Purple Bow Tie

Jumat, 22 Maret 2013

Last Love Chapter 2

Enjoy The Story :)



Aku benar – benar tidak percaya dengan penglihatanku. Tidak mungkin! Maksudku, bagaimana mungkin aku bertemu dengan laki – laki yang kutemui di bus beberapa hari lalu ini lagi? Ini pasti hari sialku!
“Aku tidak menyangka akan bertemu dengan mu lagi ditempat ini.” Ujarnya membuka percakapan.
“Begitu juga dengan ku,” Balas ku dengan nada kesal. Aku masih mengutuki kebetulan yang mempertemukan kami.
“Apa benar kata – kata yang kau tulis ini untukku? Keberadaanku sepertnya berarti sekali untuk mu. Dari luar kau terlihat jengkel dengan ku, tapi siapa yang menyangka di dalam hati mu kau mengidolakanku.” Laki – laki itu pun tersenyum setengah mengejek.
“Terserah kau mau berpikir apa. Cepat kembalikan kertas padaku!” perintahku. Aku pun mengulurkan tangan untuk meraih kertas yang di pegang laki – laki itu. Tapi tiba – tiba laki – laki itu mengibaskan tangannya menjauhi jangkauanku.
“Tunggu dulu. Aku hanya ingin tahu, benarkah kau salah satu fansku?” Ia pun terkekeh menyebalkan.
Ya (hei)! Cepat kembalikan! Anak itu salah orang. Seharusnya ia memberikan pada laki – laki itu bukan pada mu,” Sergah ku marah sambil menunjuk ke arah Yong Hwa Oppa. Namun pada saat itu juga, aku melihat Yong Hwa Oppa memegang tangan teman wanita yang ditemui nya. Tiba – tiba dadaku terasa sesak, dan tanganku refleks mengangkat untuk merasakan apa yang terjadi pada dadaku. Beberapa detik aku hanya bisa tertegun memandangi Yong Hwa Oppa. Mengapa rasanya sesakit ini?
“Jadi kau menyukainya? Tapi sekarang ia telah bersama orang lain. Kau terlambat, seharusnya kau lebih cepat mengungkapkan perasaan mu padanya.” Aku bingung sekali. Apakah semua hal yang aku rasakan tertulis dengan jelas di dahiku?
“Jangan ikut campur!” Jawabku ketus sambil menurunkan tanganku.
“Dia cinta pertama ku... tapi ia hanya menganggapku sebagai adik. Tidak lebih.” Sambungku.
“Hmm, begitu.” Aku pun mengangguk. Tepat pada saat itu kulihat Yong Hwa Oppa dan teman wanitanya berjalan ke arahku.
Andwaae (jangan)! Yong Hwa Oppa tidak boleh melihatku berwajah murung. Eotteokhae (apa yang harus ku lakukan)?” Ujarku sedikit panik. Laki – laki itu pun tiba – tiba berdiri menghadapku yang otomatis membelakangi Yong Hwa Oppa yang semakin dekat. Anehnya, dia hanya diam. Kira – kira saat Yong Hwa Oppa berjarak 2 langkah dari kami, tanpa terduga laki – laki itu berkata,
“Kau mau melihat bunga apa dulu dalam kencan pertama kita?” Aku ternganga mendengar perkataan laki – laki itu. Apa yang barusan dia ucapkan?
“Jadi kau kesini karena ingin berkencan juga? Kenapa tidak bilang padaku? Seandainya aku tahu dari awal, maka aku tidak perlu mengkhawatirkan mu karena kutinggal untuk berkencan. Atau kau mau kita kencan ganda?” Kata – kata Yong Hwa Oppa benar – benar bagaikan petir di siang hari. Kata – kata yang justru sedang ku hindari itu malah ku dengar langsung dari orangnya. Namun anehnya nada suara Yong Hwa Oppa terdengar terburu - buru.
“Ja... jadi, Oppa berniat untuk berkencan makanya datang kesini?” Tenggorokanku tercekat melihat Yong Hwa Oppa mengangguk.
“Benar,” Ujarnya datar.
“Kenapa Oppa tidak mengatakannya dari awal?”
“Aku hanya membutuhkan teman untuk mengisi waktu saat teman kencanku datang.” Aku yakin ekspresi wajahku semakin terlihat aneh. Sekarang aku pun mengerti apa yang dikatakan laki – laki itu, dan aku akan mendukung ucapannya.
“Karena sekarang Oppa sudah bertemu dengan teman kencan Oppa, kalau begitu aku akan pamit. Aku ingin pergi karena kami juga punya acara kencan sendiri. Ayo kita cari tempat yang romantis, Oppa.” Ujarku berbohong sambil berusaha menggandeng tangan laki – laki itu dengan natural.
Akhirnya aku dan laki – laki yang belum kuketahui namanya itu beranjak pergi meninggalkan Yong Hwa Oppa.
Saat aku berjalan meninggalkannya, aku tahu bahwa aku juga harus meninggalkan perasaan ku terhadapnya. Bisakah aku melakukan hal itu? Aku tidak tahu.
♥♥♥
Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dunia serasa menguap, penglihatanku kabur, tubuhku lemas dan aku tidak merasakan apa – apa. Suara – suara disekitarku terdengar samar. Yang bisa aku pikirkan hanya itu. Hanya nama itu. Kak Yong Hwa. Kak Yong Hwa tolong aku. Apa yang terjadi denganku? Hatiku tidak bisa merasakan apa – apa. Kebas rasanya. Pada saat itu, aku merasakan genggaman kuat pada tangan ku yang menghentikan langkah ku. Aku mengedarkan pandangan menatap si pemilik tangan. Aku sangat berharap melihat senyum hangatnya. Tapi...
“Sudah cukup! Hentikan!” ujar laki – laki yang masih belum kuketahui namanya itu.
“Apa? Apa yang kau bicarakan? Lepaskan tanganku!” Ujarku sambil menarik tanganku.
“Jangan seperti ini lagi! Jika kau ingin menangis, maka menangislah! Tidak perlu ditahan lagi! Jangan menahan sesaknya sendiri, lebih baik kau keluarkan saja!” Kata – katanya sulit aku cerna. Apa sih maksudnya sebenarnya? Siapa yang ingin menangis?
“Apa maksudmu? Sebenarnya siapa yang mau menangis?” Tiba – tiba laki – laki itu menarikku dan mendudukkan ku diatas sebuah batu besar.
“Menangislah!” Apa – apaan laki – laki ini menyuruh ku menangis?
“Aku tidak mau!” Balas ku keras kepala.
“Matamu itu sudah berkaca – kaca sejak tadi. Jadi jangan bohong lagi, cepat menangis saja!” Huh! Apa – apaan ini? Mana ada laki – laki yang memaksa wanita untuk menangis? Bukan kah normalnya malah sebaliknya? Tapi tunggu dulu. Apa katanya tadi? Mataku berkaca- kaca? Jadi apakah air mata yang membuat penglihatanku kabur?
Aku mengelap mataku. Benar, basah.
“Ternyat ini memang sifat aslimu. Benar – benar keras kepala.” Laki – laki itu pun duduk di sebelahku. “Sebaiknya kau...” Belum sempat laki – laki itu melanjutkan kalimatnya, aku sudah menangis dengan keras. Air mata ini sudah tidak bisa di tahan lagi. Sudahlah, sudah terlanjur. Keluarkan saja semuanya. Aku pun menangis sejadi – jadinya.
Ditengah – tenagh isak tangisku, sesekali aku melirik ke arah laki – laki itu yang terlihat panik dan kebingungan setelah melihat beberapa orang yang lewat menatap aneh ke arah kami. Sesekali aku juga mendengarnya berkata “Ya (hei)! Jangan keras – keras menangisnya!” dan, “Sudah, hentikan tangismu!”
“Bukankah tadi kau yang menyuruhku menangis? Tapi kenapa sekarang kau memintaku menghentikannya?” kataku sambil sedikit terisak.
“Hmm.. iya. Tapi...”
“Kalimat terakhirmu juga menyuruhku untuk menangis kan? Sebelum kau mengatakannya secara lengkap, aku sudah mengetahuinya.”
“Hm, sebenarnya yang itu aku ingin bilang ‘sebaiknya kau lupakan saja laki – laki itu’ bukan menyuruhmu untuk menangis.”
“Oh, begitu.” Aku sedikit malu, tapi mau di apakan lagi? Aku pelan – pelan menghentikan tangisku. Jadi sedikit lebih lega setelah menangis keras. Beberapa kali aku menarik napas dan mengeluarkannya untuk lebih menenangkan diri.
“Sudah lebih baik?” Tanyanya sedikit ragu. Aku terdiam. Itu pertama kalinya laki – laki itu bertanya baik – baik dengan nada halus. Aku tahu ia menunggu jawabanku. Akhirnya aku tersenyum sebagai ganti ‘Iya, aku sudah lebih baik’.
“Terima ka...” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba – tiba laki – laki itu bangkit dari duduknya sambil mendesah cukup keras.
“Hufth! Baiklah kalau begitu. Karena kau sudah lebih baik, jadi tanggung jawab ku sebagai laki – laki yang baik untuk menjagamu sudah selesai. Kau bisa pulang sendiri kan? Kalu begitu aku pergi dulu.” Katanya panjang lebar lalu membalikkan badan beranjak pergi.
Laki – laki itu benar – benar menyebalkan! Bodohnya aku yang sempat berpikir dia akan bersikap lebih lembut dan perhatian padaku. Ternyata itu hanya tipuan saja untuk meninggalkanku sendirian. Tunggu dulu! Dia sudah cukup jauh. Aku harus mengejarnya.
Ya (hei)! Ya! Tunggu dulu! Berhenti!” Teriakku sambil berlari menghampirinya yang masih terus saja melanjutkan langkahnya. Setelah sudah cukup dekat, aku menarik lengan laki – laki itu untuk menghentikan langkahnya.
“Aduh! Kau lagi! Apa sih yang sebenarnya kau inginkan dariku, huh?!” Ups, sepertinya dia tidak senang. Lalu siapa peduli?
“Aku tidak bisa pulang sendirian. Bagaimana kalau Kak Yong Hwa melihatku pulang sendiri tanpamu? Dia pasti akan curiga.”
“Bilang saja aku sibuk. Jadi tidak bisa mengantarmu pulang.”
“Mana ia akan percaya? Lagipula ini kan idemu, bagaimana bisa kau menghancurkan ide mu sendiri?”
Laki – laki itu terlihat berpikir sejenak. Mungkin apa yang aku katakan dapat diterima akalnya.
Aigoo (aduh)! Ck, baiklah.” Sepertinya itu keputusan yang sulit diambil baginya. Tapi aku tidak peduli. Yang penting aku tidak pulang sendirian, tidak membuat Kak Yong Hwa curiga, dan dapat menghemat ongkos bus. Aku pun segera membetulkan sepatu ku dan segera berlari untuk menyusulnya yang sudah berjalan lagi.
Ya (hei)! Tunggu aku!” Ujarku sambil berlari.
“Jangan panggil aku dengan ’Ya’ !” Ujarnya sambil berhenti dan membalikkan badan ke arahku. O-oh! Dia berhenti terlalu mendadak. Aku tidak bisa mengerem langkahku tepat waktu. Alhasil, aku menabrak dadanya. Untung saja ia lebih tinggi dari ku, jika saja tinggi kami sama mungkin aku akan menabrak...
Lamunanku buyar saat kurasakan 2 jari mendorong dahiku. Dengan 2 jarinya yang masih menempel didahiku, dia berkata,
“Aku Min Ho. Lee Min Ho. Jangan panggil aku dengan ‘Ya’ lagi. Mengerti?”
Aku hanya bisa mengangguk cepat.
“Bagus.” Ujarnya singkat lalu beranjak untuk melanjutkan berjalan. Aku pun membereskan poni ku yang rusak karena laki – laki yang ternyata bernama Min Ho itu. Dengan perasaan sedikit kesal, aku pun menyusulnya.
“Min Ho-ya, tunggu aku.” Ujarku hati – hati, berusaha menghindari lemparan sepatu yang mungkin saja melayang ke arahku jika aku tidak sengaja memanggilnya dengan ‘Ya’ lagi.
♥♥♥
Aku meminta Min Ho – ssi (saudara) mengantarku ke rumah Chen Ji. Chen Ji berkata bahwa Eun Sa dan Han Mi masih ada dirumahnya. Aku pun memutuskan untuk menginap di rumah Chen Ji malam ini. Aku tidak mau kembali ke rumah dengan wajah yang sedih dan murung. Appa (ayah) dan eomma (ibu) pasti akan melempar serentetan pertanyaan jika melihatku sedih. Ya, kupikir menginap lebih baik. Dengan begitu aku juga bisa curhat dengan sahabat – sahabat ku sekaligus bebas untuk menangis sejadi – jadinya.
Sepanjang perjalanan, tak banyak yang kubicarakan dengan Min Ho. Yang aku tahu, dia adalah mahasiswa tahun ke 2 di Konkuk University. Tak lama kemudian, mobil Min Ho merapat kepinggir jalan. Tepat didepan rumah Chen Ji. Sebelum turun aku sempat mengucapkan terima kasih.
Gamsahamnida (terima kasih). Terima kasih banyak atas bantuanmu hari ini. Aku pergi dulu.” Baru hendak membuka pintu mobil, tiba – tiba aku merasakan sesuatu menahan tanganku. Aku pun berpaling pada Min Ho. Aku tidak bertanya apa – apa, namun aku yakin raut wajahku cukup mewakili pikiranku.
“Berhenti...” Ujar Min Ho yang membuat ku bingung.
“Maaf?”
“Berhenti, menyukainya. Kau harus lupakan dia. Dia sudah bersama orang lain. Kau akan menyakiti dirimu sendiri jika terus – terusan mengharapkannya.”
“Aku tahu. Tapi, aku ragu. Apakah aku bisa melakukan hal itu.” Ucap ku datar.
“Pasti bisa. Aku akan membantumu. Aku janji.” Kata Min Ho tegas. Entah mengapa, semua yang diucapkan laki – laki ini menguatkan hatiku. Dia benar. Aku – harus – melupakan – perasaan – ini.
Ya (hei)! Kenapa tiba – tiba jadi seserius ini? Kenapa kau baik padaku?” Kataku. Berusaha mencairkan suasana.
“Ada beberapa alasan. Suatu saat aku akan memberitahumu.” Min Ho tetap serius. Aneh sekali laki – laki ini.
“Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Sekarang, bisa kau lepaskan tanganku?” Aku agak risih.
O (iya), maaf.” Katanya sedikit canggung.
“Oh ya, aku minta nomor ponselmu.” Katanya lagi.
“Untuk apa?”
“Untuk memenuhi janji ku tadi.” Aku pun langsung mengerti. Ku sebutkan beberapa digit nomor ponselku yang ia simpan didalam handphone nya.
“Sekali lagi, terima kasih.” Kataku sambil sedikit membungkukan badan. Aku baru ingin membuka pintu mobil, ketika lagi – lagi sebuah tangan menahanku.
“Apa lagi? Iya aku janji aku akan berusaha berhenti menyukai Kak Yong Hwa.” Kataku sedikit jengkel. Tapi Min Ho diam saja. Dia malah beralih ke jok belakang dan mengambil sesuatu. Sebuah syal. Jantungku berdegup tak keruan saat ia mendekat untuk memasangkan syal itu dileherku.
“Di luar dingin sekali. Leher mu bisa kaku menahan dingin.” Ujarnya lembut, masih mengurusi syal dileherku. Aku hanya bisa duduk terpaku menatapnya dengan perasaan sedikit tak percaya.
“Lain kali jangan lupa membawa syal saat bepergian di musim dingin.” Sambungnya lagi. Aku bisa mencium napas segarnya karena jarak wajah kami yang begitu dekat.
“Nah, selesai.” Kata Min Ho akhirnya. Aku segera memalingkan pandanganku dari matanya.
“Terima kasih.” Ujarku cepat dan buru – buru keluar dari mobil. Ku rasakan pipiku menghangat. Apakah aku malu? Aku tidak tahu. Tapi, perlakuan laki – laki itu cukup berhasil membuat pikiranku campur aduk tak keruan.
Aku pun melangkah kedepan rumah Chen Ji. Ku dengar derum mobil di belakangku. Dia sudah pergi. Barulah aku berani menatap mobil yang melaju kencang di jalanan sepi itu. Tiba – tiba...
“Waaahh! Siapa dia? Mobilnya keren sekali!” Terdengar pekikan heboh Eun Sa.
“Mau siapa lagi? Sudah pasti itu Kak Yong Hwa. Apa dia ganti mobil Hye Sun-a?” Pertanyaan Han Mi menyesakkanku. Aku tidak ingin mendengar namanya.
“Jangan bicarakan dia. Aku mohon.” Pintaku lemah. Chen Ji paling responsif, dia sepertinya menyadari telah terjadi sesuatu pada ku hari ini.
“Ada apa? Apa ada sesuatu yang salah?” Katanya menunjukkan kepedulian. Aku hanya bisa terdiam.
“Ayo kita masuk! Kau bisa ceritakan semuanya di dalam.” Lalu Chen Ji menarik tanganku masuk kedalam rumahnya.
Aku senang memiliki sahabat seperti mereka. Mereka selalu ada saat ku butuhkan.
♥♥♥
Aku menceritakan semua kejadian yang terjadi kepada ke 3 sahabat ku setelah sampai dikamar Chen Ji. Aku menceritakan dari saat Kak Yong Hwa mengajakku berkencan ke Taman Bunga, ia mengobrol dengan teman lamanya yang ternyata adalah teman kencannya, bertemu dengan laki – laki yang sebelumnya ku temui di bus, serta pertolongan laki – laki tersebut.
Benar saja dugaanku, Eun Sa dan Han Mi mempersalahkan aku yang tiak memberitahu mereka soal kencan itu. Lalu aku jelaskan alasanku, untung mereka mau mengerti. Akhirnya, kami pun menangis bersama – sama semalaman. Aku baru terlelap sekitar pukul 3 pagi dengan pipi lengket karena air mata.
Aku terbangun pukul 7 pagi oleh deringan handphone ku. Ku lirik teman – teman ku yang lain, mereka masih menjelajah alam mimpi. Ku ambil handphoneku dan ku lirik layar yang menyala. Nomor yang tidak ku kenal. Ku angkat.
Yoboseyo (halo)?” kataku dengan suara parau.
“Huh. Pasti kau baru bangun ya? Terdengar jelas dari suaramu.” Terdengar ejekan sinis dari seberang sana.
“Siapa ini?”
“Aku akan menepati janji ku. Temui aku pukul 11 di Namsan Tower.”
“Ap.. apa?”
“Jangan terlambat! Arasseo (mengerti)?” klik. Sambungan di putus. Apakah yang tadi itu Min Ho-ssi? Sepertinya iya. Eun Sa pun terbangun oleh suaraku.
“Kau bicara dengan siapa?”
“Dengan seseorang ditelepon.”
“Ada urusan apa?”
“Nanti saja ku ceritakan. Aku mau tidur lagi.” Kataku sambil membaringkan kepala di bantal. Aku siap berlayar di dunia mimpi lagi.
“Aku juga.” Kata Eun sa.
“Hmm.” Ku jawab sambil memejamkan mata. Berharap wajah seseorang hadir dalam mimpi ku.
♥♥♥

Senin, 18 Maret 2013

Last Love

Haiiiyyyaaahhh... Akhirnya Fanfiction ini terbit juga ^^ Ini adalah Fanfiction pertama yang aku share di blog. Dikarenakan fandom aku itu adalah MINOZ (sebutan untuk fans nya Lee Min Ho) makanya karakter laki - laki dalam FF ini adalah uri oppa Min Ho ^^ *prokprok. Selain Minppa, karakter laki - laki dalam FF ini juga ada Jung Yong Hwa dari CN Blue. Karakter selebihnya adalah aku dan teman - teman ku yang ngayal bisa jadi bagian dari kehidupan dua cowok keren ini :D Karena FF ini lumayan panjang, makanya aku bagi jadi beberapa chapter :)

Aku tahu FF ini masih jauh dari memuaskan, untuk itu aku harapkan pendapat, komentar, kritik, saran, uang, tas, sepatu, baju atau apa aja deh dari readers, hehe ^^.
Alright guys, here the story goes. Please enjoy! ^^

Cast :
  • Lee Min Ho as Lee Min Ho
  • Meidiana Maharani as Yoon Hye Sun
  • Jung Yong Hwa as Jung Yong Hwa
  • Ramawati Febrian as Chen Ji
  • Anisa Darmanita as Kim Eun Sa
  • Krisdiyanti as Jung Han Mi
  • Anizsarah Hanza as Lee Ji Eun

Chapter 1

Takdir. Setiap orang mempercayainya dan mereka memiliki takdirnya masing – masing. Namun tidak ada satu orang pun yang tahu bagaimana takdir itu bekerja, kapan, dan dengan cara apa takdir itu menyapanya.
Begitu juga dengan ku. Aku tidak tahu takdir apa yang akan menghampiriku. Hanya saja sekarang aku baru sadar, bahwa takdir indah ku tengah merangkak dalam gelap dan naik menuju galaksi terindah untuk menyuruh bintang di nebula mengerlipkan cahayanya yang menyilaukan sehingga membuat hatiku seterang bulan purnama.
♥♥♥
Libur musim dingin masih seminggu lagi. Namun aku harus tetap bekerja paruh waktu di toko souvenir milik Oppaku. Ups! Maksudku Yong Hwa Oppa (Oppa = panggilan perempuan ke kakak laki – laki atau ke pacar). Jujur saja aku memang menyukainya. Setiap hari terasa menyenangkan jika bersamanya.
Bus yang ku tunggu pun datang, aku segera naik dan memasukkan kartu perjalanan. Kebetulan sekali saat aku naik, ada seorang ahjumma (bibi) yang turun. Aku pun bergegas menuju kursi yang kosong itu. Saat akan duduk, aku bertabrakan dengan seorang namja (laki – laki).
Mian (maaf), tapi aku melihatnya lebih dulu.” Ujarku sopan.
“Tapi aku sudah berdiri lebih lama dari mu.” Aku pun mulai jengkel. Tanpa berkata apa – apa lagi, aku pun segera duduk di kursi kosong itu. ‘Sekarang laki – laki  itu tidak akan bisa berbuat apa – apa lagi,’ pikirku dalam hati. Namun dugaan ku salah, tiba – tiba saja laki – laki itu menarik tanganku dan membuatku berdiri tegak kembali.
Ya (hei)! Apa yang kau lakukan?” Omelku
“Apa yang ku lakukan? Seharusnya aku yang bertanya padamu apa yang kau lakukan. Kenapa kau duduk seenaknya saja padahal urusan kita belum selesai.”
Mwo (apa)? Apa kau tidak mau mengalah demi seorang yeoja (perempuan)?”
Aniyo (tidak)! Jika didalam suatu antrian setiap laki – laki harus mengalah pada wanita, kapan laki – laki itu bisa menyelesaikan urusannya? Lagipula kalaupun aku mau mengalah, aku akan mengalah pada ibu – ibu hamil, nenek tua ataupun anak kecil, dan satu lagi adalah orang yang ku sayangi. Kau tidak termasuk dalam salah satu kategorinya kan?”
Aku tersenyum kecut, “Mwo (apa)? Apa maksudmu? Aku benar – benar tidak bisa mempercayai apa yang ku dengar.”
“Singkatnya, aku tidak mau mengalah darimu.”
“Coba saja rebut kursi itu dari ku kalau kau bisa!”
Aku dan laki – laki itu pun segera membalikkan badan untuk memperebutkan kursi itu. Namun, oh astaga! Sudah ada seorang ahjussi (paman) yang menempatinya. Ternyata perdebatan kami memakan waktu yang cukup lama sampai melewati beberapa pemberhentian. Dan ahjussi itu naik di pemberhentian yang baru saja kami lewati dan ia segera menuju ke kursi yang dipikirnya kosong.
“Ini semua salahmu!” Kataku
“Apa? Jika tadi kau membiarkan aku duduk, jadinya tidak akan seperti ini.”
Ya (hei)! Kurasa bukan aku yang berbicara panjang lebar.”
“Terserah. Aku harap aku tidak akan pernah bertemu dengan mu lagi.”
“Aku harap juga begitu.”
Aku pun segera berjalan untuk menjauhi laki – laki menyebalkan itu. ‘Kurang ajar! Betapa menyebalkannya dia...’
♥♥♥
Yong Hwa Oppa mengajakku jalan – jalan ke taman bunga esok hari yang bertepatan dengan akhir pekan. Tentu saja ide itu kusambut dengan gembira. Sesampainya dirumah, aku pun segera menyiapkan pakaian yang akan ku pakai esok hari. Entah mengapa baju – baju ku terlihat sangat jelek dan kuno, apa itu karena aku yang ingin terlihat sempurna di depan Yong Hwa Oppa ya? Hmm, bisa jadi.
Aku pun memilih salah satu baju ku. Baju lengan panjang berwarna putih, ku padukan dengan jaket tebal warna biru muda selutut, celana jeans hitam, syal tebal dan topi berwarna krem. Hm, perfect!
Setelah selesai menyiapkan pakaian, aku pun berlanjut menyiapkan makanan yang ingin kubawa besok dan akan kumakan bersama Yong Hwa Oppa. Aku membuat beberapa makanan, pertama aku menyiapkan sayur – sayuran, daging, dan nasi yang merupakan bahan utama untuk membuat Kimbab dan Yubuchobap. Untuk Kimbab aku juga menyiapkan rumput laut (kim), sedangkan untuk Yubuchobap aku sudah menyiapkan tahu yang telah selesai ku goreng. Karena aku masih mempunyai persediaan Kimchi, jadi aku tidak perlu membuatnya lagi. Lagi pula, membuatnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memfermentasi sayurannya bukan? Entah berapa lama aku berkutat dengan masakan ku. Tiba – tiba ponsel ku berdering. Dari Chen Ji.
Yoboseyo (Halo)? Naya (Ini aku). Mwohae (Ada apa)?” Ujarku memulai pembicaraan.
Ya (hei)! Kau kemana saja? Kami sudah lama menunggumu.” Terdengar suara Eun Sa yang keras sekali sampai aku harus menjauhkan ponsel ku dari telinga untuk menghindari serangan radang telinga dadakan.
Mwo (apa)? Kenapa kalian menunggu ku?” Tanyaku tanpa rasa bersalah. Memangnya aku salah apa?
“Kami sedang di rumah Chen Ji. Kita kan sudah janji malam ini akan menginap dirumahnya. Apa kau lupa?” sepertinya ponsel Chen Ji telah direbut Han Mi.
Mwo (apa)? Jeongmalyo (benarkah)? Omo (Astaga)! Aku lupa! Mianhae (maafkan aku).” Kali ini aku benar – benar merasa bersalah.
Dwaessseo (sudahlah)! Sekarang cepat kau kesini ya. Kita pesta piyama. Menyenangkan sekali bukan?” Aku tahu kalau ponsel itu telah direbut kembali oleh sang empunya ponsel.
Mian (maaf), tapi aku tidak bisa. Hmm, sekarang aku sedang tidak dirumah. Aku sekarang sedang... hmm, sedang dirumah bibiku. Ne maja (iya benar)! Ya (hei)! Sudah dulu ya, aku sedang membantu bibiku memasak. Nanti aku telepon lagi ya, aku tutup teleponnya. Annyeong (sampai jumpa)!” Tuut... tuut... tuutt...
Aku memutuskan sambungan, lalu menarik napas panjang. ‘Mianhae’ (maafkan aku), ujarku pada diri sendiri. Aku sengaja berbohong dan memutuskan untuk tidak memberi tahu teman – teman ku kalau besok aku akan berkencan dengan Yong Hwa Oppa. Mereka memang sudah tahu kalau aku menyukai Yong Hwa Oppa, dan karena itu pula aku khawatir mereka histeris dan tiba – tiba mendapat ide sempurna untuk mengikuti aku dan Yong Hwa Oppa. Tentu saja aku tidak mau hal seperti itu terjadi. Memang sih aku dan Yong Hwa Oppa sering pergi bersama. Tapi menurutku hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai kencan, karena biasanya kami hanya pergi ke toko buku, dan toko barang – barang antik. Sebagus – bagusnya tempat yang kami kunjungi adalah bioskop dan setelah itu pergi makan bersama. Itupun biasanya kalau Yong Hwa Oppa sedang sangat gembira, misalnya jika ia mendapat nilai A pada mata kuliahnya. Dan hal itu juga tidak bisa dikategorikan sebagai kencan. Karena menurut pendapatku, kencan itu adalah pergi ke tempat yang romantis, memakan makan siang yang dibawa sang perempuan, berfoto bersama, dan melakukan hal – hal yang romantis lainnya.
Hufth, aku menarik napas panjang. Sudah larut malam, untung saja semua masakanku sudah matang. Geurae (baiklah), aku akan tidur dan bangun pagi – pagi sekali. Aku akan mengemas masakanku di kotak makan esok pagi dan berdandan yang cantik!
♥♥♥


Bunga – bunga disini sangat cantik dan berwarna – warni tentunya. Mawar merah, melati, anggrek, eddelweis, tulip dan lavender menjadi pemandangan yang sangat indah yang terhampar di hadapan kami. Apa lagi aku sedang bersama seseorang yang betul – betul kukagumi. Diam – diam aku melirik Yong Hwa Oppa yang berjalan disampingku. Tiba – tiba saja ia juga menoleh ke arah ku, dan membuat pandangan kami beradu. Karena malu, aku segera memalingkan wajah. Namun dari ekor mataku, aku tahu bahwa ia tersenyum.

Tiba – tiba saja aku merasakan sesuatu yang lembut menggamit tanganku dan menggenggamnya. Omo (astaga)! Mungkinkah... Aku segera berhenti dan menoleh, benar dia yang melakukannya. Yong Hwa Oppa me... memegang tanganku.
          “Izinkan aku, menggenggam tanganmu,” saat aku mendengar suaranya yang lembut mengalun, aku merasa seperti sedang mendengarkan Michael Jackson bernyanyi. Apa aku berlebihan? Ku rasa tidak.
“Ini namanya mencuri,” Ujarku berusaha fokus pada Yong Hwa Oppa  dan menghilangkan pikiran ‘dapatkah Yong Hwa Oppa menjadi King of Pop sebagai pengganti Michael Jackson?’
Mwo (apa)?” Dia bersuara lagi, ya Tuhan kenapa rasanya hatiku berlomba – lomba mencair karena mendengar suaranya?
Oppa meminta izin setelah memegang tanganku. Itu namanya mencuri.”
“Kau lah yang telah mencuri,” Ujarnya yang membuat ku kaget setengah mati.
“A.. Apa maksudmu?” Aku bingung sekali. Aku takut ada seseorang yang memfitnah ku dan mengatakan bahwa aku telah mencuri beberapa barang dari toko souvenir Yong Hwa Oppa dan menjualnya di luaran dengan harga yang lebih murah. Hal apa lagi yang terpikirkan oleh ku?
“Kau telah mencuri waktu ku,” Tenggorokan ku tercekat, aku tidak dapat berkata apa – apa lagi. “Kau membuat ku memikirkan mu sepanjang hari, sampai aku tidak bisa fokus belajar dan bekerja. Apa yang kau lakukan padaku? Bagaimana bisa kau mencuri waktu ku yang berharga?” Aku tersenyum karena mengerti ucapannya dan aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu.
Oppa...” Baru saja aku ingin berbicara, tiba – tiba dia memegang tanganku yang satunya, dan dengan lirih ia berkata “Tahu kah kau, aku mencintaimu Yoon Hye Sun?” Aku merasakan bahwa bumi berhenti berputar serta keadaan disekitarku melebur dan hanya menyisakan kami berdua saat Yong Hwa Oppa mendekatkan wajahnya ke arah ku dan menciumku.
♥♥♥
Krriiinnnngggg......
Suara nyaring itu, aku benci sekali. Aku kaget saat mendapati diriku masih di atas tempat tidur. Jadi... jadi... jadi... yang tadi itu hanya mimpi? Aigoo (aduh).. mengapa terasa begitu nyata? Apa mimpi itu pertanda bahwa Yong Hwa Oppa akan menyatakan perasaannya padaku ya? Aku harap sih begitu :)
Aku tersenyum riang sebelum menyadari bahwa jam menunjukkan pukul 8. Omo (astaga)! Aku harus siap – siap.
♥♥♥
Aduh, sial! Saking terburu – burunya aku sampai lupa memakai syal ku. Padahal udara hari ini dingin sekali. Ya sudahlah, aku harus cepat. Jangan sampai membuat Yong Hwa Oppa menunggu lama. Ah, itu dia Yong Hwa Oppa.
Oppa...!” Aku memanggilnya dan segera menghampirinya. “Oppa mianhae (maafkan aku). Maaf aku terlambat datang.” Ujar ku lagi
Gwaenchana (tidak apa – apa). Aku belum lama menunggu, jangan khawatir. Ayo kita masuk.” Kami pun masuk setelah sebelumnya Yong Hwa Oppa membayar tiket masuk.
Meskipun saat ini pohon – pohon sedang gundul, namun beberapa bunga disini tetap bermekaran dengan indahnya.
“Waaahhh... Neomu kyeopta (sangat cantik)!” Seruku
Gerom (tentu). Makanya banyak pasangan yang datang kesini untuk menikmati keindahan bunga – bunga disini bersama – sama.”
O (iya). Hm, Oppa, kenapa kau mengajakku kesini?” Tanyaku harap – harap cemas.
Ne (ya)? Oh, aku.. aku akan menemui seseorang. Dia teman lama ku.”
“Apakah dia seorang wanita?”
Gerom (tentu).” Mwo (apa)? Apakah dia akan berkencan dengan wanita itu?
“Ji Eun-a!” Tiba – tiba Yong Hwa Oppa  memanggil seseorang. “Gidarilgeyo (tunggu aku),” Ujarnya padaku, aku hanya membalasnya dengan seulas senyum.
Yong Hwa Oppa benar – benar tampan. Cara berbicaranya dengan orang lain saja benar – benar membuatku terpesona. Melihatnya, membuat kalimat indah terangkai dengan sendirinya dikepala ku. Kalimat ini tidak  boleh hilang, aku segera menuliskannya pada selembar kertas yang kusobek dari buku catatan yang selalu ku bawa – bawa kemanapun.
‘...dengan apa harus aku lukiskan indahnya pertemuan kita? Sementara Eddelweis dan Tulip yang mekar itu pun diam membisu menatapmu. Sanggupkah aurora di langit malam kutub menyaingi keindahan mu? Bila yang ada ia bersembunyi dibalik sinar mentari, aku tidak bisa mengatakan apapun. Biar bias jingga dan semburat oranye kemerahan yang menghias diorama nyata alam terbuka yang mewakili indahnya kehadiranmu...”
Selesai. Aku melipat kertas itu menjadi dua.
“Adik kecil, Jamkanmanieyo (tunggu sebentar)!” Aku memanggil seorang anak yang melintas didepanku. “Tolong berikan kertas ini pada laki – laki itu. Arachi (mengerti)?” Aku menunjuk kearah Yong Hwa Oppa, dan anak itu pun mengangguk.
“Ini untukmu. Gomawo (terima kasih),” Kataku sambil menyerahkan kertas dan coklat (yang sudah kubeli 2 hari lalu namun lupa ku makan) untuk anak itu.
Aku memperhatikan anak itu berjalan. Lucu sekali dia, mungkin usianya sekitar 4 tahun. Anak itu mengingatkan ku pada Eun Jong, adiknya Eun Sa yang usianya sama dengan anak itu. Tapi tunggu dulu, dia tidak berjalan ke arah Yong Hwa Oppa. Melainkan berjalan ke arah laki – laki yang berdiri di belakang Yong Hwa Oppa yang juga tidak jauh dari tempat ku berdiri. Sepertinya anak itu salah orang. ‘Tunggu dulu! Andwae (jangan)! Andwae! Jangan berikan kertasnya!’ Teriakku dalam hati. Namun terlambat, anak itu telah menyerahkannya.
Mwo (apa)? Dari siapa?” Terdengar samar – samar suara laki – laki itu. Aku pun segera membalikkan badan, memetik setangkai bunga dan berpura- pura mencium wanginya. Jangan sampai laki – laki itu mendatangiku. Ya Tuhan, dowa juseyo (tolong aku).
“Apakah ini darimu?” Terdengar suara laki – laki yang membuatku mematung. Sedetik kemudian, aku pun membalikkan badan dan segera membungkuk untuk meminta maaf.
Jweisonghamnida. Jweisonghamnida (maafkan aku). Anak itu salah orang. Aku tidak bermaksud memberikannya padamu.” Ujarku sambil membungkuk berulang kali. Saat aku menegakkan badan...
Omo (astaga)! Neo (kau)?! ...”
♥♥♥