Enjoy The Story :)
Aku benar – benar
tidak percaya dengan penglihatanku. Tidak mungkin! Maksudku, bagaimana mungkin
aku bertemu dengan laki – laki yang kutemui di bus beberapa hari lalu ini lagi?
Ini pasti hari sialku!
“Aku tidak
menyangka akan bertemu dengan mu lagi ditempat ini.” Ujarnya membuka
percakapan.
“Begitu juga dengan
ku,” Balas ku dengan nada kesal. Aku masih mengutuki kebetulan yang
mempertemukan kami.
“Apa benar kata –
kata yang kau tulis ini untukku? Keberadaanku sepertnya berarti sekali untuk
mu. Dari luar kau terlihat jengkel dengan ku, tapi siapa yang menyangka di
dalam hati mu kau mengidolakanku.” Laki – laki itu pun tersenyum setengah
mengejek.
“Terserah kau mau
berpikir apa. Cepat kembalikan kertas padaku!” perintahku. Aku pun mengulurkan
tangan untuk meraih kertas yang di pegang laki – laki itu. Tapi tiba – tiba
laki – laki itu mengibaskan tangannya menjauhi jangkauanku.
“Tunggu dulu. Aku
hanya ingin tahu, benarkah kau salah satu fansku?” Ia pun terkekeh menyebalkan.
“Ya (hei)! Cepat kembalikan! Anak itu
salah orang. Seharusnya ia memberikan pada laki – laki itu bukan pada mu,” Sergah
ku marah sambil menunjuk ke arah Yong Hwa Oppa.
Namun pada saat itu juga, aku melihat Yong Hwa Oppa memegang tangan teman wanita yang ditemui nya. Tiba – tiba
dadaku terasa sesak, dan tanganku refleks mengangkat untuk merasakan apa yang
terjadi pada dadaku. Beberapa detik aku hanya bisa tertegun memandangi Yong Hwa
Oppa. Mengapa rasanya sesakit ini?
“Jadi kau
menyukainya? Tapi sekarang ia telah bersama orang lain. Kau terlambat,
seharusnya kau lebih cepat mengungkapkan perasaan mu padanya.” Aku bingung
sekali. Apakah semua hal yang aku rasakan tertulis dengan jelas di dahiku?
“Jangan ikut
campur!” Jawabku ketus sambil menurunkan tanganku.
“Dia cinta pertama
ku... tapi ia hanya menganggapku sebagai adik. Tidak lebih.” Sambungku.
“Hmm, begitu.” Aku
pun mengangguk. Tepat pada saat itu kulihat Yong Hwa Oppa dan teman wanitanya berjalan ke arahku.
“Andwaae (jangan)! Yong Hwa Oppa tidak
boleh melihatku berwajah murung. Eotteokhae
(apa yang harus ku lakukan)?” Ujarku sedikit panik. Laki – laki itu pun
tiba – tiba berdiri menghadapku yang otomatis membelakangi Yong Hwa Oppa yang semakin dekat. Anehnya, dia
hanya diam. Kira – kira saat Yong Hwa Oppa
berjarak 2 langkah dari kami, tanpa terduga laki – laki itu berkata,
“Kau mau melihat
bunga apa dulu dalam kencan pertama kita?” Aku ternganga mendengar perkataan laki
– laki itu. Apa yang barusan dia ucapkan?
“Jadi kau kesini
karena ingin berkencan juga? Kenapa tidak bilang padaku? Seandainya aku tahu
dari awal, maka aku tidak perlu mengkhawatirkan mu karena kutinggal untuk
berkencan. Atau kau mau kita kencan ganda?” Kata – kata Yong Hwa Oppa benar – benar bagaikan petir di
siang hari. Kata – kata yang justru sedang ku hindari itu malah ku dengar
langsung dari orangnya. Namun anehnya nada suara Yong Hwa Oppa terdengar terburu - buru.
“Ja... jadi, Oppa berniat untuk berkencan makanya
datang kesini?” Tenggorokanku tercekat melihat Yong Hwa Oppa mengangguk.
“Benar,” Ujarnya datar.
“Kenapa Oppa tidak mengatakannya dari awal?”
“Aku hanya
membutuhkan teman untuk mengisi waktu saat teman kencanku datang.” Aku yakin
ekspresi wajahku semakin terlihat aneh. Sekarang aku pun mengerti apa yang
dikatakan laki – laki itu, dan aku akan mendukung ucapannya.
“Karena sekarang Oppa sudah bertemu dengan teman kencan Oppa, kalau begitu aku akan pamit. Aku
ingin pergi karena kami juga punya acara kencan sendiri. Ayo kita cari tempat
yang romantis, Oppa.” Ujarku
berbohong sambil berusaha menggandeng tangan laki – laki itu dengan natural.
Akhirnya aku dan laki
– laki yang belum kuketahui namanya itu beranjak pergi meninggalkan Yong Hwa Oppa.
Saat aku berjalan
meninggalkannya, aku tahu bahwa aku juga harus meninggalkan perasaan ku
terhadapnya. Bisakah aku melakukan hal itu? Aku tidak tahu.
♥♥♥
Ada apa ini? Apa
yang sebenarnya terjadi? Dunia serasa menguap, penglihatanku kabur, tubuhku lemas
dan aku tidak merasakan apa – apa. Suara – suara disekitarku terdengar samar.
Yang bisa aku pikirkan hanya itu. Hanya nama itu. Kak Yong Hwa. Kak Yong Hwa
tolong aku. Apa yang terjadi denganku? Hatiku tidak bisa merasakan apa – apa.
Kebas rasanya. Pada saat itu, aku merasakan genggaman kuat pada tangan ku yang
menghentikan langkah ku. Aku mengedarkan pandangan menatap si pemilik tangan.
Aku sangat berharap melihat senyum hangatnya. Tapi...
“Sudah cukup!
Hentikan!” ujar laki – laki yang masih belum kuketahui namanya itu.
“Apa? Apa yang kau
bicarakan? Lepaskan tanganku!” Ujarku sambil menarik tanganku.
“Jangan seperti ini
lagi! Jika kau ingin menangis, maka menangislah! Tidak perlu ditahan lagi!
Jangan menahan sesaknya sendiri, lebih baik kau keluarkan saja!” Kata – katanya
sulit aku cerna. Apa sih maksudnya sebenarnya? Siapa yang ingin menangis?
“Apa maksudmu?
Sebenarnya siapa yang mau menangis?” Tiba – tiba laki – laki itu menarikku dan
mendudukkan ku diatas sebuah batu besar.
“Menangislah!” Apa
– apaan laki – laki ini menyuruh ku menangis?
“Aku tidak mau!”
Balas ku keras kepala.
“Matamu itu sudah
berkaca – kaca sejak tadi. Jadi jangan bohong lagi, cepat menangis saja!” Huh!
Apa – apaan ini? Mana ada laki – laki yang memaksa wanita untuk menangis? Bukan
kah normalnya malah sebaliknya? Tapi tunggu dulu. Apa katanya tadi? Mataku
berkaca- kaca? Jadi apakah air mata yang membuat penglihatanku kabur?
Aku mengelap
mataku. Benar, basah.
“Ternyat ini memang
sifat aslimu. Benar – benar keras kepala.” Laki – laki itu pun duduk di
sebelahku. “Sebaiknya kau...” Belum sempat laki – laki itu melanjutkan
kalimatnya, aku sudah menangis dengan keras. Air mata ini sudah tidak bisa di
tahan lagi. Sudahlah, sudah terlanjur. Keluarkan saja semuanya. Aku pun
menangis sejadi – jadinya.
Ditengah – tenagh
isak tangisku, sesekali aku melirik ke arah laki – laki itu yang terlihat panik
dan kebingungan setelah melihat beberapa orang yang lewat menatap aneh ke arah
kami. Sesekali aku juga mendengarnya berkata “Ya (hei)! Jangan keras – keras menangisnya!” dan, “Sudah, hentikan
tangismu!”
“Bukankah tadi kau
yang menyuruhku menangis? Tapi kenapa sekarang kau memintaku menghentikannya?”
kataku sambil sedikit terisak.
“Hmm.. iya. Tapi...”
“Kalimat terakhirmu
juga menyuruhku untuk menangis kan? Sebelum kau mengatakannya secara lengkap,
aku sudah mengetahuinya.”
“Hm, sebenarnya
yang itu aku ingin bilang ‘sebaiknya kau lupakan saja laki – laki itu’ bukan
menyuruhmu untuk menangis.”
“Oh, begitu.” Aku
sedikit malu, tapi mau di apakan lagi? Aku pelan – pelan menghentikan tangisku.
Jadi sedikit lebih lega setelah menangis keras. Beberapa kali aku menarik napas
dan mengeluarkannya untuk lebih menenangkan diri.
“Sudah lebih baik?”
Tanyanya sedikit ragu. Aku terdiam. Itu pertama kalinya laki – laki itu
bertanya baik – baik dengan nada halus. Aku tahu ia menunggu jawabanku.
Akhirnya aku tersenyum sebagai ganti ‘Iya, aku sudah lebih baik’.
“Terima ka...”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba – tiba laki – laki itu bangkit
dari duduknya sambil mendesah cukup keras.
“Hufth! Baiklah
kalau begitu. Karena kau sudah lebih baik, jadi tanggung jawab ku sebagai laki
– laki yang baik untuk menjagamu sudah selesai. Kau bisa pulang sendiri kan? Kalu
begitu aku pergi dulu.” Katanya panjang lebar lalu membalikkan badan beranjak
pergi.
Laki – laki itu
benar – benar menyebalkan! Bodohnya aku yang sempat berpikir dia akan bersikap
lebih lembut dan perhatian padaku. Ternyata itu hanya tipuan saja untuk meninggalkanku
sendirian. Tunggu dulu! Dia sudah cukup jauh. Aku harus mengejarnya.
“Ya (hei)! Ya! Tunggu dulu! Berhenti!” Teriakku sambil berlari
menghampirinya yang masih terus saja melanjutkan langkahnya. Setelah sudah
cukup dekat, aku menarik lengan laki – laki itu untuk menghentikan langkahnya.
“Aduh! Kau lagi!
Apa sih yang sebenarnya kau inginkan dariku, huh?!” Ups, sepertinya dia tidak
senang. Lalu siapa peduli?
“Aku tidak bisa
pulang sendirian. Bagaimana kalau Kak Yong Hwa melihatku pulang sendiri tanpamu?
Dia pasti akan curiga.”
“Bilang saja aku
sibuk. Jadi tidak bisa mengantarmu pulang.”
“Mana ia akan
percaya? Lagipula ini kan idemu, bagaimana bisa kau menghancurkan ide mu
sendiri?”
Laki – laki itu
terlihat berpikir sejenak. Mungkin apa yang aku katakan dapat diterima akalnya.
“Aigoo (aduh)! Ck, baiklah.” Sepertinya itu keputusan yang sulit diambil
baginya. Tapi aku tidak peduli. Yang penting aku tidak pulang sendirian, tidak
membuat Kak Yong Hwa curiga, dan dapat menghemat ongkos bus. Aku pun segera
membetulkan sepatu ku dan segera berlari untuk menyusulnya yang sudah berjalan
lagi.
“Ya (hei)! Tunggu aku!” Ujarku sambil berlari.
“Jangan panggil aku
dengan ’Ya’ !” Ujarnya sambil
berhenti dan membalikkan badan ke arahku. O-oh! Dia berhenti terlalu mendadak.
Aku tidak bisa mengerem langkahku tepat waktu. Alhasil, aku menabrak dadanya.
Untung saja ia lebih tinggi dari ku, jika saja tinggi kami sama mungkin aku
akan menabrak...
Lamunanku buyar
saat kurasakan 2 jari mendorong dahiku. Dengan 2 jarinya yang masih menempel
didahiku, dia berkata,
“Aku Min Ho. Lee
Min Ho. Jangan panggil aku dengan ‘Ya’ lagi.
Mengerti?”
Aku hanya bisa
mengangguk cepat.
“Bagus.” Ujarnya
singkat lalu beranjak untuk melanjutkan berjalan. Aku pun membereskan poni ku
yang rusak karena laki – laki yang ternyata bernama Min Ho itu. Dengan perasaan
sedikit kesal, aku pun menyusulnya.
“Min Ho-ya, tunggu
aku.” Ujarku hati – hati, berusaha menghindari lemparan sepatu yang mungkin
saja melayang ke arahku jika aku tidak sengaja memanggilnya dengan ‘Ya’ lagi.
♥♥♥
Aku meminta Min Ho
– ssi (saudara) mengantarku ke rumah
Chen Ji. Chen Ji berkata bahwa Eun Sa dan Han Mi masih ada dirumahnya. Aku pun
memutuskan untuk menginap di rumah Chen Ji malam ini. Aku tidak mau kembali ke
rumah dengan wajah yang sedih dan murung. Appa
(ayah) dan eomma (ibu) pasti akan
melempar serentetan pertanyaan jika melihatku sedih. Ya, kupikir menginap lebih
baik. Dengan begitu aku juga bisa curhat dengan sahabat – sahabat ku sekaligus
bebas untuk menangis sejadi – jadinya.
Sepanjang
perjalanan, tak banyak yang kubicarakan dengan Min Ho. Yang aku tahu, dia
adalah mahasiswa tahun ke 2 di Konkuk University. Tak lama kemudian, mobil Min
Ho merapat kepinggir jalan. Tepat didepan rumah Chen Ji. Sebelum turun aku
sempat mengucapkan terima kasih.
“Gamsahamnida (terima kasih). Terima kasih banyak atas bantuanmu
hari ini. Aku pergi dulu.” Baru hendak membuka pintu mobil, tiba – tiba aku
merasakan sesuatu menahan tanganku. Aku pun berpaling pada Min Ho. Aku tidak
bertanya apa – apa, namun aku yakin raut wajahku cukup mewakili pikiranku.
“Berhenti...” Ujar
Min Ho yang membuat ku bingung.
“Maaf?”
“Berhenti,
menyukainya. Kau harus lupakan dia. Dia sudah bersama orang lain. Kau akan
menyakiti dirimu sendiri jika terus – terusan mengharapkannya.”
“Aku tahu. Tapi,
aku ragu. Apakah aku bisa melakukan hal itu.” Ucap ku datar.
“Pasti bisa. Aku
akan membantumu. Aku janji.” Kata Min Ho tegas. Entah mengapa, semua yang
diucapkan laki – laki ini menguatkan hatiku. Dia benar. Aku – harus – melupakan
– perasaan – ini.
“Ya (hei)! Kenapa tiba – tiba jadi
seserius ini? Kenapa kau baik padaku?” Kataku. Berusaha mencairkan suasana.
“Ada beberapa
alasan. Suatu saat aku akan memberitahumu.” Min Ho tetap serius. Aneh sekali
laki – laki ini.
“Baiklah, baiklah.
Aku mengerti. Sekarang, bisa kau lepaskan tanganku?” Aku agak risih.
“O (iya), maaf.” Katanya sedikit
canggung.
“Oh ya, aku minta
nomor ponselmu.” Katanya lagi.
“Untuk apa?”
“Untuk memenuhi
janji ku tadi.” Aku pun langsung mengerti. Ku sebutkan beberapa digit nomor
ponselku yang ia simpan didalam handphone nya.
“Sekali lagi,
terima kasih.” Kataku sambil sedikit membungkukan badan. Aku baru ingin membuka
pintu mobil, ketika lagi – lagi sebuah tangan menahanku.
“Apa lagi? Iya aku
janji aku akan berusaha berhenti menyukai Kak Yong Hwa.” Kataku sedikit
jengkel. Tapi Min Ho diam saja. Dia malah beralih ke jok belakang dan mengambil
sesuatu. Sebuah syal. Jantungku berdegup tak keruan saat ia mendekat untuk
memasangkan syal itu dileherku.
“Di luar dingin sekali.
Leher mu bisa kaku menahan dingin.” Ujarnya lembut, masih mengurusi syal
dileherku. Aku hanya bisa duduk terpaku menatapnya dengan perasaan sedikit tak
percaya.
“Lain kali jangan
lupa membawa syal saat bepergian di musim dingin.” Sambungnya lagi. Aku bisa
mencium napas segarnya karena jarak wajah kami yang begitu dekat.
“Nah, selesai.”
Kata Min Ho akhirnya. Aku segera memalingkan pandanganku dari matanya.
“Terima kasih.”
Ujarku cepat dan buru – buru keluar dari mobil. Ku rasakan pipiku menghangat.
Apakah aku malu? Aku tidak tahu. Tapi, perlakuan laki – laki itu cukup berhasil
membuat pikiranku campur aduk tak keruan.
Aku pun melangkah
kedepan rumah Chen Ji. Ku dengar derum mobil di belakangku. Dia sudah pergi.
Barulah aku berani menatap mobil yang melaju kencang di jalanan sepi itu. Tiba
– tiba...
“Waaahh! Siapa dia?
Mobilnya keren sekali!” Terdengar pekikan heboh Eun Sa.
“Mau siapa lagi?
Sudah pasti itu Kak Yong Hwa. Apa dia ganti mobil Hye Sun-a?” Pertanyaan Han Mi
menyesakkanku. Aku tidak ingin mendengar namanya.
“Jangan bicarakan
dia. Aku mohon.” Pintaku lemah. Chen Ji paling responsif, dia sepertinya
menyadari telah terjadi sesuatu pada ku hari ini.
“Ada apa? Apa ada
sesuatu yang salah?” Katanya menunjukkan kepedulian. Aku hanya bisa terdiam.
“Ayo kita masuk!
Kau bisa ceritakan semuanya di dalam.” Lalu Chen Ji menarik tanganku masuk
kedalam rumahnya.
Aku senang memiliki
sahabat seperti mereka. Mereka selalu ada saat ku butuhkan.
♥♥♥
Aku menceritakan
semua kejadian yang terjadi kepada ke 3 sahabat ku setelah sampai dikamar Chen
Ji. Aku menceritakan dari saat Kak Yong Hwa mengajakku berkencan ke Taman
Bunga, ia mengobrol dengan teman lamanya yang ternyata adalah teman kencannya,
bertemu dengan laki – laki yang sebelumnya ku temui di bus, serta pertolongan
laki – laki tersebut.
Benar saja
dugaanku, Eun Sa dan Han Mi mempersalahkan aku yang tiak memberitahu mereka
soal kencan itu. Lalu aku jelaskan alasanku, untung mereka mau mengerti.
Akhirnya, kami pun menangis bersama – sama semalaman. Aku baru terlelap sekitar
pukul 3 pagi dengan pipi lengket karena air mata.
Aku terbangun pukul
7 pagi oleh deringan handphone ku. Ku lirik teman – teman ku yang lain, mereka
masih menjelajah alam mimpi. Ku ambil handphoneku dan ku lirik layar yang
menyala. Nomor yang tidak ku kenal. Ku angkat.
“Yoboseyo (halo)?” kataku dengan suara
parau.
“Huh. Pasti kau
baru bangun ya? Terdengar jelas dari suaramu.” Terdengar ejekan sinis dari
seberang sana.
“Siapa ini?”
“Aku akan menepati
janji ku. Temui aku pukul 11 di Namsan Tower.”
“Ap.. apa?”
“Jangan terlambat! Arasseo (mengerti)?” klik. Sambungan di
putus. Apakah yang tadi itu Min Ho-ssi?
Sepertinya iya. Eun Sa pun terbangun oleh suaraku.
“Kau bicara dengan
siapa?”
“Dengan seseorang
ditelepon.”
“Ada urusan apa?”
“Nanti saja ku ceritakan.
Aku mau tidur lagi.” Kataku sambil membaringkan kepala di bantal. Aku siap
berlayar di dunia mimpi lagi.
“Aku juga.” Kata
Eun sa.
“Hmm.” Ku jawab
sambil memejamkan mata. Berharap wajah seseorang hadir dalam mimpi ku.
♥♥♥