku bisa melihat betis nya yang putih, keatas lagi terlihat rok mininya diatas lutut, keatas lagi pinggang langsing yang dibalut baju ketat tanpa lengan, semakin ke atas terlihat rambut yang digerai menutupi bahunya, dan bibir merah yang mewarnai wajah putih seseorang melengkung membentuk senyum.
Kulirik Seung Hwa yang duduk disampingku menahan napas. Wanita ini adalah wanita yang kulihat di majalah, yang berarti adalah pacar Seung Hwa.
“Hai Sam.” Suaranya mengalun lembut. Betul-betul wanita, tidak seperti aku yang suka berteriak-teriak dan histeris sendiri, pikirku dalam hati.
“Apa yang kau lakukan disini?” Seung Hwa tidak membalas senyumnya.
“Aku hanya mengantar produserku menentukan lokasi pemotretan yang bagus.” Jawab perempuan itu. Mereka berbicara dalam bahasa inggris yang masih bisa kupahami. Lalu seung Hwa melirik jauh kebelakang wanita itu.
“Oh, tentu saja. Sekarang seorang model pun ikut andil dalam pemilihan lokasi.” Wanita itu diam saja, senyum pudar dari wajah cantiknya. Aku yang merasa tidak enak berada diantara mereka yang mungkin ingin mengobrol banyak memutuskan angkat bicara.
“Aku rasa aku ingin ke toilet sekarang. Permisi.” Kataku sambil berdiri. Namun tiba-tiba Seung Hwa ikut berdiri dan memegang tanganku.
“Tidak. Aku juga sudah selesai. Ayo kita pergi sekarang.” Katanya padaku, namun pandangannya masih tertuju pada wanita itu. “Permisi. Kau pasti sibuk.” Setelah berkata demikian, Seung Hwa menarik tanganku meninggalkan wanita itu yang masih berdiri terpaku ditempatnya. Ketika aku menengok kebelakang untuk melihatnya, terlihat seorang laki-laki mendatanginya dan merangkul nya pergi. Jadi apakah benar pacar Seung Hwa sudah memiliki kekasih lain? Lalu mereka putus bukan hanya karena sang perempuan semakin sibuk melainkan juga karena ada orang ketiga? Aku semakin bertanya-tanya, namun aku tak berani mengutarakannya langsung.
Seung Hwa mengajakku kembali ke mobil. Tapi setelah berada didalam mobil, dia malah diam saja. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan, jadi aku juga diam saja.
Setelah diam beberapa saat, Seung Hwa pun membuka mulut. “Ada tempat yang ingin kau kunjungi?”
Aku berpikir sejenak, “Hmm, menurutmu apa bagus berjalan-jalan di Champs-Élysées di siang hari?”
~*~
“Tetap akan lebih bagus jika malam hari. Lampu-lampu akan menerangi sepanjang jalan ini.” Kata Seung Hwa ketika kami berjalan di trotoar jalan Champs-Élysées yang terkenal itu.
“Kau benar. Tapi seperti ini juga sangat indah. Oh ya, apa benar harga sewa toko disini sangat mahal?” tanya ku penasaran.
Seung Hwa menghentikan langkah, dia pun menatap jajaran toko-toko mewah yang berderet-deret, “Benar. Kau lihat sendiri kan, semua barang yang dijual di toko-toko adalah barang-barang bermerk.”
Aku mengangguk-anggukan kepala. Kami berjalan-jalan disepanjang jalan Champs-Élysées. Keluar masuk beberapa toko hanya untuk melihat-lihat, selama di dalam toko Seung Hwa terus menutupi wajahnya dengan sebelah tangan (“Memalukan sekali!” gerutunya). Lalu Seung Hwa keluar toko untuk menelepon seseorang, mungkin kekasihnya. Ada tas yang menarik perhatianku. Cantik sekali, tapi harga nya sangat buruk rupa. Jadi aku keluar toko lagi untuk menemui Seung Hwa yang memasukkan handphone ke saku celananya.
“Tidak melihat-lihat?” tanya nya begitu aku berdiri dihadapannya.
“Memangnya menurutmu apa yang baru saja kulakukan?”
“Oh. Lalu, tidak ingin membeli sesuatu?” pandangannya jauh melewati bahuku.
“Kau mengejek? Tidak terima kasih. Aku lebih suka barang-barang buatan ibuku. Selain mendapat ancaman akan dipukuli jika tidak memakainya, barang itu gratis.” Ujarku muram. Tiba-tiba teringat pada ibu yang akan benar-benar memukuliku begitu aku sampai dirumah. Aku tidak meminta izinnya sebelum pegi, aku baru menghubunginya sesaat aku sampai di Perancis.
Seung Hwa tertawa, “Benarkah? Aku penasaran seperti apa ibumu.”
“Kau sebaiknya memiliki yang seperti itu satu dirumah. Aku jamin tidak akan ada yang berani menyakitimu.”
“Tidak, tidak, tidak. Kau tidak bisa menjaminnya. Buktinya kau disakiti oleh pacarmu, apa ibumu tidak memukuli pacarmu itu?” Bagus sekali, sekarang Seung Hwa menyebut-nyebut sesuatu yang aku lupa beberapa jam belakangan ini.
“Kau membuatnya terdengar seperti seseorang merebut permen ku dan ibu ku harus memarahi anak tersebut. Dan kau membuatku ingat lagi akan sesuatu yang disebut pacar. Sebaiknya kau tutup mulut sekarang juga sebelum aku mendorong mu ke jalan yang ramai itu.” Kataku garang.
“Ah, baiklah. Maafkan aku.” Jawab Seung Hwa masih sambil terkikik.
“Tidak kumaafkan.” jawabku lagi.
“Kalau dengan semangkuk es krim, bagaimana?” aku mengangkat wajahku cepat dan mengikuti arah pandangannya.
Setelah itu kami sudah duduk berhadapan di sebuah meja di luar kafe yang cukup besar sambil menikmati semangkuk besar eskrim. Es krim yang luar biasa enak. Entah sudah berapa rasa yang kudapati dari semangkuk es krim ini. Cokelat, strawberry, waffle, butir-butir chochochips dan masih banyak rasa kejutan yang kudapat dari es krim ini. Luar biasa menyenangkan.
Semilir angin bertiup menerpa wajahku, menggoyangkan helai-helai rambutku. Aku berusaha menyisirnya dengan jari, berusaha tidak kelihatan seperti habis terkena serangan tornado. Aku melirik ke arah Seung Hwa yang secara cepat mengalihkan pandangannya. Terdengar dering suara handphone dan Seung Hwa segera mengangkatnya.
“Benarkah? Ya, aku senang sekali.” Kata Seung Hwa berbicara pada orang ditelepon. Wajahnya terlihat berseri-seri, dan aku bisa merasakan diriku menahan napas ketika melihat mata coklat beningnya bersinar cerah. Senyumnya pudar begitu ia melirik ke arahku. Aku segera mengalihkan pandangan seperti yang dia lakukan sebelumnya.
“Aku mengerti. Aku akan segera menemuimu.” Ujar Seung Hwa lagi dan menutup teleponnya. Aku tidak berani menanyakan siapa yang meneleponnya. Aku menduga yang barusan adalah pacarnya. Karena dia jadi tidak enak begitu saat melihatku.
“Yang tadi itu.. “ suara Seung Hwa terputus. Aku yakin dia bingung antara mau memberi tahu ku atau tidak.
“Es krim nya enak sekali. Kalau kau tidak mau menghabiskannya berikan saja padaku.” Kataku mengubah arah pembicaraan.
~*~
Waktu sudah hampir petang ketika aku selesai mandi di apartemen Seung Hwa. Namun Seung Hwa langsung mengenakan jasnya lagi dan menyuruhku untuk segera bersiap-siap. Aku menuruti perintahnya meski dalam hati aku tidak tahu apa yang ingin dilakukannya-atau mungkin tempat apa yang ingin dikunjunginya.
Mobil Seung Hwa berhenti di depan sebuah restauran bertuliskan “Lee Restaurant & Pastry” dipintu masuk -restaurannya. Kami menimati makan malam yang cukup singkat. Aku mendapat sajian ayam sebagai menu utamanya yang diperkenalkan Seung Hwa sebagai Ayam Marengo. Kali ini tidak terlalu sulit mengingat namanya yang memang tidak terlalu rumit itu.
Setelah selesai makan, Seung Hwa kembali menarikku ke mobilnya dan mengendarainya lagi di jalanan yang sedikit padat. Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mencapai tempat tujuan Seung Hwa. Dengan anehnya, Seung Hwa menutup mataku dengan sapu tangannya sambil menggandeng ku keluar dari mobil. Pelan-pelan aku berjalan, takut tiba-tiba tersandung batu,  jatuh terjerembab dan menduduki kotoran hewan. Andwae (tidak)! Merusak suasana saja.
Karena pandanganku ditutup, pendengaranku jadi bekerja lebih sensitif dari biasanya. Aku mencoba mendengarkan. Terdengar suara-suara banyak orang yang semakin lama semakin jelas, menunjukkan bahwa kami semakin dekat dengan tempat tujuan. Suara orang mengobrol, tertawa, dan... riak air. Mungkinkah...?
Seung Hwa melepas sapu tangan yang menutupi mataku. Dan didepan mataku, disanalah Sungai Seine itu berada.
3 detik... 4 detik... 5 detik... aku hanya bisa terpaku memandang sungai yang disirami cahaya begitu banyaknya. 

“Indah bukan?” tanya Seung Hwa. Ada nada puas dalam suaranya, mungkin dia pikir dia telah berhasil membuatku terkejut. Tapi dia memang sudah melakukannya, aku sangat terkejut dan-tersanjung.
“Bagaimana mungkin...” aku sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan sungai ini. Satu air mata bergulir di pipiku.
Ya! Wae? Anjoha? Mianhatta, uljima (Hei! Kenapa? Tidak suka? Maafkan aku, jangan menangis).” Seung Hwa memperhatikanku dengan resah. Segera saja aku tertawa karenanya. Aku mengusap air mataku.
“Hei, bodoh! Aku tidak menangis karena kesalahanmu. Tempat ini luar biasa indahnya, aku menangis karena bahagia bisa mengunjungi tempat seindah ini.”
Geurae (benarkah)? Kalau begitu, siap berlayar, nona Cha Hye Ri?”
~*~
Aku masih tersenyum mengingat pengalamanku menyusuri sungai Seine. Walau hanya sebentar, namun meninggalkan jejak yang begitu besar. Jejak kebahagiaan. Kini aku sedang duduk di salah satu kursi di dekat menara Eiffel. Seung Hwa sedang membeli minuman. Dan tak lama kemudian sebuah tangan terjulur dihadapanku. Aku mengambil gelas kopi kecil yang disodorkannya.
Merci (terima kasih).” Kataku mencoba berbicara dalam bahasa Perancis.
“Jadi sekarang mau berbicara bahasa Perancis denganku? Baiklah.” Jawabnya santai,
Ani! Keugae aniya (Tidak! Tidak seperti itu). Aku hanya iseng saja tadi.”
Seung Hwa menyesap kopinya, malam ini Eiffel sedikit sunyi. Angin berhembus cukup kencang, menggoyangkan helai-helai rambutku.
“Dingin. Kau baik-baik saja dengan pakaian itu?” Ia melirik dress ku (yang belum kuganti sejak kemarin) yang hanya selutut.
Gwaenchana (Baik-baik saja).” Kataku berusaha terdengar yakin, padahal tubuhku mulai menggigil.
“Ya, tentu. Kau pasti baik-baik saja karena suaramu terdengar gemetar.” Ia membenarkan jasnya.
“Tidak usah. Aku baik-baik saja, sungguh.” Aku mengantisipasi kalau-kalau ia melepas jasnya.
“Apa? Aku bisa kedingingan jika melepas jas ku. Aku hanya mau memberi ini.” Seung Hwa mengulurkan sapu tangan, “Gunakan ini jika kau flu.” Aku berharap bumi menelanku saat ini juga.
Seung Hwa tertawa, “Aku bercanda.” Dia pun melepas jasnya dan mengulurkannya padaku. Aku sudah terlanjur malu, aku berusaha menolaknya dengan asumsi bahwa aku tidak mati dalam beberapa jam kedepan. “Pakailah.”
“Tidak perlu.”
“Ini,” Seung Hwa menyampirkan jasnya ke bahuku. Tanpa sengaja mata kami beradu. Sepersekian detik suasana hening.
Seung Hwa berdehem kaku. Aku memeluk tubuhku, menahan angin.
“Masih dingin?” tanyanya.
A, ani (ti,tidak). Kau?” balasku.
Seung Hwa meringis, “Sedikit.”
Aku melepas jas Seung Hwa, “Sudah ku katakan aku tidak perlu jas mu. Ini pakai saja.”
Ya (hei)! Kau ini, sudah ku katakan juga pakai saja.”
Arasseo (aku tahu).” Lalu aku teringat kata-kata Seung Hwa tadi pagi di restaurant nya, “Mengenai kata-katamu tadi pagi, aku harus membayar masakanmu itu, kalau tidak dengan uang aku harus membayar dengan apa?”
Seung Hwa terlihat mengingat-ingat, “Oh, itu. Ini dia yang harus kau bayar.”
“Apa?”
“Ya... ini. Menemaniku jalan-jalan seharian.”
“Apa? Aku menikmati masakan enak dan sebagai bayarannya aku harus menemanimu jalan-jalan ke tempat indah seperti ini?”
“Iya.”
“Kau... sudah gila ya?”
Seung Hwa tertawa, “Aku... ingin sekali jalan-jalan ke tempat-tempat indah di Paris. Percaya atau tidak, selama bertahun-tahun aku tinggal di Paris aku tidak memiliki waktu luang untuk menikmati keindahan kota ini. Aku memang sudah beratus-ratus kali melewati Eiffel, Seine, Champs-Élysées, tapi tidak mampu menikmatinya dengan sungguh-sungguh. Selalu saja karena rutinitas sekolah, kuliah dan pekerjaan. Aku tidak memiliki teman yang bisa mengajakku pergi bersantai atau piknik. Aku... ingin sekali bepergian seperti itu.”
Sepertinya mustahil sekali ada orang yang tinggal di tempat indah tapi tidak memiliki kesempatan menikmatinya, “Teman? Bagaimana dengan pacarmu? Apa kalian tidak pernah pergi jalan-jalan?” tanyaku.
“Selama 2 tahun aku berpacaran dengan Charice, kami tidak pernah pergi jalan-jalan. Kalau bukan ia menemaniku di restaurant, aku yang akan menemani nya di lokasi pemotretan. Tp kebanyakan waktu kami habiskan di restauran ku, karena sebelumnya ia hanya model biasa dengan kesibukan yang tidak padat.” Jelas Seung Hwa.
“Tidak mungkin.”
“Mungkin saja. Lalu, bagaimana dengan kau dan pacarmu itu?”
“Aku lupa.” Jawabku singkat. Pertanyaan yang sangat sensitif sekali.
“Mana mungkin? Ayolah, ceritakan padaku.” Ejek Seung Hwa.
“Dia brengsek. Dan kau juga, jika terus-terusan membahas hal itu. Sebaiknya kita pulang sekarang juga.”

~*~
Baru saja kami sampai di depan pintu apartemennya, tiba-tiba Seung Hwa pergi lagi. Dia menyuruhku tidak usah menunggunya pulang. Semula ku pikir dia aneh sekali, namun aku teringat kejadian saat dia menerima telepon ketika kami sedang makan es krim. Dia pasti ingin menemui pacarnya sekarang. Tapi, bukankah mereka sudah putus kemarin? Aku tahu, bukan tidak mungkin Seung Hwa masih memiliki perasaan cinta pada pacarnya, namun bukankah pacarnya sudah mencampakkan dia? Ah, sudahlah Cha Hye Ri tidak usah kau pikirkan masalah itu.
Aku pun masuk ke dalam apartemen membawa pertanyaan yang -sialnya- tidak mau hilang. Saking lelahnya, aku segera merebahkan diri di sofa dan jauh tertidur pulas. Terdengar samar-samar suara bel. Perlahan-lahan aku mulai mendapati kesadaranku. Dering bel masih saja berbunyi dengan nyaring. Dengan enggan aku menuju ke pintu. Kenapa Seung Hwa harus membunyikan bel? Aku kan tidak mengubah password pintunya. Sesaat setelah aku membuka pintu, dengan mata yang masih setengah terpejam, omelan dengan lancarnya keluar dari mulutku, “Ya (hei)! Kenapa tidak membuka pintu sendiri? Aku sangat lelah tahu!”
Hening. Tidak ada omelan balik dari Seung Hwa. Aku pun mengucek mata dan memastikan keduanya terbuka sempurna. Entah ini khayalan, mimpi, atau sungguhan, tapi yang berdiri dihadapanku bukanlah Seung Hwa. Melainkan seorang wanita. Bukan, bukan kekasih Seung Hwa, karena wanita ini sudah berusia sekitar 50 tahun. Mungkinkah...?
Aku ingin bertanya siapa dia, namun aku bingung bahasa apa yang harus aku gunakan. Korea, Inggris, Perancis, atau Jerman? Yang aku tau aku tidak akan berbicara dalam bahasa Perancis apalagi Jerman. Kuputuskan untuk memakai bahasa Korea karena sebelumnya sudah terlanjur mengomel dalam bahasa Korea.
“Maaf, Anda siapa ya?”
Yang di tanya malah balik bertanya, “Kau sendiri siapa?”
Aku sedikit jengkel. Kalau saja ia tidak lebih tua dari ku, aku akan menghardiknya, “Aku Cha Hye Ri. Apa Anda mencari Seung Hwa?” tanyaku lagi.
“I.. iya.” Jawab sang ibu dengan wajah masih kebingungan menatapku.
“Tapi, ada urusan apa bibi dengan Seung Hwa?”
“Aku ibunya.” Guntur menggelegar di kejauhan.
~*~
Aku berusaha memejamkan mataku. Nyonya Park Seo Min –Ibu Seung Hwa- memaksa ku tidur sementara ia menunggu Seung Hwa pulang di meja makan. Karena tidak enak membantah, maka aku turuti saja. 30 menit kemudian –kalau perhitunganku tidak salah- terdengar pintu terbuka dan segera disusul oleh nada terkejut dari mulut Seung Hwa.
Eomma (ibu)? Kapan eomma tiba?” tanya Seung Hwa.
“Belum lama. Kau dari mana saja?” jawab nyonya Park dengan tenang.
“Hanya keluar,” Seung Hwa berdehem dan merendahkan suaranya, “Hye Ri, dia sudah tidur?”
O (iya). Mari kita bicara.” Suara nyonya Park masih setenang sebelumnya.
Arasseo(aku mengerti). Tapi, aku akan menaruh barang dulu dikamarku.”
Tak berapa lama kemudian Seung Hwa keluar dari kamar dan menarik satu kursi (aku memanfaatkan indera pendengaranku!).
“Aku akan langsung ke poinnya. Dan kita sama-sama tahu peraturannya kan?”
“Semuanya kejujuran. Aku masih ingat, Bu.” Seung Hwa terdengar malas menjawab.
“Baiklah. Mari kita mulai. Jadi, siapa laki-laki itu? Kekasih barunya kah?” aku membayangkan mata nyonya Park yang tajam menyelidiki ekspresi wajah anak laki-lakinya.
“Dia hanya model biasa. Hanya teman satu agensinnya.” Mereka mulai membicarakan hal yang sulit kupahami.
“Lalu, bukan laki-laki itu orang ketiganya?” aku membayangkan nyonya Park memajukan wajahnya seperti ibu-ibu yang sedang bergosip.
“Bukan. Kenapa Ibu yakin sekali semuanya karena orang ketiga?” saat seperti ini, semestinya Seung Hwa memalingkan wajahnya ke arah lain. Sepertinya aku mengerti apa yang mereka bicarakan.
“Aku Ibumu. Lalu, siapa?”
“Produsernya. Mereka sengaja membuat gosip seakan laki-laki itu adalah kekasih barunya. Hanya kamuflase untuk menutupi realita.” Ah, begitu. Itukah sebabnya mantan kekasih Seung Hwa datang bersama produsernya ke Museum Louvre siang ini? Ya, itu pasti alasannya.
Lagi-lagi aku membayangkan respon nyonya Park. Saat ini mungkin ia sedang mengangguk—angguk paham.
“Hye Ri? Siapa dia?” pertanyaan itu tidak aku prediksi masuk kedalam list jawab-jujur-atau-kubunuh-kau nyonya Park.
Kali ini Seung Hwa tidak langsung menjawab. Mungkin ia sedang sibuk mencari padanan deskripsi “perempuan gila yang memakan makanan ku didepan Eiffel” agar tidak membuat ibunya resah. “Hye Ri, dia kenalan baru ku. Kami bertemu di Eiffel, dia... kehilangan passport.” Kurasa berat bagi Seung Hwa untuk melewatkan “mencuri makanan” dari penjelasannya tentang ku.
“Tapi dia gadis yang baik.” Aku tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba nyonya Park menggebrak meja makan, “Sudah ku katakan gadis Korea lebih baik! Aku senang kau putus dengannya.” Nyonya Park terkekeh. “Aku lelah sekali. Aku akan tidur dikamarmu. Kau, terserah kau mau tidur dimana.” Terdengar pintu kamar tebuka dan kembali menutup. Dan aku tahu ini saatnya bagiku untuk benar-benar memejamkan mata dan jatuh kepelukan mimpi.
~*~
Musibah itu datang ketika aku, nyonya Park dan Seung Hwa sedang berjalan santai sambil menikmati eskrim cone. Kami dalam perjalanan pulang dari minimarket dan sedang bersenda gurau. Tiba-tiba, dihadapan kami muncul seseorang yang sangat tidak ingin aku temui.
“Hye Ri-ya, kita perlu bicara.” Ujar Hee Jun yang mengagetkanku setengah mati.
Sebelum sempat aku berekasi, Seung Hwa sudah angkat bicara, “Tidak ada yang perlu Hye Ri bicarakan denganmu. Kaja (ayo)!” Seung Hwa menggandeng tangan ibunya dan otomatis aku ikut berjalan bersama mereka.
Baru beberapa langakah kami melewati Hee Jun, laki-laki brengsek itu kembali angkat bicara. “Ibumu, dia sakit. Dia terus saja memanggil namamu. Tidak kah kau merasa bersalah karena kabur begitu saja? Kau, anak seperti apa kau ini?” jujur saja kata-kata Hee Jun bagai tamparan untukku. Aku tidak tahu kalau ibuku sakit. Rasa marah tiba-tiba menjalar cepat ke kepalaku. Marah karena aku yang tidak tahu kabar apa-apa tentang ibuku, marah karena aku mengambil keputusan untuk kabur sendiri tanpa memikirkan ibu, marah karena aku harus mengetahui kabar tentang ibu dari orang yang benar-benar tidak ingin aku lihat.
“Bisakah kau diam? Aku benar-benar ingin memukulmu sekarang.” Jangan tanya padaku, aku pun tidak tahu mengapa dari sekian banyak kalimat omelan yang kurangkai di otakku malah kalimat itu yang keluar dari mulutku.
“Besok. Jam 10. Penerbangan ke Korea paling pagi. Aku tunggu kau di bandara. Pulanglah bersama ku Hye Ri-ya.” Hee Jun melembutkan suaranya yang membuat aku ingin muntah.
“Lucu sekali. Kau pikir aku mau pergi bersamamu? Jangan berharap.” Aku mencoba terdengar keras.
Seung Hwa pun tersenyum mengejek, “Ya(hei)! Kau pikir kau ini siapa? Seenaknya saja kalau bicara. Kau hanya mengada-adakan kan kalu ibu Hye Ri sakit? Hye Ri tidak akan kemana-mana, passport dan seluruh barangnya hilang. Aigoo (aduh), kenapa kita harus menghiraukan dia? Ayo kita jalan.” Seung Hwa menarik tangan ibunya dan aku mengikuti mereka dari belakang. Diam-diam aku memikirkan perkataaan Hee Jun. Bagaimana bisa aku berlibur di Paris sementara ibu ku sakit dirumah?
“Laki-laki itu nampaknya tidak terlalu baik.” Nyonya Park angkat bicara. “Lagipula, dia tak lebih tampan dari anakku kan, Hye Ri?”
 Ne? Ah, ne (maaf? Oh, iya).” Jawabku tanpa benar-benar tahu apa yang ditanyakan.
~*~
Ku ketuk pintu dihadapanku beberapa kali. Apakah ia sudah tidur? Tapi ini kan masih jam 7 malam. Kuketuk beberapa kali lagi. Tetap tidak ada jawaban. Dengan memberanikan diri, kubuka pintu kamar Seung Hwa dengan hati-hati.
Kosong. Tidak ada siapapun disini. Saat aku baru saja akan menutup pintu itu kembali, ada sesuatu dipojok ruangan yang menarik perhatianku. Sesuatu yang sangat aku kenal. Aku pun menghampiri benda itu. Koper pakaian serta tas milikku. Tapi, kenapa ada didalam sini? Kenapa ada pada Seung Hwa? Semua pertanyaan itu buyar oleh suara Seung Hwa.
“Kau mencariku? Aku baru saja menerima telepon di luar.”
“Ya. Aku hanya mau memberi tahu makan malam sudah siap.” Ujarku tanpa mengalihkan pandangan pada Seung Hwa sedikitpun. Semua perhatianku terpaku pada koper dan tas milikku. “Siapa yang menelepon?” tanyaku tiba-tiba. Aku pun tidak tahu mengapa aku menanyakan hal semacam itu. Tidak ada jawaban. “Tidak apa-apa. Tidak perlu dijawab.”
“Charice.” Seung Hwa menarik napas berat. “Dia, meminta bertemu denganku besok. Dia meminta tolong sesuatu yang sangat penting katanya. Tapi aku tidak tahu apa.”
“Dan kau berjanji akan datang?” lagi-lagi pertanyaan keluar begitu saja dari mulutku.
O (iya). Wae (kenapa)?” Seung Hwa balik bertanya.
Ani (tidak). Ngomong-ngomong, kenapa koper dan tas ku ada padamu?” kali ini aku membalikkan badan dan menghadapnya. Seung Hwa tersentak. Matanya kemudian beralih ke koper dan tas yang ada dibelakangku.
“Itu... kemarin saat kita di Champs-Élysées, aku meminta tolong temanku yang dikepolisian untuk mencarinya. Dan saat kita makan es krim, dia mengabarkan koper mu sudah ditemukan. Baru semalam aku mengambilnya, saat kau sudah tidur.” Jelas Seung Hwa panjang lebar.
Geurae (begitu)? Tapi, mengapa kau tidak memberitahuku? Kenapa kau menyembunyikan nya dari ku? Sore tadi, saat kita bertemu Hee Jun, kau bahkan mengatakan passport dan barang-barang ku hilang.”
“Itu karena, karena, karena aku tidak mau Hee Jun berpikir bahwa kau akan mudah diajak pulang. Maksudku, belum tentu apa yang dia katakan benar. Iya kan? Aku berniat... memberitahumu... malam ini.”
“Benarkah? Malam ini juga aku mau memberitahumu, aku akan kembali ke Korea besok.”
~*~
Sejak pembicaraan semalam dikamar Seung Hwa, kami tak saling berbicara lagi. Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan bersiap-siap untuk kembali ke Korea. Sungguh ini bukan karena Hee Jun, tapi karena ibuku. Meskipun yang dikatakan Hee Jun mungkin hanya kebohongan, tapi aku tetap hanya ingin bertemu dengan ibuku. Aku merasa sangat bersalah padanya. Keinginan untuk kembali ke Korea semakin besar semenjak aku tahu Seung Hwa mendapat telepon dari Charice, mantan kekasihnya.
“Ayo, aku antar kau ke bandara.” Ujar Seung Hwa sambil meraih kunci mobil di atas meja.
“Tidak perlu. Aku akan naik taksi.” Jawabku datar.
“Tidak, aku yang akan mengantarmu.” Seung Hwa keras kepala. Namun aku tidak mau kalah darinya.
“Tidak. Kau sudah ada janji bukan dengan.. dengan Charice?” mulutku terasa pahit mengucapkan nama itu.
“Aku bisa terlambat datang.” Jawab Seung Hwa enteng.
Aku hanya mendengus pelan mendengar jawabannya, “Laki-laki macam apa yang melanggar janjinya? Apakah semua laki-laki memang seperti itu? Kalau kau  memiliki janji sudah seharusnya kau menepatinya. Jangan sampai terlambat datang.” Kali ini nada bicaraku lebih ketus dari apa yang aku inginkan.
Seung Hwa terdiam. Untuk beberapa saat dia hanya menatapku kemudian melempar kunci mobilnya ke meja dan duduk dengan keras ke sofa. Setelah berpamitan dengan nyonya Park (dia menangis dan meminta alamat email ku) aku bergegas keluar apartemen itu. Ketika pandanganku mulai buram, aku baru sadar kalau mataku terhalang oleh air mata.
~*~
Laki-laki itu disana. Hanya tersenyum penuh kemenangan menatapku. Begitu aku sampai dihadapannya ia pun mengulurkan tangannya untuk memelukku. Langsung saja kutepis tangan itu dengan tasku.
“Singkirkan tanganmu dariku.” Aku berusaha terdengar sekasar mungkin.
Hee jun hanya terkekeh, “Kau tahu, wanita itu tidak semenarik dirimu. Aku akan memaafkan soal pengrusakan motor itu asalkan kau mau kembali padaku.”
“Sampai mati pun aku tidak akan berpikir untuk kembali padamu. Aku senang kau kecewa atas pilihan mu berselingkuh. Aku harap wanita itu menghabiskan banyak uangmu.” Tidak tahan dekat dengan Hee Jun, aku pun segera mencari kursi kosong.
Semuanya tidak lebih baik. Sekarang yang terpikir oleh ku hanya Seung Hwa. Apakah ia sudah pergi menemui Charice? Apakah ia pergi ke restaurannya terlebih dahulu untuk mengontrol? Ataukah ia sedang menemani nyonya Park berbelanja? Tidakkah ia datang untuk mengucapkan selamat tinggal padaku? Aku tidak tahu mengapa semua pemikiran itu membuat dadaku sesak. Beberapa kali aku menenggak air minum, namun setelah itu dadaku kembali sesak.
Aku ingin kembali. Ya, itu memang pemikiran bodoh. Tapi aku ingin kembali. Aku ingin melihat Seung Hwa untuk mengucapkan terima kasih, aku ingin melihat Seung Hwa untuk mengucapkan maaf karena berbicara kasar, dan aku ingin melihat Seung Hwa untuk mengucapkan selamat tinggal. Haruskah aku kembali dan menunda kepulangan ke Korea? Ya.
Aku segera menarik koper ku dan bergegas menuju pintu keluar bandara, namun sebuah tangan menahanku.
“Jangan kembali. Kita harus pergi. Sekarang.”
“Tidak. Lepaskan aku.” Kataku sambil menarik tanganku.
“Kita harus naik ke pesawat sekarang.” Hee Jun menarik ku menuju arah sebaliknya. Ia pun mengambil koperku.
“Lepaskan. Kau mau menyeretku seperti ini?” aku masih berusaha lepas dari genggaman tangannya.
“Ya. Aku tidak keberatan bahkan jika harus menyeretmu asal kau kembali ke Korea bersamaku.” Hee Jun terus menarikku.
“Kau gila? Ya (hei)! Lepaskan aku!” Aku mulai menaikkan nada suaraku. Beberapa orang melirik kearah kami. Namun si gila Hee Jun tampak tidak peduli. Langkahnya baru terhenti karena sebuah suara dibelakang kami.
“Lepaskan dia.” Aku kenal benar dengan suara itu. Serentak aku dan Hee Jun membalikkan badan.
Seung Hwa berdiri disana. Kaku. Matanya menatap tajam tepat ke mata Hee Jun, “Ku bilang lepaskan dia.” Hee Jun tidak bergeming. Aku menarik tanganku dengan keras. Genggaman Hee Jun pun terlepas.
“Kenapa kau datang? Bukankah kau ada janji dengan Charice?” aku berusaha bersuara.
“Aku...” tatapannya melunak. Wajahnya terlihat bingung. Aku bisa melihat berbagai emosi diwajahnya.
“Ada yang ingin kau katakan?” aku bertanya lagi. Seung Hwa menarik napas berat. Namun tetap dia tidak menjawab. Sungguh. Demi apapun, satu-satunya kalimat yang ingin aku dengar adalah ‘jangan pergi’. Aku ingin Seung Hwa menahanku. Satu kalimat seperti itu keluar darinya maka aku akan menunda kepulanganku ke Korea.
Seung Hwa tetap diam. Wajahnya resah. Namun tetap tak ada kalimat yang keluar darinya. Dadaku kembali sesak sementara tenggorokanku bergetar. Selapis air mata mulai mengisi pelupuk mataku.
“Kita harus bergegas.” Hee Jun memperingati. Seung Hwa masih diam saja.
“Jika tidak ada yang ingin kau katakan, aku pergi.” Ujarku dengan suara bergetar. Seung Hwa menatap mataku. Namun, tak ada satu kalimat pun yang keluar darinya. Aku membalikkan badan mengikuti Hee Jun, ia berusaha merangkulku namun kupukul tangannya dengan sebelah tangan.
Air mata yang semula mengendap dipelupuk mata, kini telah menemukan jalannya mengaliri pipiku. Satu kalimat saja yang aku tunggu. Seandainya kau mengatakannya, aku akan berlari tepat kearahmu saat itu juga. Namun, kurasa cinta belum menemukan jalannya. Atau memang cinta ku -yang  baru kusadari- padamu memang harus berakhir di jalan buntu? Benarkah kau tidak merasakan hal yang sama?
~*~
Sejujurnya, ada begitu banyak hal yang ingin aku katakan padamu. Tapi, diantara semua kalimat itu, ada satu kalimat yang benar-benar ingin aku ucapkan. Hanya saja, perasaan ku masih kalah dari logika ku sendiri. Aku berpikir, tidak mungkin semua itu terjadi hanya dalam satu hari. Tidak mungkin bagiku mencintai seorang perempuan hanya dalam satu hari. Ya Hye Ri-ya, benar aku mencintamu. Namun aku sadar, bahkan ada cinta pada pandangan pertama. Lalu, cinta dalam satu hari bukanlah hal yang mustahil, tidakkah begitu? Semuanya menjadi abstrak dihadapan cinta.
Aku tidak tahu sejak kapan perasaan indah itu muncul. Saat pertama kita bertemukah? Saat kau menangis bahagia dihadapan Seine, atau saat aku menyampirkan jasku pada bahumu didepan Eiffel? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku senang caramu memakan makanan buatanku, aku senang caramu merapikan rambutmu, aku senang melihat setiap ekspresimu. Namun, aku tak lagi bisa melihatnya.
Aku sungguh menyesali kebodohanku. Kini 6 bulan telah berlalu, dan tidak ada satu haripun aku lewati tanpa menyesali kebodohanku itu. Aku berjanji akan menebus kesalahn ku. Karenanya, disinilah aku sekarang. Terdampar didepan Namsan Tower tanpa ransel yang berisi dompet dan passportku. Dan tanpa makanan. Beginikah rasanya terdampar kelaparan Hye Ri-ya? Beginikah yang kau rasakan dulu? Merasa asing, bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan lapar.
Tapi kurasa aku sedikit lebih beruntung. Disana, dikursi tak jauh dari tempatku berdiri sekarang ada sekotak makanan, dan tak ada siapapun disini. Namsan Tower sangat sepi siang ini. Aku harus bergegas kesana. Ku rasa itu adalah makanan yang dikirimkan Tuhan dari langit.
Kubuka perlahan kotak makanan itu. Aku tidak tahu apa nama makanan itu, aku tidak pernah memasak makanan Korea ataupun mempelajari resepnya, yang jelas makanan ini berwana sangat merah dan sepertinya pedas. Aku cicipi sedikit dan benar saja, sangat pedas. Aku berusaha makan secepat mungkin untuk menenangkan cacing-cacing perutku yang berdemonstrasi.
Cheogyeo (permisi)! Itu ddeokpokki ku.” Suara seorang wanita membuatku membeku. Kuberanikan untuk mengangkat kepala ku. “Sepertinya ada yang tersesat di negara kelahirannya sendiri. Dan juga kelaparan. Syukurlah, setidaknya kau tidak sehisteris dulu didepan Eiffel.” Ujarnya kaku, namun kemudian tersenyum dengan manisnya. Senyum yang sungguh kurindukan.
Aku berusaha menelan ddeok-apa ke tenggorokanku, dengan ekspresi memelas dan malu serta sisa ddeok-itu di bibirku, aku berkata, “Saranghae.”
~*~