Purple Bow Tie

Jumat, 22 Maret 2013

Last Love Chapter 2

Enjoy The Story :)



Aku benar – benar tidak percaya dengan penglihatanku. Tidak mungkin! Maksudku, bagaimana mungkin aku bertemu dengan laki – laki yang kutemui di bus beberapa hari lalu ini lagi? Ini pasti hari sialku!
“Aku tidak menyangka akan bertemu dengan mu lagi ditempat ini.” Ujarnya membuka percakapan.
“Begitu juga dengan ku,” Balas ku dengan nada kesal. Aku masih mengutuki kebetulan yang mempertemukan kami.
“Apa benar kata – kata yang kau tulis ini untukku? Keberadaanku sepertnya berarti sekali untuk mu. Dari luar kau terlihat jengkel dengan ku, tapi siapa yang menyangka di dalam hati mu kau mengidolakanku.” Laki – laki itu pun tersenyum setengah mengejek.
“Terserah kau mau berpikir apa. Cepat kembalikan kertas padaku!” perintahku. Aku pun mengulurkan tangan untuk meraih kertas yang di pegang laki – laki itu. Tapi tiba – tiba laki – laki itu mengibaskan tangannya menjauhi jangkauanku.
“Tunggu dulu. Aku hanya ingin tahu, benarkah kau salah satu fansku?” Ia pun terkekeh menyebalkan.
Ya (hei)! Cepat kembalikan! Anak itu salah orang. Seharusnya ia memberikan pada laki – laki itu bukan pada mu,” Sergah ku marah sambil menunjuk ke arah Yong Hwa Oppa. Namun pada saat itu juga, aku melihat Yong Hwa Oppa memegang tangan teman wanita yang ditemui nya. Tiba – tiba dadaku terasa sesak, dan tanganku refleks mengangkat untuk merasakan apa yang terjadi pada dadaku. Beberapa detik aku hanya bisa tertegun memandangi Yong Hwa Oppa. Mengapa rasanya sesakit ini?
“Jadi kau menyukainya? Tapi sekarang ia telah bersama orang lain. Kau terlambat, seharusnya kau lebih cepat mengungkapkan perasaan mu padanya.” Aku bingung sekali. Apakah semua hal yang aku rasakan tertulis dengan jelas di dahiku?
“Jangan ikut campur!” Jawabku ketus sambil menurunkan tanganku.
“Dia cinta pertama ku... tapi ia hanya menganggapku sebagai adik. Tidak lebih.” Sambungku.
“Hmm, begitu.” Aku pun mengangguk. Tepat pada saat itu kulihat Yong Hwa Oppa dan teman wanitanya berjalan ke arahku.
Andwaae (jangan)! Yong Hwa Oppa tidak boleh melihatku berwajah murung. Eotteokhae (apa yang harus ku lakukan)?” Ujarku sedikit panik. Laki – laki itu pun tiba – tiba berdiri menghadapku yang otomatis membelakangi Yong Hwa Oppa yang semakin dekat. Anehnya, dia hanya diam. Kira – kira saat Yong Hwa Oppa berjarak 2 langkah dari kami, tanpa terduga laki – laki itu berkata,
“Kau mau melihat bunga apa dulu dalam kencan pertama kita?” Aku ternganga mendengar perkataan laki – laki itu. Apa yang barusan dia ucapkan?
“Jadi kau kesini karena ingin berkencan juga? Kenapa tidak bilang padaku? Seandainya aku tahu dari awal, maka aku tidak perlu mengkhawatirkan mu karena kutinggal untuk berkencan. Atau kau mau kita kencan ganda?” Kata – kata Yong Hwa Oppa benar – benar bagaikan petir di siang hari. Kata – kata yang justru sedang ku hindari itu malah ku dengar langsung dari orangnya. Namun anehnya nada suara Yong Hwa Oppa terdengar terburu - buru.
“Ja... jadi, Oppa berniat untuk berkencan makanya datang kesini?” Tenggorokanku tercekat melihat Yong Hwa Oppa mengangguk.
“Benar,” Ujarnya datar.
“Kenapa Oppa tidak mengatakannya dari awal?”
“Aku hanya membutuhkan teman untuk mengisi waktu saat teman kencanku datang.” Aku yakin ekspresi wajahku semakin terlihat aneh. Sekarang aku pun mengerti apa yang dikatakan laki – laki itu, dan aku akan mendukung ucapannya.
“Karena sekarang Oppa sudah bertemu dengan teman kencan Oppa, kalau begitu aku akan pamit. Aku ingin pergi karena kami juga punya acara kencan sendiri. Ayo kita cari tempat yang romantis, Oppa.” Ujarku berbohong sambil berusaha menggandeng tangan laki – laki itu dengan natural.
Akhirnya aku dan laki – laki yang belum kuketahui namanya itu beranjak pergi meninggalkan Yong Hwa Oppa.
Saat aku berjalan meninggalkannya, aku tahu bahwa aku juga harus meninggalkan perasaan ku terhadapnya. Bisakah aku melakukan hal itu? Aku tidak tahu.
♥♥♥
Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dunia serasa menguap, penglihatanku kabur, tubuhku lemas dan aku tidak merasakan apa – apa. Suara – suara disekitarku terdengar samar. Yang bisa aku pikirkan hanya itu. Hanya nama itu. Kak Yong Hwa. Kak Yong Hwa tolong aku. Apa yang terjadi denganku? Hatiku tidak bisa merasakan apa – apa. Kebas rasanya. Pada saat itu, aku merasakan genggaman kuat pada tangan ku yang menghentikan langkah ku. Aku mengedarkan pandangan menatap si pemilik tangan. Aku sangat berharap melihat senyum hangatnya. Tapi...
“Sudah cukup! Hentikan!” ujar laki – laki yang masih belum kuketahui namanya itu.
“Apa? Apa yang kau bicarakan? Lepaskan tanganku!” Ujarku sambil menarik tanganku.
“Jangan seperti ini lagi! Jika kau ingin menangis, maka menangislah! Tidak perlu ditahan lagi! Jangan menahan sesaknya sendiri, lebih baik kau keluarkan saja!” Kata – katanya sulit aku cerna. Apa sih maksudnya sebenarnya? Siapa yang ingin menangis?
“Apa maksudmu? Sebenarnya siapa yang mau menangis?” Tiba – tiba laki – laki itu menarikku dan mendudukkan ku diatas sebuah batu besar.
“Menangislah!” Apa – apaan laki – laki ini menyuruh ku menangis?
“Aku tidak mau!” Balas ku keras kepala.
“Matamu itu sudah berkaca – kaca sejak tadi. Jadi jangan bohong lagi, cepat menangis saja!” Huh! Apa – apaan ini? Mana ada laki – laki yang memaksa wanita untuk menangis? Bukan kah normalnya malah sebaliknya? Tapi tunggu dulu. Apa katanya tadi? Mataku berkaca- kaca? Jadi apakah air mata yang membuat penglihatanku kabur?
Aku mengelap mataku. Benar, basah.
“Ternyat ini memang sifat aslimu. Benar – benar keras kepala.” Laki – laki itu pun duduk di sebelahku. “Sebaiknya kau...” Belum sempat laki – laki itu melanjutkan kalimatnya, aku sudah menangis dengan keras. Air mata ini sudah tidak bisa di tahan lagi. Sudahlah, sudah terlanjur. Keluarkan saja semuanya. Aku pun menangis sejadi – jadinya.
Ditengah – tenagh isak tangisku, sesekali aku melirik ke arah laki – laki itu yang terlihat panik dan kebingungan setelah melihat beberapa orang yang lewat menatap aneh ke arah kami. Sesekali aku juga mendengarnya berkata “Ya (hei)! Jangan keras – keras menangisnya!” dan, “Sudah, hentikan tangismu!”
“Bukankah tadi kau yang menyuruhku menangis? Tapi kenapa sekarang kau memintaku menghentikannya?” kataku sambil sedikit terisak.
“Hmm.. iya. Tapi...”
“Kalimat terakhirmu juga menyuruhku untuk menangis kan? Sebelum kau mengatakannya secara lengkap, aku sudah mengetahuinya.”
“Hm, sebenarnya yang itu aku ingin bilang ‘sebaiknya kau lupakan saja laki – laki itu’ bukan menyuruhmu untuk menangis.”
“Oh, begitu.” Aku sedikit malu, tapi mau di apakan lagi? Aku pelan – pelan menghentikan tangisku. Jadi sedikit lebih lega setelah menangis keras. Beberapa kali aku menarik napas dan mengeluarkannya untuk lebih menenangkan diri.
“Sudah lebih baik?” Tanyanya sedikit ragu. Aku terdiam. Itu pertama kalinya laki – laki itu bertanya baik – baik dengan nada halus. Aku tahu ia menunggu jawabanku. Akhirnya aku tersenyum sebagai ganti ‘Iya, aku sudah lebih baik’.
“Terima ka...” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba – tiba laki – laki itu bangkit dari duduknya sambil mendesah cukup keras.
“Hufth! Baiklah kalau begitu. Karena kau sudah lebih baik, jadi tanggung jawab ku sebagai laki – laki yang baik untuk menjagamu sudah selesai. Kau bisa pulang sendiri kan? Kalu begitu aku pergi dulu.” Katanya panjang lebar lalu membalikkan badan beranjak pergi.
Laki – laki itu benar – benar menyebalkan! Bodohnya aku yang sempat berpikir dia akan bersikap lebih lembut dan perhatian padaku. Ternyata itu hanya tipuan saja untuk meninggalkanku sendirian. Tunggu dulu! Dia sudah cukup jauh. Aku harus mengejarnya.
Ya (hei)! Ya! Tunggu dulu! Berhenti!” Teriakku sambil berlari menghampirinya yang masih terus saja melanjutkan langkahnya. Setelah sudah cukup dekat, aku menarik lengan laki – laki itu untuk menghentikan langkahnya.
“Aduh! Kau lagi! Apa sih yang sebenarnya kau inginkan dariku, huh?!” Ups, sepertinya dia tidak senang. Lalu siapa peduli?
“Aku tidak bisa pulang sendirian. Bagaimana kalau Kak Yong Hwa melihatku pulang sendiri tanpamu? Dia pasti akan curiga.”
“Bilang saja aku sibuk. Jadi tidak bisa mengantarmu pulang.”
“Mana ia akan percaya? Lagipula ini kan idemu, bagaimana bisa kau menghancurkan ide mu sendiri?”
Laki – laki itu terlihat berpikir sejenak. Mungkin apa yang aku katakan dapat diterima akalnya.
Aigoo (aduh)! Ck, baiklah.” Sepertinya itu keputusan yang sulit diambil baginya. Tapi aku tidak peduli. Yang penting aku tidak pulang sendirian, tidak membuat Kak Yong Hwa curiga, dan dapat menghemat ongkos bus. Aku pun segera membetulkan sepatu ku dan segera berlari untuk menyusulnya yang sudah berjalan lagi.
Ya (hei)! Tunggu aku!” Ujarku sambil berlari.
“Jangan panggil aku dengan ’Ya’ !” Ujarnya sambil berhenti dan membalikkan badan ke arahku. O-oh! Dia berhenti terlalu mendadak. Aku tidak bisa mengerem langkahku tepat waktu. Alhasil, aku menabrak dadanya. Untung saja ia lebih tinggi dari ku, jika saja tinggi kami sama mungkin aku akan menabrak...
Lamunanku buyar saat kurasakan 2 jari mendorong dahiku. Dengan 2 jarinya yang masih menempel didahiku, dia berkata,
“Aku Min Ho. Lee Min Ho. Jangan panggil aku dengan ‘Ya’ lagi. Mengerti?”
Aku hanya bisa mengangguk cepat.
“Bagus.” Ujarnya singkat lalu beranjak untuk melanjutkan berjalan. Aku pun membereskan poni ku yang rusak karena laki – laki yang ternyata bernama Min Ho itu. Dengan perasaan sedikit kesal, aku pun menyusulnya.
“Min Ho-ya, tunggu aku.” Ujarku hati – hati, berusaha menghindari lemparan sepatu yang mungkin saja melayang ke arahku jika aku tidak sengaja memanggilnya dengan ‘Ya’ lagi.
♥♥♥
Aku meminta Min Ho – ssi (saudara) mengantarku ke rumah Chen Ji. Chen Ji berkata bahwa Eun Sa dan Han Mi masih ada dirumahnya. Aku pun memutuskan untuk menginap di rumah Chen Ji malam ini. Aku tidak mau kembali ke rumah dengan wajah yang sedih dan murung. Appa (ayah) dan eomma (ibu) pasti akan melempar serentetan pertanyaan jika melihatku sedih. Ya, kupikir menginap lebih baik. Dengan begitu aku juga bisa curhat dengan sahabat – sahabat ku sekaligus bebas untuk menangis sejadi – jadinya.
Sepanjang perjalanan, tak banyak yang kubicarakan dengan Min Ho. Yang aku tahu, dia adalah mahasiswa tahun ke 2 di Konkuk University. Tak lama kemudian, mobil Min Ho merapat kepinggir jalan. Tepat didepan rumah Chen Ji. Sebelum turun aku sempat mengucapkan terima kasih.
Gamsahamnida (terima kasih). Terima kasih banyak atas bantuanmu hari ini. Aku pergi dulu.” Baru hendak membuka pintu mobil, tiba – tiba aku merasakan sesuatu menahan tanganku. Aku pun berpaling pada Min Ho. Aku tidak bertanya apa – apa, namun aku yakin raut wajahku cukup mewakili pikiranku.
“Berhenti...” Ujar Min Ho yang membuat ku bingung.
“Maaf?”
“Berhenti, menyukainya. Kau harus lupakan dia. Dia sudah bersama orang lain. Kau akan menyakiti dirimu sendiri jika terus – terusan mengharapkannya.”
“Aku tahu. Tapi, aku ragu. Apakah aku bisa melakukan hal itu.” Ucap ku datar.
“Pasti bisa. Aku akan membantumu. Aku janji.” Kata Min Ho tegas. Entah mengapa, semua yang diucapkan laki – laki ini menguatkan hatiku. Dia benar. Aku – harus – melupakan – perasaan – ini.
Ya (hei)! Kenapa tiba – tiba jadi seserius ini? Kenapa kau baik padaku?” Kataku. Berusaha mencairkan suasana.
“Ada beberapa alasan. Suatu saat aku akan memberitahumu.” Min Ho tetap serius. Aneh sekali laki – laki ini.
“Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Sekarang, bisa kau lepaskan tanganku?” Aku agak risih.
O (iya), maaf.” Katanya sedikit canggung.
“Oh ya, aku minta nomor ponselmu.” Katanya lagi.
“Untuk apa?”
“Untuk memenuhi janji ku tadi.” Aku pun langsung mengerti. Ku sebutkan beberapa digit nomor ponselku yang ia simpan didalam handphone nya.
“Sekali lagi, terima kasih.” Kataku sambil sedikit membungkukan badan. Aku baru ingin membuka pintu mobil, ketika lagi – lagi sebuah tangan menahanku.
“Apa lagi? Iya aku janji aku akan berusaha berhenti menyukai Kak Yong Hwa.” Kataku sedikit jengkel. Tapi Min Ho diam saja. Dia malah beralih ke jok belakang dan mengambil sesuatu. Sebuah syal. Jantungku berdegup tak keruan saat ia mendekat untuk memasangkan syal itu dileherku.
“Di luar dingin sekali. Leher mu bisa kaku menahan dingin.” Ujarnya lembut, masih mengurusi syal dileherku. Aku hanya bisa duduk terpaku menatapnya dengan perasaan sedikit tak percaya.
“Lain kali jangan lupa membawa syal saat bepergian di musim dingin.” Sambungnya lagi. Aku bisa mencium napas segarnya karena jarak wajah kami yang begitu dekat.
“Nah, selesai.” Kata Min Ho akhirnya. Aku segera memalingkan pandanganku dari matanya.
“Terima kasih.” Ujarku cepat dan buru – buru keluar dari mobil. Ku rasakan pipiku menghangat. Apakah aku malu? Aku tidak tahu. Tapi, perlakuan laki – laki itu cukup berhasil membuat pikiranku campur aduk tak keruan.
Aku pun melangkah kedepan rumah Chen Ji. Ku dengar derum mobil di belakangku. Dia sudah pergi. Barulah aku berani menatap mobil yang melaju kencang di jalanan sepi itu. Tiba – tiba...
“Waaahh! Siapa dia? Mobilnya keren sekali!” Terdengar pekikan heboh Eun Sa.
“Mau siapa lagi? Sudah pasti itu Kak Yong Hwa. Apa dia ganti mobil Hye Sun-a?” Pertanyaan Han Mi menyesakkanku. Aku tidak ingin mendengar namanya.
“Jangan bicarakan dia. Aku mohon.” Pintaku lemah. Chen Ji paling responsif, dia sepertinya menyadari telah terjadi sesuatu pada ku hari ini.
“Ada apa? Apa ada sesuatu yang salah?” Katanya menunjukkan kepedulian. Aku hanya bisa terdiam.
“Ayo kita masuk! Kau bisa ceritakan semuanya di dalam.” Lalu Chen Ji menarik tanganku masuk kedalam rumahnya.
Aku senang memiliki sahabat seperti mereka. Mereka selalu ada saat ku butuhkan.
♥♥♥
Aku menceritakan semua kejadian yang terjadi kepada ke 3 sahabat ku setelah sampai dikamar Chen Ji. Aku menceritakan dari saat Kak Yong Hwa mengajakku berkencan ke Taman Bunga, ia mengobrol dengan teman lamanya yang ternyata adalah teman kencannya, bertemu dengan laki – laki yang sebelumnya ku temui di bus, serta pertolongan laki – laki tersebut.
Benar saja dugaanku, Eun Sa dan Han Mi mempersalahkan aku yang tiak memberitahu mereka soal kencan itu. Lalu aku jelaskan alasanku, untung mereka mau mengerti. Akhirnya, kami pun menangis bersama – sama semalaman. Aku baru terlelap sekitar pukul 3 pagi dengan pipi lengket karena air mata.
Aku terbangun pukul 7 pagi oleh deringan handphone ku. Ku lirik teman – teman ku yang lain, mereka masih menjelajah alam mimpi. Ku ambil handphoneku dan ku lirik layar yang menyala. Nomor yang tidak ku kenal. Ku angkat.
Yoboseyo (halo)?” kataku dengan suara parau.
“Huh. Pasti kau baru bangun ya? Terdengar jelas dari suaramu.” Terdengar ejekan sinis dari seberang sana.
“Siapa ini?”
“Aku akan menepati janji ku. Temui aku pukul 11 di Namsan Tower.”
“Ap.. apa?”
“Jangan terlambat! Arasseo (mengerti)?” klik. Sambungan di putus. Apakah yang tadi itu Min Ho-ssi? Sepertinya iya. Eun Sa pun terbangun oleh suaraku.
“Kau bicara dengan siapa?”
“Dengan seseorang ditelepon.”
“Ada urusan apa?”
“Nanti saja ku ceritakan. Aku mau tidur lagi.” Kataku sambil membaringkan kepala di bantal. Aku siap berlayar di dunia mimpi lagi.
“Aku juga.” Kata Eun sa.
“Hmm.” Ku jawab sambil memejamkan mata. Berharap wajah seseorang hadir dalam mimpi ku.
♥♥♥

1 komentar :

Unknown mengatakan...

pendapat, kritik dan saran nya masih di tunggu lohh ^^