Well, cerita ini sih cerita aku yang paling baru walaupun jadinya udah lama, telat posting aja, hehe. Soalnya lagi fokus ama cerita yang panjaaannggg, mudah-mudahan aja cepet kelar. Aamiin. Sekarang punya tema Paris, setelah cerita aku sebelumnya bersetting di Korea dan Jepang. Pengen keluar negeri aja sih sebenernya, tapi karena belom kesampean jadi diwujudin dalam imajinasi dalam bentuk cerita aja dulu. Mudah-mudahan suatu hari nanti (harus bisa!!) keluar negeri especially Perancis, Korea Selatan, dan so pastay Arab (pergi haji maksudnya), eh Mesir juga deh biar bisa ketemu Fahri wkwk.
Walaupun set nya di Paris, tapi tetep berhubungan ama Korea-Korean sih haha. Mudah-mudahan suka, have an enjoy reading ^^
One Day Love
“Eiffel
aku mau makaaaaaannnn.” Aku berteriak sekencang-kencangnya di depan menara besi
setinggi 325 meter itu. Namun menara itu tetap diam, menyebalkan sekali.
“Eiffel
beri aku makanaaaaaannnn.” Teriak ku lagi. Aku tidak peduli pada orang-orang
yang memandang aneh ke arah ku, toh mereka tidak mengerti apa yang aku ucapkan
karena aku mengucapkan kalimat itu dalam bahasa Korea. Mungkin di tempat ini
hanya aku yang sedang berdiri frustasi memandang Eiffel. Aku pun mengedarkan
pandangan pada orang-orang di sekeliling ku. Kebanyakan dari mereka
berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, saling merangkul, berciuman,
berfoto bersama, tertawa satu sama lain, dan saling menyuapi makanan. Aku muak
sekali melihatnya. Tapi pemandangan yang terakhir membuat ku iri. Makanan, aku
ingin sekali makan. Aku pun menggaruk-garuk kepala ku asal, membuat rambutku
yang dikuncir kehilangan bentuknya. Helai-helai rambut pun mencuat tak tentu arah.
Dan aku tetap tak peduli. Satu-satunya yang aku pedulikan sekarang adalah
perutku.
Ingin
rasanya aku mencekik leherku sendiri karena menyesali kebodohan yang aku
lakukan. Rencana liburan sekaligus melarikan diri dari kenyataan ku hancur
total. Aku baru saja kehilangan tas ku. Dompet, handphone, paspor, peta Paris,
kamus mini, daftar makanan enak, dan daftar belanjaan ku semua ada didalam tas
itu. Tadi tidak sengaja aku tertidur di dalam metro (kereta bawah tanah), lalu
terbangun tiba-tiba dan menyadari aku sudah sampai di stasiun tujuan. Karena
pintu metro sudah akan tertutup lagi karenanya aku segera berlari keluar metro.
Untung saja badan ku langsing, pikirku setelah aku berhasil mencapai peron
stasiun. Namun pemikiran menyenangkan mengenai kelangsingan runtuh seketika
ketika aku melihat di kursi metro yang sudah berjalan perlahan ada seonggok tas
yang aku yakini adalah hak milikku. Andwae(tidak)!
Dan disinilah aku sekarang. Menatap frustasi kepada Eiffel dan rasanya aku
ingin mati saja.
“Eiffel
bunuh aku sekaraaaaaannnggg.” Teriak ku lagi. Aku pun terduduk dan menangis.
Tidak bisa dikatakan menangis juga karena tidak ada air mata yang keluar dari
mata ku. Mungkin lebih tepatnya histeris. Tidak tahu lah, aku tidak bisa
menemukan padanan kata yang tepat untuk mengekspresikan nya.
Tiba-tiba
aku teringat pada Hee Jun, mantan kekasihku. “Tidak, tidak. Aku tidak boleh
mati sekarang. Kalau aku mati sekarang Hee Jun dan selingkuhannya, tidak,
mereka pasti sekarang sudah resmi menjadi pasangan kekasih, menyebalkan. Kalau
aku mati sekarang Hee Jun dan pacar baru nya pasti sangat senang dan hidup
bahagia bersama selama-lamanya. Enak saja. Tidak akan ku biarkan hal itu
terjadi. Aku akan menuntut balas, lihat saja nanti Hee Jun!” Semangat ku pun
bangkit begitu mengingat perselingkuhan pacar mantan pacar ku itu.
Karena itu lah aku pergi ke Paris dengan modal nekat dan uang seadanya
bermaksud untuk menenangkan diri. Namun semuanya kini hilang. Uang dan tekad
nekat ku. Yang tersisa hanya perasaan betapa-bodohnya-aku dan lapar.
Dan
tepat saat itulah aku melihat seorang laki-laki yang berjalan didepan ku
melemparkan sebuah kotak terbuat dari plastik berwarna cerah ke tanah dan
terseok-seok berjalan menuju lebih dekat dengan Eiffel. Apa.. apa kah kotak itu
berisi makanan. Insting ku pun mengatakan iya. Bagaimana bisa dia membuang
makanan begitu saja? Jika dia membuangnya itu artinya dia tidak menginginkannya
kan? Aku pun menelan ludah dan merangkak maju perlahan mendekati kotak itu.
Setelah setengah jalan aku berhenti dan menatap laki-laki itu. Sekarang
laki-laki itu telah berlutut di depan Eiffel, wajahnya tertunduk. Dan entah
mengapa aku bersyukur pada Tuhan bahwa di depan Eiffel masih ada orang lain
yang sama frustasi nya dengan diriku dan dia membawa makanan.
Aku
pun melanjutkan rangkakakan (?) ku menuju kotak makanan yang sekarang
bersinar-sinar itu. Aku menelan ludah lagi, batu-batu kerikil yang mengenai
telapak tangan ku bukanlah penghalang bagiku untuk terus berjuang maju
menyongsong kehidupan. Dan kini aku sudah berada didepan kotak makanan itu.
Dengan senyum penuh kemerdekaan aku mendekatkan tanganku untuk membuka kotak
itu. Tinggal satu senti lagi jari ku sudah menyentuh kotak itu ketika kemudian,
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaarrgggggghhhhhhhh,”
si laki-laki itu berteriak, membuat ku memundurkan tanganku. Dengan leher kaku
aku pun memutar pandangan ke arah laki-laki itu. Kini dia sedang bersujud dan
memukulkan kepalan tangannya ke tanah. Seketika aku meralat ucapan syukurku.
Dia bukan sama frustasinya dengan ku, melainkan jauh lebih gila
frustasi.
Aku
pun kembali mengalihkan pandangan ke kotak makanan. Kini dengan gerakan cepat
aku membuka tutupnya dan segera saja aku disambut oleh dua potong makanan
berbentuk seperti dada ayam berukuran besar. Kulit bagian luarnya berwarna
kuning keemasan dan dilapisi semacam tepung roti. Aku tidak tahu apa nama
makanan ini. Tapi kelihatannya enak sekali. Karena tuntutan perut yang sudah
tidak bisa dibendung lagi, aku pun mengambil satu makanan tersebut dan
menjejalkannya ke dalam mulut.
Ternyata
benar ini adalah dada ayam, namun ada isian lain. Aku bisa merasakan daging
juga. Selain itu lelehan keju pun terasa sangat kuat di lidah. Aku tidak bisa
membayangkan sesuatu yang lebih indah dari makanan ini. Sedang asik-asiknya
menikmati makanan, tiba-tiba terdengar suara yang sangat licin dalam bahasa
Perancis. Aku pun mendongakkan kepala dan melihat tubuh seseorang menjulang
tinggi disampingku.
"Sorry?"
tidak ada kata lain yang terpikir untuk ku ucapkan. Aku tidak bisa berbahasa
Perancis. Kalau tahu aku akan pergi ke Perancis, dulu aku tidak akan
menyaiakan-nyiakan les bahasa Perancis ku untuk memilih pergi membolos ke
Everland dan dipukuli ayah ku saat pulang.
"What
are you doing with my food?" laki-laki itu bersuara lagi, nampaknya
kalimat ini juga yang ia ucapkan dalam bahasa Perancis barusan. Dan sialnya,
aku juga tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar.
"I'm
hungry. I'm sorry." sekenanya saja aku bicara.
"You
have to pay for this food."
"Mwo (apa)? I'm not have money. My bag is
go. You know?" ku lihat laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya. Mungkin
ia tidak mengerti apa yang aku ucapkan. Kenapa aku tidak pernah serius saat
pelajaran bahasa Inggris?
Aku
pun berdiri, "My bag in metro. I'm sleepy and I stop in station and I
don't know where is my bag." aku menjelaskan sambil menggerakkan tangan
dan tubuh ku, berharap ia lebih mengerti dengan apa yang aku ucapkan.
"Hanguk saramieyo (kau orang
Korea)?" kata laki-laki tersebut kemudian.
~*~
"Jadi begitu," ujar si laki-laki sambil
mengangguk pelan setelah mendengar cerita ku. Aku tidak punya pilihan lain
selain menceritakan semua hal padanya, berawal dari perselingkuhan pacarku,
pengrusakan motor pacarku (laki-laki itu berjengit dengan wajah resah, "Kau
benar-benar melakukannya?"), mengambil semua tabungan ku, meminjam uang
pada teman, berangkat ke Perancis, istirahat di motel murah, keinginan
bersenang-senang di Eiffel, tertidur di dalam metro, turun tanpa tas, berjalan
terseok-seok ke depan Eiffel, hingga memakan makanan yang dibuang laki-laki
tersebut.
"Ya, begitulah." aku menghembuskan
napas berat. "Ngomong-ngomong, boleh aku habiskan makananmu? Nampaknya kau
tidak mau memakannya." Laki-laki itu pun mengulurkan kotak yang bersisa
satu makanan padaku. "Gomawo
(terima kasih)." kataku senang sambil mengulurkan tangan mengambilnya.
"Chicken courdon bleu,"
"Mwo (apa)?"
"Nama makanan itu."
"Ah, geurae
(benarkah)?"
"O
(iya). Makanan ini adalah makanan kesukaannya," kata laki-laki itu murung.
"Nugu
(siapa)?"
"Naui
yeojachingu gerom (pacarku tentu saja)."
"Oh. Lalu kenapa tadi kau membuangnya?
Kenapa tidak kau berikan pada pacarmu?"
"Dia, dia baru saja memutuskanku. Dia
seorang model dan kariernya sedang menanjak sekali sekarang. Jadi dia takut
tidak bisa membalas perhatianku lagi dan kemudian memutuskanku."
Aku tidak percaya laki-laki ini bisa menceritakan
masalah pribadinya padaku. Nasib yang kami alami tidak jauh berbeda sebenarnya.
"Aku juga suka makanan itu. Chicken... chicken kadon..." aku
kesulitan mengingat nama makanan ini.
"Chicken courdon bleu," si laki-laki
menambahkan.
"Ah, itu. Aku juga suka makanan itu. Jika
kau membuatnya lagi, kau bisa memberikannya padaku. Aku akan menerimanya dengan
senang hati." ujarku berusaha meringankan suasana.
Laki-laki itu tertawa. Syukurlah, setidaknya aku
bisa melepaskannya dari kesedihan walaupun mungkin hanya sebentar.
"Jika aku membuatnya lagi, maka kau harus
membayar jika mau mencicipinya."
"Mwo (apa)?
Perhitungan sekali sih." Aku memberengut. Si laki-laki tertawa lebih
keras.
"Sudah hampir malam. Ayo kita pergi."
"Pergi kemana? Barang-barangku ada di kamar
motelku. Tapi aku tidak punya uang lagi untuk menyewa kamarnya malam ini.
Lagipula kunci nya ada didalam tasku."
Laki-laki itu terdiam sejenak, "Jadi kau
memutuskan untuk bermalam disini?" tanyanya.
"Tentu saja tidak."
"Kalau begitu ayo kita pergi."
"Odi (kemana)?"
"Ke apartemenku."
~*~
Aku
mengerjapkan mata dua kali. Memandang ruangan ini sejenak dan baru teringat
bahwa semalam aku datang ke apartemen laki-laki itu. Karena di apartemennya
hanya ada satu kamar, jadi aku tidur di sofa ruang tamu –yah, setidaknya aku
tidak tidur di jalan. Pintu kamar pun terbuka, laki-laki itu muncul sambil
mengancingkan lengan baju nya.
“Kau
sudah bangun?” aku pun mengubah posisiku menjadi duduk, selimut masih tersampir
di tubuhku. Aku mengangguk sambil menguap.
“Kau
mau kemana?” tanyaku.
“Pergi
kerja.” Jawabnya sambil mengambil jas putih yang tergeletak di sofa depanku.
“Oh.”
Jawabku singkat.
“Kau,
apa rencana mu hari ini?”
“Molla (tidak tahu).” Jawabku jujur. Aku
benar-benar tidak tahu akan melakukan apa hari ini.
“Kau
mau ikut ke tempat kerja ku?”
“Bolehkah?”
45
menit kemudian mobil laki-laki itu meluncur di jalanan kota Paris yang sedikit
lengang karena hari ini hari minggu. Tapi yang membuatku bingung kenapa
laki-laki ini mesti pergi kerja di akhir pekan seperti saat ini. Aku pun
memutuskan untuk mengutarakan pertanyaanku.
“Kenapa
kau bekerja di hari minggu?”
“Aku
tidak bekerja, aku hanya akan mengontrol saja.” Jawabnya, namun matanya tetap
terpaku ke jalanan. Sesekali matanya melirik ke spion, aku hanya memperhatikan
dari kaca depan. Matanya berwarna coklat bening. Kenapa aku suka melihat
matanya? Aku pun mengalihkan pandangan ke jalanan.
Tak
lama kemudian laki-laki itu memarkir mobilnya disebuah restauran. Kami memasuki
restauran itu dan beberapa pelayan tersenyum pada kami. Aku pikir laki-laki ini
mau mengajak ku sarapan karena tadi kami tidak sempat sarapan di apartemennya.
Tapi alih-alih memilih meja, laki-laki itu malah jalan terus menuju pintu yang
sedikit kedalam. Dia pun membuka pintu itu dan ternyata ruangan itu adalah
dapur. Dapur itu luas sekali -tentu saja, itu kan dapur restauran dasar bodoh!-
beberapa orang berpakaian chef terlihat sangat sibuk. Lalu salah satu dari
mereka menghampiri kami.
“Bagaimana
semuanya?” tanya laki-laki itu dalam bahasa Inggris.
“Semuanya
terkontrol dengan baik, Chef!” jawab salah satu chef yang menghampiri kami dengan tegas. Aku
tersentak kaget, Chef? Jadi laki-laki ini Chef? Rasanya tidak heran mengingat
makanan yang kemarin aku makan begitu enaknya. Tapi tetap saja aku tidak
percaya.
Laki-laki
itu berdehem sekali, “Baiklah. Aku hanya datang untuk mengontrol saja. Aku akan
ke ruangan lalu pergi lagi. Aku serahkan padamu.”
“Siap,
Chef!” laki-laki itu menepuk pundak lawan bicaranya sekali lalu keluar ruangan,
aku hanya bisa mengikutinya saja. Dari dapur kami berbelok ke kanan dan menuju
pintu di ujung koridor yang dindingnya beraksen kayu dengan lampu-lampu yang
ditempel disepanjang dinding.
Ternyata
ruangan itu adalah semacam kantor kecil. Ada sebuah meja disana, dan ada papan
nama bening dengan tulisan hitam. Papan itu bertuliskan “Sam Lee” dan “Vice
President” dibawah namanya.
“Sam
Lee?” tanya ku.
“Lee
Seung Hwa.” Ujarnya. Jadi nama laki-laki ini adalah Lee Seung Hwa, dan di Paris
dia lebih dikenal sebagai Sam Lee.
“Kau
sendiri?” tanya nya sambil duduk dan mengambil sebuah map di mejanya.
“Apa?”
“Namamu.
Siapa namamu?”
“Oh.
Aku Cha Hye Ri.” Jawabku sambil duduk di
kursi di depan mejanya. Rasanya aneh sekali, kami baru tahu nama satu sama lain
setelah menghabiskan malam bersama. Tunggu dulu, malam bersama? Kedengarannya
kurang enak. Aku tidak suka pemikiran itu!
“Aku
akan memeriksa ini sebentar, setelah itu baru kita pergi.” Jawabnya sambil
memandang komputer yang menyala didepannya.
“O (iya).” Karena iseng, aku pun
mengambil tumpukan majalah tak jauh dari tempat dudukku. Aku pun kaget begitu
melihat cover depan majalah itu yang memampang wajah Seung Hwa. Aku tidak
mengerti apa yang dituliskan pada headline nya, sebagai gantinya aku menanyakan
hal itu pada Seung Hwa.
“Ini...
ini apa?” kataku sambil menunjuk-nunjuk majalah itu.
Seung
Hwa mengalihkan pandangan sekilas dari layar untuk menatapku, lalu kemudian
kembali menatap layar dengan serius “Oh, itu majalah.” Jawabnya sekenanya.
Aku
memutar bola mata, “Aku juga tahu ini majalah. Pikirmu di Korea tidak ada
majalah apa? Maksudku, apa yang tertulis disini? Kenapa ada wajahmu dimajalah
ini?”
“Berita
tentang Chef.” Jawabnya sekenanya lagi. Karena tidak puas dengan jawabannya,
aku pun mencari halaman headline tersebut. Walaupun aku tidak mengerti, tapi
coba kupahami saja maksud artikel itu dari deretan 10 nama-nama yang tidak kukenal.
Dan nama no 1 adalah Sam Lee.
“Ini,
urutan nama apa? Apa urutan nama 10 chef terbaik di Paris?”
“Sebenarnya
Perancis.” Jawabnya singkat. Aku hanya mengangguk-angguk paham. Laki-laki ini
hebat juga, pikirku. Aku pun mengambil majalah lain, dan lagi-lagi terpampang
wajah Seung Hwa, namun kali ini ia tidak sendiri, melainkan ada perempuan
cantik disampingnya.
“Ini
pacarmu?” tanyaku sambil menunjuk gambar perempuan itu.
“Sudah
kubilang itu majalah.” Menyebalkan sekali berbicara dengannya. Aku pun
meletakkan kembali kedua majalah itu. Namun saat itulah aku melihat sesuatu
tersembul dari kolong meja. Akupun mengambilnya. Lagi-lagi majalah. Di covernya
menampilkan wajah perempuan yang sama dengan perempuan di majalah sebelumnya,
namun kali ini laki-laki yang bersamanya bukan Seung Hwa, melainkan orang lain.
“Pacarmu,
sudah punya kekasih lain?” aku bertanya hati-hati. Kulirik Seung Hwa yang masih
menatap layar komputer, rahangnya mengeras dan tatapannya pun berubah. Ia diam
saja. Alih-alih menjawab pertanyaanku dia malah melepas pandangan dari komputer
lalu membereskan beberapa kertas yang terserak dimejanya.
“Sudah
selesai. Ayo kita pulang.” Katanya sambil memakai jas yang sebelumnya ia
lepaskan.
“Oh,
baiklah.” Aku tidak berani bertanya lebih lanjut tentang pacarnya.
Begitu
kami keluar dari kantor kecil Seung Hwa, aroma masakan pun segera menyambut
penciumanku dan meneruskan ke perutku yang mendadak berbunyi. Aku hanya bisa
menggigit bibir karena malu. Seung Hwa yang tadinya berjalan santai tiba-tiba
berhenti.
“Kau
lapar?”
“Tadi
kan kita belum sempat sarapan.” Jawabku
sambil memegangi perut. Lalu Seung Hwa melempar pandangan ke ruangan restauran
yang mejanya terisi penuh oleh orang-orang yang menikmati sarapan.
“Tidak
ada tempat lagi. Ayo ikuti aku.” Seung Hwa pun menarikku kembali ke dapur.
Seung Hwa menggantung jas nya didekat pintu dan sebagai gantinya mengenakan
apron putih bersih disekitar pinggangnya. Kemudian ia menggulung lengan
kemejanya hingga ke siku. Beberapa Chef yang masih sibuk berkutat dengan
masakan melempar pandangan ke arah Seung Hwa.
“Kalian
lanjutkan saja, aku hanya akan memasak sebentar.” Ia bersuara keras sehingga
chef yang berada diujung ruangan pun bisa mendengar kata-katanya.
“Baik,
Chef!” jawab mereka hampir serentak. Aku pun duduk di sebuah kursi didepan meja
panjang yang menghadap tembok. Nampaknya meja ini untuk meletakkan masakan yang
sudah matang sebelum diantarkan pelayan.
Aku
memperhatikan Seung Hwa yang memasak tidak jauh dari tempat ku duduk. Ia
terlihat sangat serius sekali berhadapan dengan bahan-bahan masakan. Dia
mengiris-iris dengan cepat, menggunakan pan dengan handal, menaburkan
bumbu-bumbu tanpa takaran. Entah kenapa, aku terkesima sekali dengan
kemampuannya. Matanya yang coklat bening bergerak dengan cepat kesana kemari
memperhatikan setiap detail masakannya. Dan tak lama kemudian dia membawa
semangkuk makanan kehadapanku.
Penampilan
masakan itu menarik sekali, dan aroma wanginya segera saja menyambut hidungku,
“Ini namanya apa?” tanyaku.
“Itu
makanan.” Aku pun mengerucutkan bibir, nenek-nenek bau tanah juga tahu kalau ini makanan. Seung Hwa
tersenyum tipis, “Soupe L’oignon Gratinee, sup bawang.” Jawabnya.
Aku
hanya bisa ber-oh saja. Lalu aku mengambil sendok yang sudah disediakannya juga
dan segera mencicipi sup dengan nama sulit diingat itu. Rasa bawang bombay
terasa sekali, namun ada rasa keju juga didalamnya. Secara keseluruhan sup ini
manis dan gurih. Aku memakannya dengan lahap, karena selain tuntutan perut sup
ini memang enak sekali.
“Lahap
sekali,” komentar Seung Hwa yang memandangi ku makan.
“Kau
tidak sarapan? Kau tidak lapar?” tanyaku dengan mulut penuh kuah sup.
“Telan
dulu, kau bisa memuntahkannya jika sambil bicara.” Aku pun menuruti
perintahnya. “Aku sudah kenyang hanya dengan memandangimu makan.” Ujar Seung
Hwa lagi.
“Jadi
kau Chef disini?”
“Kepala
Chef sekaligus pemilik restauran lebih tepatnya.” Katanya mengoreksi. Sekali
lagi aku hanya bisa ber-oh saja.
“Pantas
saja kemarin kau bilang aku harus bayar jika ingin mencicipi Chicken kadon mu
lagi.”
“Chicken
courdon bleu.”
“Iya
itu maksudku.”
“Ah,
kau benar. Kau harus membayar untuk sup ini.” Seketika aku berhenti makan dan
menatapnya tak percaya.
“Kau
mau memeras ku? Kau kan sudah tahu kalau aku tidak punya uang sama sekali
karena kehilangan tas.” Omelku.
“Arasseo (aku tahu). Tapi kan aku tidak
bilang kau harus membayarnya dengan uang.” Aku hanya mengerjap-ngerjapkan mata
sambil mencerna kalimatnya.
~*~
“Tempat
apa ini? Seperti museum.” Tanyaku begitu kami memasuki ruangan megah.
“Memang
ini museum. Musee De Louvre –museum Louvre. Kau mau lihat salah satu lukisan
paling terkenal di dunia?” tanyanya. Mata coklatnya menatapku dengan antusias.
Seperti tersihir karena matanya, aku mengangguk. Seung Hwa pun menarik tanganku
agar mengikutinya. Dan kami berhenti didepan lukisan seorang perempuan.
“Oh,
Monalisa!” seruku begitu mengenali lukisan yang memang sangat terkenal itu.
“O (iya). Kau tahu? Lukisan ini juga
merupakan lukisan yang paling misterius. Tidak ada yang tahu siapa wanita dalam
lukisan ini. Malah ada yang bilang bahwa Da Vinci sendiri yang ada didalam
lukisan ini.” Jelas Seung Hwa panjang lebar.
“Benarkah?”
aku terkesima dengan lukisan yang biasanya hanya bisa kulihat melalui gambar di
internet saja. Aku dan Seung Hwa berputar-putar di dalam museum, memandangi
setiap lukisan yang membuatku selalu mendecakkan lidah karena terpesona.
Setelah keluar dari museum, matahari sudah hampir mencapai pusara langit,
membuat cuaca panas. Seung Hwa pun mengajakku menuju sebuah gerai makanan untuk
membeli soda. Dia tahu saja kalau aku haus dan kepanasan. Sambil menikmati
soda, kami duduk di sebuah kursi dibawah pohon didepan museum.
“Sejak
kapan kau tinggal di Paris?” tanyaku membuka percakapan.
“Hmm,
sejak usia 10 tahun.” Jawabnya. Karena tidak tahu apa yang harus ku tanyakan
lagi, jadi aku diam saja. Kami larut dalam keheningan sebelum bayangan
seseorang muncul didepan kami. Aku menaikkan arah pandangan. Terlihatlah
sepasang kaki dengan heels tinggi, semakin keatas aku bisa melihat betis nya
yang putih, keatas lagi terlihat rok mininya diatas lutut, keatas lagi pinggang
langsing yang dibalut baju ketat tanpa lengan, semakin ke atas terlihat rambut
yang digerai menutupi bahunya, dan bibir merah yang mewarnai wajah putih
seseorang melengkung membentuk senyum.
Kulirik
Seung Hwa yang duduk disampingku menahan napas. Wanita ini adalah wanita yang
kulihat di majalah, yang berarti adalah pacar Seung Hwa.
“Hai
Sam.” Suaranya mengalun lembut. Betul-betul wanita, tidak seperti aku yang suka
berteriak-teriak dan histeris sendiri, pikirku dalam hati.
“Apa
yang kau lakukan disini?” Seung Hwa tidak membalas senyumnya.
“Aku
hanya mengantar produserku menentukan lokasi pemotretan yang bagus.” Jawab
perempuan itu. Mereka berbicara dalam bahasa inggris yang masih bisa kupahami.
Lalu seung Hwa melirik jauh kebelakang wanita itu.
“Oh,
tentu saja. Sekarang seorang model pun ikut andil dalam pemilihan lokasi.”
Wanita itu diam saja, senyum pudar dari wajah cantiknya. Aku yang merasa tidak
enak berada diantara mereka yang mungkin ingin mengobrol banyak memutuskan
angkat bicara.
“Aku
rasa aku ingin ke toilet sekarang. Permisi.” Kataku sambil berdiri. Namun
tiba-tiba Seung Hwa ikut berdiri dan memegang tanganku.
“Tidak.
Aku juga sudah selesai. Ayo kita pergi sekarang.” Katanya padaku, namun
pandangannya masih tertuju pada wanita itu. “Permisi. Kau pasti sibuk.” Setelah
berkata demikian, Seung Hwa menarik tanganku meninggalkan wanita itu yang masih
berdiri terpaku ditempatnya. Ketika aku menengok kebelakang untuk melihatnya,
terlihat seorang laki-laki mendatanginya dan merangkul nya pergi. Jadi apakah
benar pacar Seung Hwa sudah memiliki kekasih lain? Lalu mereka putus bukan
hanya karena sang perempuan semakin sibuk melainkan juga karena ada orang
ketiga? Aku semakin bertanya-tanya, namun aku tak berani mengutarakannya
langsung.
Seung
Hwa mengajakku kembali ke mobil. Tapi setelah berada didalam mobil, dia malah
diam saja. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan, jadi aku juga diam saja.
Setelah
diam beberapa saat, Seung Hwa pun membuka mulut. “Ada tempat yang ingin kau
kunjungi?”
Aku
berpikir sejenak, “Hmm, menurutmu apa bagus berjalan-jalan di Champs-Élysées di
siang hari?”
~*~
“Tetap
akan lebih bagus jika malam hari. Lampu-lampu akan menerangi sepanjang jalan
ini.” Kata Seung Hwa ketika kami berjalan di trotoar jalan Champs-Élysées yang
terkenal itu.
“Kau
benar. Tapi seperti ini juga sangat indah. Oh ya, apa benar harga sewa toko
disini sangat mahal?” tanya ku penasaran.
Seung
Hwa menghentikan langkah, dia pun menatap jajaran toko-toko mewah yang
berderet-deret, “Benar. Kau lihat sendiri kan, semua barang yang dijual di
toko-toko adalah barang-barang bermerk.”
Aku
mengangguk-anggukan kepala. Kami berjalan-jalan disepanjang jalan
Champs-Élysées. Keluar masuk beberapa toko hanya untuk melihat-lihat, selama di
dalam toko Seung Hwa terus menutupi wajahnya dengan sebelah tangan (“Memalukan
sekali!” gerutunya). Lalu Seung Hwa keluar toko untuk menelepon seseorang,
mungkin kekasihnya. Ada tas yang menarik perhatianku. Cantik sekali, tapi harga
nya sangat buruk rupa. Jadi aku keluar toko lagi untuk menemui Seung Hwa yang memasukkan
handphone ke saku celananya.
“Tidak
melihat-lihat?” tanya nya begitu aku berdiri dihadapannya.
“Memangnya
menurutmu apa yang baru saja kulakukan?”
“Oh.
Lalu, tidak ingin membeli sesuatu?” pandangannya jauh melewati bahuku.
“Kau
mengejek? Tidak terima kasih. Aku lebih suka barang-barang buatan ibuku. Selain
mendapat ancaman akan dipukuli jika tidak memakainya, barang itu gratis.”
Ujarku muram. Tiba-tiba teringat pada ibu yang akan benar-benar memukuliku
begitu aku sampai dirumah. Aku tidak meminta izinnya sebelum pegi, aku baru
menghubunginya sesaat aku sampai di Perancis.
Seung
Hwa tertawa, “Benarkah? Aku penasaran seperti apa ibumu.”
“Kau
sebaiknya memiliki yang seperti itu satu dirumah. Aku jamin tidak akan ada yang
berani menyakitimu.”
“Tidak,
tidak, tidak. Kau tidak bisa menjaminnya. Buktinya kau disakiti oleh pacarmu,
apa ibumu tidak memukuli pacarmu itu?” Bagus sekali, sekarang Seung Hwa
menyebut-nyebut sesuatu yang aku lupa beberapa jam belakangan ini.
“Kau
membuatnya terdengar seperti seseorang merebut permen ku dan ibu ku harus
memarahi anak tersebut. Dan kau membuatku ingat lagi akan sesuatu yang disebut
pacar. Sebaiknya kau tutup mulut sekarang juga sebelum aku mendorong mu ke
jalan yang ramai itu.” Kataku garang.
“Ah,
baiklah. Maafkan aku.” Jawab Seung Hwa masih sambil terkikik.
“Tidak
kumaafkan.” jawabku lagi.
“Kalau
dengan semangkuk es krim, bagaimana?” aku mengangkat wajahku cepat dan
mengikuti arah pandangannya.
Setelah
itu kami sudah duduk berhadapan di sebuah meja di luar kafe yang cukup besar
sambil menikmati semangkuk besar eskrim. Es krim yang luar biasa enak. Entah
sudah berapa rasa yang kudapati dari semangkuk es krim ini. Cokelat,
strawberry, waffle, butir-butir chochochips dan masih banyak rasa kejutan yang
kudapat dari es krim ini. Luar biasa menyenangkan.
Semilir
angin bertiup menerpa wajahku, menggoyangkan helai-helai rambutku. Aku berusaha
menyisirnya dengan jari, berusaha tidak kelihatan seperti habis terkena
serangan tornado. Aku melirik ke arah Seung Hwa yang secara cepat mengalihkan
pandangannya. Terdengar dering suara handphone dan Seung Hwa segera
mengangkatnya.
“Benarkah?
Ya, aku senang sekali.” Kata Seung Hwa berbicara pada orang ditelepon. Wajahnya
terlihat berseri-seri, dan aku bisa merasakan diriku menahan napas ketika
melihat mata coklat beningnya bersinar cerah. Senyumnya pudar begitu ia melirik
ke arahku. Aku segera mengalihkan pandangan seperti yang dia lakukan
sebelumnya.
“Aku
mengerti. Aku akan segera menemuimu.” Ujar Seung Hwa lagi dan menutup
teleponnya. Aku tidak berani menanyakan siapa yang meneleponnya. Aku menduga
yang barusan adalah pacarnya. Karena dia jadi tidak enak begitu saat melihatku.
“Yang
tadi itu.. “ suara Seung Hwa terputus. Aku yakin dia bingung antara mau memberi
tahu ku atau tidak.
“Es
krim nya enak sekali. Kalau kau tidak mau menghabiskannya berikan saja padaku.”
Kataku mengubah arah pembicaraan.
~*~
Waktu
sudah hampir petang ketika aku selesai mandi di apartemen Seung Hwa. Namun
Seung Hwa langsung mengenakan jasnya lagi dan menyuruhku untuk segera
bersiap-siap. Aku menuruti perintahnya meski dalam hati aku tidak tahu apa yang
ingin dilakukannya-atau mungkin tempat apa yang ingin dikunjunginya.
Mobil
Seung Hwa berhenti di depan sebuah restauran bertuliskan “Lee Restaurant &
Pastry” dipintu masuk -restaurannya. Kami menimati makan malam yang cukup
singkat. Aku mendapat sajian ayam sebagai menu utamanya yang diperkenalkan
Seung Hwa sebagai Ayam Marengo. Kali ini tidak terlalu sulit mengingat namanya
yang memang tidak terlalu rumit itu.
Setelah
selesai makan, Seung Hwa kembali menarikku ke mobilnya dan mengendarainya lagi
di jalanan yang sedikit padat. Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk
mencapai tempat tujuan Seung Hwa. Dengan anehnya, Seung Hwa menutup mataku
dengan sapu tangannya sambil menggandeng ku keluar dari mobil. Pelan-pelan aku
berjalan, takut tiba-tiba tersandung batu,
jatuh terjerembab dan menduduki kotoran hewan. Andwae (tidak)! Merusak suasana saja.
Karena
pandanganku ditutup, pendengaranku jadi bekerja lebih sensitif dari biasanya.
Aku mencoba mendengarkan. Terdengar suara-suara banyak orang yang semakin lama
semakin jelas, menunjukkan bahwa kami semakin dekat dengan tempat tujuan. Suara
orang mengobrol, tertawa, dan... riak air. Mungkinkah...?
Seung
Hwa melepas sapu tangan yang menutupi mataku. Dan didepan mataku, disanalah
Sungai Seine itu berada.
3
detik... 4 detik... 5 detik... aku hanya bisa terpaku memandang sungai yang
disirami cahaya begitu banyaknya.
“Indah
bukan?” tanya Seung Hwa. Ada nada puas dalam suaranya, mungkin dia pikir dia
telah berhasil membuatku terkejut. Tapi dia memang sudah melakukannya, aku
sangat terkejut dan-tersanjung.
“Bagaimana
mungkin...” aku sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan
keindahan sungai ini. Satu air mata bergulir di pipiku.
“Ya! Wae? Anjoha? Mianhatta, uljima (Hei!
Kenapa? Tidak suka? Maafkan aku, jangan menangis).” Seung Hwa memperhatikanku
dengan resah. Segera saja aku tertawa karenanya. Aku mengusap air mataku.
“Hei,
bodoh! Aku tidak menangis karena kesalahanmu. Tempat ini luar biasa indahnya,
aku menangis karena bahagia bisa mengunjungi tempat seindah ini.”
“Geurae (benarkah)? Kalau begitu, siap
berlayar, nona Cha Hye Ri?”
~*~
Aku
masih tersenyum mengingat pengalamanku menyusuri sungai Seine. Walau hanya sebentar,
namun meninggalkan jejak yang begitu besar. Jejak kebahagiaan. Kini aku sedang
duduk di salah satu kursi di dekat menara Eiffel. Seung Hwa sedang membeli
minuman. Dan tak lama kemudian sebuah tangan terjulur dihadapanku. Aku
mengambil gelas kopi kecil yang disodorkannya.
“Merci (terima kasih).” Kataku mencoba
berbicara dalam bahasa Perancis.
“Jadi
sekarang mau berbicara bahasa Perancis denganku? Baiklah.” Jawabnya santai,
“Ani! Keugae aniya (Tidak! Tidak seperti
itu). Aku hanya iseng saja tadi.”
Seung
Hwa menyesap kopinya, malam ini Eiffel sedikit sunyi. Angin berhembus cukup
kencang, menggoyangkan helai-helai rambutku.
“Dingin.
Kau baik-baik saja dengan pakaian itu?” Ia melirik dress ku (yang belum kuganti
sejak kemarin) yang hanya selutut.
“Gwaenchana (Baik-baik saja).” Kataku
berusaha terdengar yakin, padahal tubuhku mulai menggigil.
“Ya,
tentu. Kau pasti baik-baik saja karena suaramu terdengar gemetar.” Ia
membenarkan jasnya.
“Tidak
usah. Aku baik-baik saja, sungguh.” Aku mengantisipasi kalau-kalau ia melepas
jasnya.
“Apa?
Aku bisa kedingingan jika melepas jas ku. Aku hanya mau memberi ini.” Seung Hwa
mengulurkan sapu tangan, “Gunakan ini jika kau flu.” Aku berharap bumi
menelanku saat ini juga.
Seung
Hwa tertawa, “Aku bercanda.” Dia pun melepas jasnya dan mengulurkannya padaku.
Aku sudah terlanjur malu, aku berusaha menolaknya dengan asumsi bahwa aku tidak
mati dalam beberapa jam kedepan. “Pakailah.”
“Tidak
perlu.”
“Ini,”
Seung Hwa menyampirkan jasnya ke bahuku. Tanpa sengaja mata kami beradu. Sepersekian
detik suasana hening.
Seung
Hwa berdehem kaku. Aku memeluk tubuhku, menahan angin.
“Masih
dingin?” tanyanya.
“A, ani (ti,tidak). Kau?” balasku.
Seung
Hwa meringis, “Sedikit.”
Aku
melepas jas Seung Hwa, “Sudah ku katakan aku tidak perlu jas mu. Ini pakai
saja.”
“Ya (hei)! Kau ini, sudah ku katakan juga
pakai saja.”
“Arasseo (aku tahu).” Lalu aku teringat
kata-kata Seung Hwa tadi pagi di restaurant nya, “Mengenai kata-katamu tadi
pagi, aku harus membayar masakanmu itu, kalau tidak dengan uang aku harus
membayar dengan apa?”
Seung
Hwa terlihat mengingat-ingat, “Oh, itu. Ini dia yang harus kau bayar.”
“Apa?”
“Ya...
ini. Menemaniku jalan-jalan seharian.”
“Apa?
Aku menikmati masakan enak dan sebagai bayarannya aku harus menemanimu
jalan-jalan ke tempat indah seperti ini?”
“Iya.”
“Kau...
sudah gila ya?”
Seung
Hwa tertawa, “Aku... ingin sekali jalan-jalan ke tempat-tempat indah di Paris.
Percaya atau tidak, selama bertahun-tahun aku tinggal di Paris aku tidak memiliki
waktu luang untuk menikmati keindahan kota ini. Aku memang sudah beratus-ratus
kali melewati Eiffel, Seine, Champs-Élysées, tapi tidak mampu menikmatinya
dengan sungguh-sungguh. Selalu saja karena rutinitas sekolah, kuliah dan
pekerjaan. Aku tidak memiliki teman yang bisa mengajakku pergi bersantai atau
piknik. Aku... ingin sekali bepergian seperti itu.”
Sepertinya
mustahil sekali ada orang yang tinggal di tempat indah tapi tidak memiliki
kesempatan menikmatinya, “Teman? Bagaimana dengan pacarmu? Apa kalian tidak
pernah pergi jalan-jalan?” tanyaku.
“Selama
2 tahun aku berpacaran dengan Charice, kami tidak pernah pergi jalan-jalan.
Kalau bukan ia menemaniku di restaurant, aku yang akan menemani nya di lokasi
pemotretan. Tp kebanyakan waktu kami habiskan di restauran ku, karena
sebelumnya ia hanya model biasa dengan kesibukan yang tidak padat.” Jelas Seung
Hwa.
“Tidak
mungkin.”
“Mungkin
saja. Lalu, bagaimana dengan kau dan pacarmu itu?”
“Aku
lupa.” Jawabku singkat. Pertanyaan yang sangat sensitif sekali.
“Mana
mungkin? Ayolah, ceritakan padaku.” Ejek Seung Hwa.
“Dia
brengsek. Dan kau juga, jika terus-terusan membahas hal itu. Sebaiknya kita
pulang sekarang juga.”
~*~
Baru
saja kami sampai di depan pintu apartemennya, tiba-tiba Seung Hwa pergi lagi.
Dia menyuruhku tidak usah menunggunya pulang. Semula ku pikir dia aneh sekali,
namun aku teringat kejadian saat dia menerima telepon ketika kami sedang makan
es krim. Dia pasti ingin menemui pacarnya sekarang. Tapi, bukankah mereka sudah
putus kemarin? Aku tahu, bukan tidak mungkin Seung Hwa masih memiliki perasaan
cinta pada pacarnya, namun bukankah pacarnya sudah mencampakkan dia? Ah,
sudahlah Cha Hye Ri tidak usah kau pikirkan masalah itu.
Aku
pun masuk ke dalam apartemen membawa pertanyaan yang -sialnya- tidak mau
hilang. Saking lelahnya, aku segera merebahkan diri di sofa dan jauh tertidur
pulas. Terdengar samar-samar suara bel. Perlahan-lahan aku mulai mendapati
kesadaranku. Dering bel masih saja berbunyi dengan nyaring. Dengan enggan aku
menuju ke pintu. Kenapa Seung Hwa harus membunyikan bel? Aku kan tidak mengubah
password pintunya. Sesaat setelah aku membuka pintu, dengan mata yang masih
setengah terpejam, omelan dengan lancarnya keluar dari mulutku, “Ya (hei)! Kenapa tidak membuka pintu
sendiri? Aku sangat lelah tahu!”
Hening.
Tidak ada omelan balik dari Seung Hwa. Aku pun mengucek mata dan memastikan
keduanya terbuka sempurna. Entah ini khayalan, mimpi, atau sungguhan, tapi yang
berdiri dihadapanku bukanlah Seung Hwa. Melainkan seorang wanita. Bukan, bukan
kekasih Seung Hwa, karena wanita ini sudah berusia sekitar 50 tahun.
Mungkinkah...?
Aku
ingin bertanya siapa dia, namun aku bingung bahasa apa yang harus aku gunakan.
Korea, Inggris, Perancis, atau Jerman? Yang aku tau aku tidak akan berbicara
dalam bahasa Perancis apalagi Jerman. Kuputuskan untuk memakai bahasa Korea
karena sebelumnya sudah terlanjur mengomel dalam bahasa Korea.
“Maaf,
Anda siapa ya?”
Yang
di tanya malah balik bertanya, “Kau sendiri siapa?”
Aku
sedikit jengkel. Kalau saja ia tidak lebih tua dari ku, aku akan menghardiknya,
“Aku Cha Hye Ri. Apa Anda mencari Seung Hwa?” tanyaku lagi.
“I..
iya.” Jawab sang ibu dengan wajah masih kebingungan menatapku.
“Tapi,
ada urusan apa bibi dengan Seung Hwa?”
“Aku
ibunya.” Guntur menggelegar di kejauhan.
~*~
Aku
berusaha memejamkan mataku. Nyonya Park Seo Min –Ibu Seung Hwa- memaksa ku
tidur sementara ia menunggu Seung Hwa pulang di meja makan. Karena tidak enak
membantah, maka aku turuti saja. 30 menit kemudian –kalau perhitunganku tidak
salah- terdengar pintu terbuka dan segera disusul oleh nada terkejut dari mulut
Seung Hwa.
“Eomma (ibu)? Kapan eomma tiba?” tanya Seung Hwa.
“Belum
lama. Kau dari mana saja?” jawab nyonya Park dengan tenang.
“Hanya
keluar,” Seung Hwa berdehem dan merendahkan suaranya, “Hye Ri, dia sudah
tidur?”
“O (iya). Mari kita bicara.” Suara nyonya
Park masih setenang sebelumnya.
“Arasseo(aku mengerti). Tapi, aku akan
menaruh barang dulu dikamarku.”
Tak
berapa lama kemudian Seung Hwa keluar dari kamar dan menarik satu kursi (aku
memanfaatkan indera pendengaranku!).
“Aku
akan langsung ke poinnya. Dan kita sama-sama tahu peraturannya kan?”
“Semuanya
kejujuran. Aku masih ingat, Bu.” Seung Hwa terdengar malas menjawab.
“Baiklah.
Mari kita mulai. Jadi, siapa laki-laki itu? Kekasih barunya kah?” aku
membayangkan mata nyonya Park yang tajam menyelidiki ekspresi wajah anak
laki-lakinya.
“Dia
hanya model biasa. Hanya teman satu agensinnya.” Mereka mulai membicarakan hal
yang sulit kupahami.
“Lalu,
bukan laki-laki itu orang ketiganya?” aku membayangkan nyonya Park memajukan
wajahnya seperti ibu-ibu yang sedang bergosip.
“Bukan.
Kenapa Ibu yakin sekali semuanya karena orang ketiga?” saat seperti ini,
semestinya Seung Hwa memalingkan wajahnya ke arah lain. Sepertinya aku mengerti
apa yang mereka bicarakan.
“Aku
Ibumu. Lalu, siapa?”
“Produsernya.
Mereka sengaja membuat gosip seakan laki-laki itu adalah kekasih barunya. Hanya
kamuflase untuk menutupi realita.” Ah, begitu. Itukah sebabnya mantan kekasih
Seung Hwa datang bersama produsernya ke Museum Louvre siang ini? Ya, itu pasti
alasannya.
Lagi-lagi
aku membayangkan respon nyonya Park. Saat ini mungkin ia sedang
mengangguk—angguk paham.
“Hye
Ri? Siapa dia?” pertanyaan itu tidak aku prediksi masuk kedalam list
jawab-jujur-atau-kubunuh-kau nyonya Park.
Kali
ini Seung Hwa tidak langsung menjawab. Mungkin ia sedang sibuk mencari padanan
deskripsi “perempuan gila yang memakan makanan ku didepan Eiffel” agar tidak
membuat ibunya resah. “Hye Ri, dia kenalan baru ku. Kami bertemu di Eiffel,
dia... kehilangan passport.” Kurasa berat bagi Seung Hwa untuk melewatkan
“mencuri makanan” dari penjelasannya tentang ku.
“Tapi
dia gadis yang baik.” Aku tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba nyonya Park
menggebrak meja makan, “Sudah ku katakan gadis Korea lebih baik! Aku senang kau
putus dengannya.” Nyonya Park terkekeh. “Aku lelah sekali. Aku akan tidur
dikamarmu. Kau, terserah kau mau tidur dimana.” Terdengar pintu kamar tebuka
dan kembali menutup. Dan aku tahu ini saatnya bagiku untuk benar-benar
memejamkan mata dan jatuh kepelukan mimpi.
~*~
Musibah
itu datang ketika aku, nyonya Park dan Seung Hwa sedang berjalan santai sambil
menikmati eskrim cone. Kami dalam perjalanan pulang dari minimarket dan sedang
bersenda gurau. Tiba-tiba, dihadapan kami muncul seseorang yang sangat tidak
ingin aku temui.
“Hye
Ri-ya, kita perlu bicara.” Ujar Hee Jun yang mengagetkanku setengah mati.
Sebelum
sempat aku berekasi, Seung Hwa sudah angkat bicara, “Tidak ada yang perlu Hye
Ri bicarakan denganmu. Kaja (ayo)!”
Seung Hwa menggandeng tangan ibunya dan otomatis aku ikut berjalan bersama
mereka.
Baru
beberapa langakah kami melewati Hee Jun, laki-laki brengsek itu kembali angkat
bicara. “Ibumu, dia sakit. Dia terus saja memanggil namamu. Tidak kah kau
merasa bersalah karena kabur begitu saja? Kau, anak seperti apa kau ini?” jujur
saja kata-kata Hee Jun bagai tamparan untukku. Aku tidak tahu kalau ibuku
sakit. Rasa marah tiba-tiba menjalar cepat ke kepalaku. Marah karena aku yang
tidak tahu kabar apa-apa tentang ibuku, marah karena aku mengambil keputusan
untuk kabur sendiri tanpa memikirkan ibu, marah karena aku harus mengetahui
kabar tentang ibu dari orang yang benar-benar tidak ingin aku lihat.
“Bisakah
kau diam? Aku benar-benar ingin memukulmu sekarang.” Jangan tanya padaku, aku
pun tidak tahu mengapa dari sekian banyak kalimat omelan yang kurangkai di
otakku malah kalimat itu yang keluar dari mulutku.
“Besok.
Jam 10. Penerbangan ke Korea paling pagi. Aku tunggu kau di bandara. Pulanglah
bersama ku Hye Ri-ya.” Hee Jun melembutkan suaranya yang membuat aku ingin
muntah.
“Lucu
sekali. Kau pikir aku mau pergi bersamamu? Jangan berharap.” Aku mencoba
terdengar keras.
Seung
Hwa pun tersenyum mengejek, “Ya(hei)!
Kau pikir kau ini siapa? Seenaknya saja kalau bicara. Kau hanya mengada-adakan
kan kalu ibu Hye Ri sakit? Hye Ri tidak akan kemana-mana, passport dan seluruh
barangnya hilang. Aigoo (aduh),
kenapa kita harus menghiraukan dia? Ayo kita jalan.” Seung Hwa menarik tangan
ibunya dan aku mengikuti mereka dari belakang. Diam-diam aku memikirkan
perkataaan Hee Jun. Bagaimana bisa aku berlibur di Paris sementara ibu ku sakit
dirumah?
“Laki-laki
itu nampaknya tidak terlalu baik.” Nyonya Park angkat bicara. “Lagipula, dia
tak lebih tampan dari anakku kan, Hye Ri?”
“Ne?
Ah, ne (maaf? Oh, iya).” Jawabku
tanpa benar-benar tahu apa yang ditanyakan.
~*~
Ku
ketuk pintu dihadapanku beberapa kali. Apakah ia sudah tidur? Tapi ini kan
masih jam 7 malam. Kuketuk beberapa kali lagi. Tetap tidak ada jawaban. Dengan
memberanikan diri, kubuka pintu kamar Seung Hwa dengan hati-hati.
Kosong.
Tidak ada siapapun disini. Saat aku baru saja akan menutup pintu itu kembali,
ada sesuatu dipojok ruangan yang menarik perhatianku. Sesuatu yang sangat aku
kenal. Aku pun menghampiri benda itu. Koper pakaian serta tas milikku. Tapi,
kenapa ada didalam sini? Kenapa ada pada Seung Hwa? Semua pertanyaan itu buyar
oleh suara Seung Hwa.
“Kau
mencariku? Aku baru saja menerima telepon di luar.”
“Ya.
Aku hanya mau memberi tahu makan malam sudah siap.” Ujarku tanpa mengalihkan
pandangan pada Seung Hwa sedikitpun. Semua perhatianku terpaku pada koper dan
tas milikku. “Siapa yang menelepon?” tanyaku tiba-tiba. Aku pun tidak tahu
mengapa aku menanyakan hal semacam itu. Tidak ada jawaban. “Tidak apa-apa.
Tidak perlu dijawab.”
“Charice.”
Seung Hwa menarik napas berat. “Dia, meminta bertemu denganku besok. Dia
meminta tolong sesuatu yang sangat penting katanya. Tapi aku tidak tahu apa.”
“Dan
kau berjanji akan datang?” lagi-lagi pertanyaan keluar begitu saja dari
mulutku.
“O (iya). Wae (kenapa)?” Seung Hwa balik bertanya.
“Ani (tidak). Ngomong-ngomong, kenapa
koper dan tas ku ada padamu?” kali ini aku membalikkan badan dan menghadapnya.
Seung Hwa tersentak. Matanya kemudian beralih ke koper dan tas yang ada
dibelakangku.
“Itu...
kemarin saat kita di Champs-Élysées, aku meminta tolong temanku yang
dikepolisian untuk mencarinya. Dan saat kita makan es krim, dia mengabarkan
koper mu sudah ditemukan. Baru semalam aku mengambilnya, saat kau sudah tidur.”
Jelas Seung Hwa panjang lebar.
“Geurae (begitu)? Tapi, mengapa kau tidak
memberitahuku? Kenapa kau menyembunyikan nya dari ku? Sore tadi, saat kita
bertemu Hee Jun, kau bahkan mengatakan passport dan barang-barang ku hilang.”
“Itu
karena, karena, karena aku tidak mau Hee Jun berpikir bahwa kau akan mudah
diajak pulang. Maksudku, belum tentu apa yang dia katakan benar. Iya kan? Aku
berniat... memberitahumu... malam ini.”
“Benarkah?
Malam ini juga aku mau memberitahumu, aku akan kembali ke Korea besok.”
~*~
Sejak
pembicaraan semalam dikamar Seung Hwa, kami tak saling berbicara lagi.
Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan bersiap-siap untuk kembali ke Korea.
Sungguh ini bukan karena Hee Jun, tapi karena ibuku. Meskipun yang dikatakan
Hee Jun mungkin hanya kebohongan, tapi aku tetap hanya ingin bertemu dengan
ibuku. Aku merasa sangat bersalah padanya. Keinginan untuk kembali ke Korea
semakin besar semenjak aku tahu Seung Hwa mendapat telepon dari Charice, mantan
kekasihnya.
“Ayo,
aku antar kau ke bandara.” Ujar Seung Hwa sambil meraih kunci mobil di atas
meja.
“Tidak
perlu. Aku akan naik taksi.” Jawabku datar.
“Tidak,
aku yang akan mengantarmu.” Seung Hwa keras kepala. Namun aku tidak mau kalah
darinya.
“Tidak.
Kau sudah ada janji bukan dengan.. dengan Charice?” mulutku terasa pahit
mengucapkan nama itu.
“Aku
bisa terlambat datang.” Jawab Seung Hwa enteng.
Aku
hanya mendengus pelan mendengar jawabannya, “Laki-laki macam apa yang melanggar
janjinya? Apakah semua laki-laki memang seperti itu? Kalau kau memiliki janji sudah seharusnya kau
menepatinya. Jangan sampai terlambat datang.” Kali ini nada bicaraku lebih
ketus dari apa yang aku inginkan.
Seung
Hwa terdiam. Untuk beberapa saat dia hanya menatapku kemudian melempar kunci mobilnya
ke meja dan duduk dengan keras ke sofa. Setelah berpamitan dengan nyonya Park
(dia menangis dan meminta alamat email ku) aku bergegas keluar apartemen itu.
Ketika pandanganku mulai buram, aku baru sadar kalau mataku terhalang oleh air
mata.
~*~
Laki-laki
itu disana. Hanya tersenyum penuh kemenangan menatapku. Begitu aku sampai
dihadapannya ia pun mengulurkan tangannya untuk memelukku. Langsung saja
kutepis tangan itu dengan tasku.
“Singkirkan
tanganmu dariku.” Aku berusaha terdengar sekasar mungkin.
Hee
jun hanya terkekeh, “Kau tahu, wanita itu tidak semenarik dirimu. Aku akan
memaafkan soal pengrusakan motor itu asalkan kau mau kembali padaku.”
“Sampai
mati pun aku tidak akan berpikir untuk kembali padamu. Aku senang kau kecewa
atas pilihan mu berselingkuh. Aku harap wanita itu menghabiskan banyak uangmu.”
Tidak tahan dekat dengan Hee Jun, aku pun segera mencari kursi kosong.
Semuanya
tidak lebih baik. Sekarang yang terpikir oleh ku hanya Seung Hwa. Apakah ia
sudah pergi menemui Charice? Apakah ia pergi ke restaurannya terlebih dahulu
untuk mengontrol? Ataukah ia sedang menemani nyonya Park berbelanja? Tidakkah
ia datang untuk mengucapkan selamat tinggal padaku? Aku tidak tahu mengapa
semua pemikiran itu membuat dadaku sesak. Beberapa kali aku menenggak air
minum, namun setelah itu dadaku kembali sesak.
Aku
ingin kembali. Ya, itu memang pemikiran bodoh. Tapi aku ingin kembali. Aku
ingin melihat Seung Hwa untuk mengucapkan terima kasih, aku ingin melihat Seung
Hwa untuk mengucapkan maaf karena berbicara kasar, dan aku ingin melihat Seung
Hwa untuk mengucapkan selamat tinggal. Haruskah aku kembali dan menunda
kepulangan ke Korea? Ya.
Aku
segera menarik koper ku dan bergegas menuju pintu keluar bandara, namun sebuah
tangan menahanku.
“Jangan
kembali. Kita harus pergi. Sekarang.”
“Tidak.
Lepaskan aku.” Kataku sambil menarik tanganku.
“Kita
harus naik ke pesawat sekarang.” Hee Jun menarik ku menuju arah sebaliknya. Ia
pun mengambil koperku.
“Lepaskan.
Kau mau menyeretku seperti ini?” aku masih berusaha lepas dari genggaman
tangannya.
“Ya.
Aku tidak keberatan bahkan jika harus menyeretmu asal kau kembali ke Korea
bersamaku.” Hee Jun terus menarikku.
“Kau
gila? Ya (hei)! Lepaskan aku!” Aku
mulai menaikkan nada suaraku. Beberapa orang melirik kearah kami. Namun si gila
Hee Jun tampak tidak peduli. Langkahnya baru terhenti karena sebuah suara
dibelakang kami.
“Lepaskan
dia.” Aku kenal benar dengan suara itu. Serentak aku dan Hee Jun membalikkan
badan.
Seung
Hwa berdiri disana. Kaku. Matanya menatap tajam tepat ke mata Hee Jun, “Ku
bilang lepaskan dia.” Hee Jun tidak bergeming. Aku menarik tanganku dengan
keras. Genggaman Hee Jun pun terlepas.
“Kenapa
kau datang? Bukankah kau ada janji dengan Charice?” aku berusaha bersuara.
“Aku...”
tatapannya melunak. Wajahnya terlihat bingung. Aku bisa melihat berbagai emosi
diwajahnya.
“Ada
yang ingin kau katakan?” aku bertanya lagi. Seung Hwa menarik napas berat.
Namun tetap dia tidak menjawab. Sungguh. Demi apapun, satu-satunya kalimat yang
ingin aku dengar adalah ‘jangan pergi’. Aku ingin Seung Hwa menahanku. Satu
kalimat seperti itu keluar darinya maka aku akan menunda kepulanganku ke Korea.
Seung
Hwa tetap diam. Wajahnya resah. Namun tetap tak ada kalimat yang keluar
darinya. Dadaku kembali sesak sementara tenggorokanku bergetar. Selapis air
mata mulai mengisi pelupuk mataku.
“Kita
harus bergegas.” Hee Jun memperingati. Seung Hwa masih diam saja.
“Jika
tidak ada yang ingin kau katakan, aku pergi.” Ujarku dengan suara bergetar.
Seung Hwa menatap mataku. Namun, tak ada satu kalimat pun yang keluar darinya.
Aku membalikkan badan mengikuti Hee Jun, ia berusaha merangkulku namun kupukul
tangannya dengan sebelah tangan.
Air
mata yang semula mengendap dipelupuk mata, kini telah menemukan jalannya
mengaliri pipiku. Satu kalimat saja yang aku tunggu. Seandainya kau
mengatakannya, aku akan berlari tepat kearahmu saat itu juga. Namun, kurasa
cinta belum menemukan jalannya. Atau memang cinta ku -yang baru kusadari- padamu memang harus berakhir
di jalan buntu? Benarkah kau tidak merasakan hal yang sama?
~*~
Sejujurnya,
ada begitu banyak hal yang ingin aku katakan padamu. Tapi, diantara semua
kalimat itu, ada satu kalimat yang benar-benar ingin aku ucapkan. Hanya saja,
perasaan ku masih kalah dari logika ku sendiri. Aku berpikir, tidak mungkin
semua itu terjadi hanya dalam satu hari. Tidak mungkin bagiku mencintai seorang
perempuan hanya dalam satu hari. Ya Hye Ri-ya, benar aku mencintamu. Namun aku
sadar, bahkan ada cinta pada pandangan pertama. Lalu, cinta dalam satu hari
bukanlah hal yang mustahil, tidakkah begitu? Semuanya menjadi abstrak dihadapan
cinta.
Aku
tidak tahu sejak kapan perasaan indah itu muncul. Saat pertama kita bertemukah?
Saat kau menangis bahagia dihadapan Seine, atau saat aku menyampirkan jasku pada
bahumu didepan Eiffel? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku senang caramu memakan
makanan buatanku, aku senang caramu merapikan rambutmu, aku senang melihat
setiap ekspresimu. Namun, aku tak lagi bisa melihatnya.
Aku
sungguh menyesali kebodohanku. Kini 6 bulan telah berlalu, dan tidak ada satu
haripun aku lewati tanpa menyesali kebodohanku itu. Aku berjanji akan menebus
kesalahn ku. Karenanya, disinilah aku sekarang. Terdampar didepan Namsan Tower
tanpa ransel yang berisi dompet dan passportku. Dan tanpa makanan. Beginikah rasanya
terdampar kelaparan Hye Ri-ya? Beginikah yang kau rasakan dulu? Merasa asing,
bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan lapar.
Tapi
kurasa aku sedikit lebih beruntung. Disana, dikursi tak jauh dari tempatku
berdiri sekarang ada sekotak makanan, dan tak ada siapapun disini. Namsan Tower
sangat sepi siang ini. Aku harus bergegas kesana. Ku rasa itu adalah makanan
yang dikirimkan Tuhan dari langit.
Kubuka
perlahan kotak makanan itu. Aku tidak tahu apa nama makanan itu, aku tidak
pernah memasak makanan Korea ataupun mempelajari resepnya, yang jelas makanan
ini berwana sangat merah dan sepertinya pedas. Aku cicipi sedikit dan benar
saja, sangat pedas. Aku berusaha makan secepat mungkin untuk menenangkan
cacing-cacing perutku yang berdemonstrasi.
“Cheogyeo (permisi)! Itu ddeokpokki ku.”
Suara seorang wanita membuatku membeku. Kuberanikan untuk mengangkat kepala ku.
“Sepertinya ada yang tersesat di negara kelahirannya sendiri. Dan juga
kelaparan. Syukurlah, setidaknya kau tidak sehisteris dulu didepan Eiffel.”
Ujarnya kaku, namun kemudian tersenyum dengan manisnya. Senyum yang sungguh
kurindukan.
Aku
berusaha menelan ddeok-apa ke tenggorokanku, dengan ekspresi memelas dan malu
serta sisa ddeok-itu di bibirku, aku berkata, “Saranghae.”
~*~
Tidak ada komentar :
Posting Komentar