Tidak terasa, sudah
2 minggu aku bersama dengan Min Ho. Sudah 2 minggu ia berusaha menepati
janjinya untuk membantuku melupakan perasaan ku terhadap Kak Yong Hwa. Sahabat
– sahabat ku pun sangat mendukung usaha Min ho itu. Mereka berkata, perlahan –
lahan keceriaanku kembali. Tidak terlalu sering terlihat murung seperti pada
masa – masa awal menerima kenyataan menyedihkan itu.
Ku rasa mereka
benar. Aku bisa merasakan diriku tersenyum dan tertawa pada Min Ho. Seiring
berjalannya waktu, aku bisa lebih mengenalnya. Dia adalah orang yang baik
–tentu saja-, dia perhatian, dan dia benar – benar menjaga janjinya. Sejak
banyak menghabiskan waktu dengannya, aku jadi lupa pada Kak Yong Hwa. Bukan
berarti benar – benar melupakannya, hanya saja aku lupa untuk memikirkannya.
Min Ho juga bilang,
bahwa aku jangan terlalu sering bertemu dengan Kak Yong Hwa. Dia bilang, itu
berguna untuk membiasakan diriku hidup tanpanya. Atas sarannya itu, aku pun
memutuskan untuk memangkas hari kerja part time ku di toko souvenir Kak Yong
Hwa. Sekarang hanya 3 hari dalam seminggu aku bekerja. Hari senin, selasa, dan
kamis. Itu pun beberapa kali aku izin tidak masuk.
Namun yang ku
sesalkan, hubungan ku dengan Kak Yong Hwa jadi semakin jauh. Kami sudah tidak
seperti dulu lagi. Saat bertemu dengannya, wajahnya lebih sering menunjukkan
ekspresi datar dan terkadang malah dingin. Saat aku masuk kerja, ia lebih
memilih tidak datang ke toko dengan alasan kuliah atau mengerjakan tugas. Saat
kami berada di toko bersama pun, jarang sekali ada pembicaraan diantara kami.
Kalaupun ada, itu hanya mengenai toko, penjualan dan barang – barang. Tidak
lebih. Walaupun sedih, tapi aku tidak boleh patah semangat. Aku harus bisa
menghilangkan perasaan ku terhadap Kak Yong Hwa. Dan aku sudah berjanji pada
diriku sendiri, bahwa aku akan menghancurkan tembok penghalang yang seolah
membatasi kami suatu hari nanti. Suatu hari saat aku sudah bisa menganggapnya
hanya sebagai kakak. Ya, aku pasti bisa melakukannya!
♥♥♥
Musim dingin hampir
berakhir. Udara mulai menghangat pertanda musim semi akan segera tiba. Pohon –
pohon sudah mulai menampakkan daunnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah.
Aku benar – benar berharap musim semi cepat datang menggantikan musim dingin,
seiring dengan kehangatan diantara aku dan Kak Yong Hwa yang bersedia
menggantikan suasana dingin diantara kami. Aku sangat mengharapkan hal itu.
Hari ini adalah
hari minggu. Aku tidak sekolah dan juga tidak bekerja. Namun pagi – pagi sekali
Min Ho sudah menjemputku di depan rumah. Aku membuka pintu dengan perasaan kesal
karena aku dipaksa bangun pagi – pagi olehnya, namun wajah sinisku dibalas
dengan senyuman hangat oleh laki – laki itu. Perlahan kejengkelan di hati ku
pun menguap melihat senyum hangat nan manisnya itu. Ups! Apa kataku tadi?
Manis?! Aku pasti sudah gila!
“Tersenyumlah!” bujuk
Min ho sambil meletakkan tangannya dikedua bahu ku. Aku pun tersenyum – dengan
senyum yang dipaksakan – sebentar.
Masih dengan senyum
menghiasi wajahnya, Min ho membukakan pintu mobil untuk ku. Aku hanya tertegun
aneh memandangnya. Sebelumnya, ia tak pernah membukakan pintu mobil untukku.
Jujur, ini yang pertama kali.
“Ada apa lagi?”
tanyanya heran, “Ayo masuk!” Ia mendorong tubuhku masuk kedalam mobil sambil
tertawa kecil. Mobil Min Ho pun meluncur di jalanan yang cukup lengang.
Ada apa sih dengan
dia? Aneh sekali hari ini. Pagi – pagi sudah menjemputku, dan membukakan pintu
mobil untukku. Dan ia juga tersenyum. Bukan, bukannya dia tak pernah tersenyum.
Hanya saja senyum kali ini sepertinya berbeda. Senyum kali ini benar- benar terlihat
tulus. Aku melirik kearah Min Ho yang sedang berkonsentrasi menyetir. Oh tidak!
Dia masih tersenyum samar. Sebenarnya apa yang membuat dia begitu senang hari
ini? Aku masih memandanginya saat tiba – tiba ia menengok ke arah ku.
“Kau kenapa
memandangiku terus? Aku bisa kehilangan konsentrasi.” Ujarnya dengan senyum
lebar menghiasi wajahnya. Senyum yang manis. Apa? Lagi – lagi aku berpikiran
seperti itu? Aku segera mengalihkan
pandangan sambil mendengus. Namun tidak bisa kupungkiri bahwa jantungku berdegup
kencang melihatnya tersenyum padaku. Dari ekor mataku, aku tahu Min Ho sesekali
menatapku, ia masih menunggu jawabanku ternyata.
“Se.. sebenarnya
kita mau pergi kemana?” tanyaku sedikit gugup. Kenapa aku harus gugup?
Entahlah.
“Nanti kau juga akan
tahu.” Katanya sambil melihat ke arahku dan tersenyum. Tersenyum manis. Ah!
Tidak! Jangan tersenyum seperti itu padaku! >_<
♥♥♥
“Kenapa kita
kesini?” kataku cuek sambil memandang keadaan sekitar.
“Nanti ku ceritakan
sambil jalan. Ayo!” tiba – tiba Min Ho menarik tanganku. Aku merasa seperti
sedang berkencan. Berjalan bergandengan sambil melihat – lihat bunga. Iya, ini
adalah Taman Bunga tempat aku bertemu dengannya untuk kedua kalinya.
“Kau mau tahu
mengapa aku mau membantu mu untuk melupakan cinta pertama mu?” ujar Min Ho
membuyarkan lamunanku.
“Hm.”
“Aku pernah
merasakan hal yang sama sepertimu. Aku tidak mau orang lain sampai mengalami
hal yang sama denganku.”
“Maksudmu?”
“Han Jae. Dia
adalah teman masa kecilku dan sekaligus cinta pertamaku. Kami bersahabat sejak
SD hingga dewasa. Kami tumbuh bersama – sama. Hingga saat duduk di kelas 2 SMA,
aku berani menyatakan perasaanku padanya. Awalnya aku takut dia menolakku dan
hubungan kami menjadi rusak, tapi kemudian ia berkata bahwa ia juga menyukai
ku. Akhirnya kami menjadi pasangan yang sangat berbahagia.”
“Lalu dimana ia
sekarang?” tanyaku. Kami sekarang berhenti didepan hamparan bunga sakura.
Indahnya.
“1 tahun yang lalu
saat kami baru sama – sama masuk di universitas tempatku kuliah sekarang, waktu
merenggutnya dariku. Aku –yang meneleponnya untuk memberi tahu bahwa kami
berdua diterima di universitas favorit itu- tidak tahu kalau ia sedang
menyetir. Karena tidak fokus pada jalanan, mobilnya menabrak kontainer dan ia
meninggal ditempat.” Min Ho berhenti sejenak, mungkin ia sedih mengingat
kejadian itu. Aku mengusap – usap pundaknya.
“Aku tidak apa –
apa.” Ujarnya sambil tersenyum. Lalu ia pun melanjutkan, “Aku masih bisa
mendengar suara benturan keras itu, suara teriakkannya waktu itu, suara lemah
meminta tolongnya, rintihannya, dan ucapannya yang terakhir ‘Saranghae’.” Kata Min Ho mengulangi
ucapan Han Jae.
“Sejak setelah
kremasinya, aku seperti kehilangan cahaya hidupku. Aku menutup diri untuk dunia
luar. Aku seperti orang hilang ingatan. Selain keluarga, aku tidak pernah
berkomunikasi dengan orang lain lagi. Aku hanya mengurung diri di kamar setiap
harinya. Benar- benar seperti orang gila. Aku juga tidak ke kampus selama
hampir 4 bulan. Yang kupikirkan hanya Han Jae. Dan dalam tidurku aku selalu
menangis memanggil – manggil Han Jae.
Namun suatu malam,
aku bermimpi bertemu dengan Han Jae. Di dalam mimpi itu, ia tersenyum padaku
dan menghampiriku. Aku pun memeluknya dengan erat seakan tidak ingin kulepaskan
lagi. Namun Han Jae melepaskan pelukan ku. Ia pun menarikku ke sebuah kursi.
Kami duduk disana. Aku memegang tangan Han Jae. Han Jae mengusap wajahku. Dia
bilang aku sangat kurus. Dia pun menasehatiku untuk kembali membuka diri. Untuk
berhenti mengurung diri di kamar dan hanya memikirkannya. Untuk kembali berkomunikasi
dengan dunia luar, untuk melanjutkan kuliah, dan untuk tetap hidup. Dia bilang dia sedih melihatku hidup seperti
zombie. Dia pun mengatakan bahwa aku kelak akan menemukan alasan baru untuk
bertahan hidup.”
“Mengharukan.”
Ujarku singkat. Tapi ceritanya memang sungguh mengharukan. Tak terasa air mata
sudah menggenang di pelupuk mataku.
“Itulah alasanku
membantumu. Aku tidak ingin ada orang lain yang hidup seperti zombie karena
cinta pertamanya. Oh iya, Taman Bunga ini adalah tempat favorit Han Jae. Dan
bunga sakura adalah bunga kesukaannya. Waktu itu, saat kita bertemu disini,
adalah hari ulang tahun Han Jae. Aku datang untuk mengenangnya.”
“Kekuatan cinta
pertama memang begitu besar. Bahkan aku pernah dengar bahwa ‘First Love Never
Die’.” Ujarku menimpali.
“Benar. Cinta
pertama tidak akan pernah mati, tidak akan pernah terlupa. Namun kita harus
ingat, cinta pertama bukan segalanya. Cinta pertama tidak selalu menjadi takdir
kita. Cinta pertama bukan penentu pasangan hidup kita. Jangan karena cinta pertama
yang hilang, kita melewatkan cinta yang ditawarkan oleh orang lain. Jangan
karena cinta pertama yang hilang, kita menyia – nyiakan cinta yang datang
kepada kita. Jangan karena cinta pertama yang hilang kita menutup hati untuk
cinta yang lain. Cinta pertama memang indah, namun cinta pertama bukan
segalanya. Yang terpenting adalah cinta sekarang dan cinta terakhir. Jangan
menyia – nyiakan orang yang mencintai kita hanya karena cinta pertama yang
telah hilang.”
“Kau benar. Terima
kasih sudah mengajariku arti cinta.” Aku tersenyum lebar kepada Min Ho. Dia
benar – benar sudah membuka mataku tentang arti cinta pertama. Sambil
memandangi bunga sakura yang bergoyang tertiup angin, aku pun mengeluarkan
semua yang menyesakkan di dalam dada.
“KAK YONG HWA!! SEKARANG
AKU SUDAH MENGERTI ARTI CINTA PERTAMA. AKU SUDAH BISA MERELAKAN MU DENGAN ORANG
LAIN. BERBAHAGIALAH! AKU JANJI AKAN MENJADI ADIK YANG BAIK! SELAMAT TINGGAL KAK
YONG HWA, CINTA PERTAMAKU!” Rupanya teriakkanku membuat beberapa orang yang
lewat memandangi kami. Namun Min Ho bukannya marah ataupun mengehentikanku, ia
malah memelukku. Erat sekali. Aku tahu ia tersenyum. Aku pun tersenyum, rasanya
aku sudah benar – benar bisa merelakan Kak Yong Hwa.
“Gomawo (terima kasih).” Ujarku
“Untuk apa?”
“Untuk menepati
janji mu padaku.”
“Aku tidak mungkin
mengingkarinya.”
“Aku tahu itu.”
“Hye Sun-a.”
Panggilnya.
“Ya?”
“Han Jae benar.”
“Tentang apa?”
“Aku menemukan
alasan baru untuk tetap bertahan hidup.”
“Geurae (benarkah)? Cukhahae (selamat)!”
“Kau.”
“Maksudmu?”
“Kau alasan baru ku
untuk tetap hidup.” Kata – katanya bagaikan petir yang menyambarku. Aku pun
melepaskan pelukannya.
“Aku tidak
mengerti.”
“Aku menyukaimu.
Sangat menyukaimu, bahkan mungkin aku mencintaimu. Entah kapan perasaan ini
pertama kali muncul, mungkin semuanya karena waktu kebersamaan kita. Dan aku
baru menyadarinya akhir – akhir ini. Kau berbeda. Kau wanita yang istimewa.
Satu hari akan sulit ku lalui jika tidak melihatmu, bertemu dengan mu, dan
mendengar celotehan mu. Hye Sun-a, izinkan aku menjadi pengganti cinta
pertamamu.” Aku terdiam. Ini begitu mendadak. Walau ku akui ia tampan,
senyumnya manis dan sangat baik hati, namun tetap saja aku harus berpikir lagi.
Tapi aku mengingat kata – katanya bahwa jangan menyia – nyiakan orang yang
mencintai kita membuatku bersimpati padanya. Walaupun sebenarya cuek, tapi aku
tidak bisa memungkiri bahwa aku bahagia pergi bersamanya dan berada didekatnya.
Apakah aku...
“Hye Sun-a,
bagaimana?”
“Baiklah. Aku akan
memberimu kesempatan untuk menjadi pengganti cinta pertamaku.” Ujar ku sambil
tersenyum.
“Jinjja (benakah)? Gomawo (terima kasih).”
Min Ho terlihat gembira, ia pun kembali memelukku. “Aku janji, aku akan
membuatmu bahagia. Aku janji akan selalu berada disampingmu, menjagamu, dan
mencintaimu sampai akhir hayatku.”
“Kau harus menepati
janji itu!”
“Tentu saja. Saranghae (aku mencintaimu).”
“Saranghae do (aku juga mencintaimu).”
♥♥♥
Musim semi telah
tiba, aku menjalani rutinitasku sehari – hari seperti biasa. Hari kerjaku pun
sudah kembali normal, dan aku juga jarang bolos kerja. Kegiatan di sekolah pun
lancar – lancar saja, tugas tidak terlalu banyak menumpuk. Hari ini, aku, Eun
Sa, Chen Ji, dan Han Mi berencana mengerjakan tugas biologi bersama. Sepulang
sekolah, kami berjalan bersama menuju rumah Eun Sa yang memang tidak terlalu
jauh dari sekolah. Hanya perlu 10 menit berjalan kaki santai agar bisa mencapai
rumahnya. Di perjalanan, kami mengobrol sambil bersenda gurau. Seru sekali ^-^
“Tadi aku bertemu
dengannya di kantin saat aku sedang meminum lemon juice. Dia berjalan sambil
makan roti. Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya?” kami pun menggeleng
seketika, “Dia menyapaku, sambil mengangkat sebelah tangannya, ‘Halo Eun Sa,’
begitu katanya.” Ujar Eun Sa bersemangat menirukan gaya laki – laki yang ia
idolakan menyapanya. Han Mi dan Chen ji pun bersorak kegirangan. Lalu mereka
tertawa – tawa dan merangkul Eun Sa.
Aku hanya tersenyum
melihatnya. Aku pandangi mereka yang berjalan agak cepat dari belakang. Betapa
senangnya melihat orang – orang yang kita sayangi tersenyum bahagia. Aku senang
setiap hari bisa melihat Eun Sa, Chen Ji, Han Mi dan Min Ho tersenyum. Rasanya
aku bisa merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan. Tapi masih ada 1 orang yang
belum bisa aku lihat kebahagiannya, wajah cerianya, dan senyum nya.
Kak Yong Hwa masih
seperti sebelumnya. Dia masih bersikap dingin padaku meskipun aku selalu
berusaha bersikap hangat padanya. Aku hanya ingin kami bisa berteman seperti
dulu lagi. Tidak seperti sekarang, aku hanya bisa melihat tatapan sinis Kak
Yong Hwa saat aku meninggalkan toko. Tapi untungnya, sepulang kerja selalu ada
Min Ho yang menunggu di depan toko dengan senyum manisnya. Setidaknya, senyuman
itu bisa menghapus tatapan sinis Kak Yong Hwa dari pikiranku. Setidaknya,
senyuman itu bisa mencairkan hatiku yang beku karena sikap dingin Kak Yong Hwa.
Kakak, aku tidak bisa memahamimu. Aku tidak bisa mengartikan sikap dingin mu,
aku tidak bisa membaca sesuatu yang tersirat dari tatapan sinis mu, aku tidak
mengenalmu lagi.
“Ya (hei)! Hye Sun-a! Apa yang sedang kau pikirkan?” teriak Eun sa yang sudah
berada cukup jauh di depanku.
“Kau berjalan lebih
lambat dari siput, kau tahu?” kali ini Chen Ji yang memarahiku.
“Sudah. Ayo, Cepat
kesini!” panggil Han Mi.
“Ne (iya),” jawabku dengan suara agak
keras agar mereka bisa mendengarnya. Aku pun berlari – lari kecil menghampiri
mereka. Belum lama aku berlari, tiba – tiba ponsel ku bergetar. Aku pun
berhenti sejenak untuk mengambil ponsel itu dari saku ku. Min Ho menelepon, aku
angkat kemudian aku kembali berlari.
“Yoboseyo (halo)?”
“Kau dimana?”
“Aku sedang di
jalan menuju rumah Eun Sa. Wae (kenapa)?”
aku sudah sampai di dekat Eun Sa dan yang lain.
“Kak Min Ho?” tanya
Chen Ji memastikan. Aku hanya mengangguk, dan kami kembali berjalan pelan
bersama – sama.
“Baiklah, aku antar
kalau begitu.” Ujar Min Ho dari seberang sana.
“Ah, tidak usah.
Sebentar lagi juga sampai.”
“Tidak apa – apa.
Biar aku antar saja.”
“Tidak perlu, Eun
Sa bilang kau tidak usah datang. Kami akan mengerjakan tugas biologi bersama,
nanti kau akan bosan. Jadi tidak perlu datang.” Ujar ku berbohong mengenai
perkataan Eun Sa.
“Bilang pada Eun Sa
aku akan membelikan soda.”
“Kalau begitu kau
boleh datang!” Teriak Eun Sa diponselku, iya bisa mendengar ucapan Min Ho
karena memang volume suaranya agak besar.
“Ha-ha! Baiklah
kalau begitu. Cepat naik ke mobil!”
“Mwo (apa)?” Aku tersentak. Ketika kami
membalikkan badan sudah ada sebuah mobil yang berjalan lambat di belakang kami.
Pengemudinya memberi isyarat dengan tangannya agar kami masuk kedalam mobil
itu.
“Kenapa tiba – tiba
sudah sampai?” tanyaku setelah duduk disamping Min Ho.
“Aku melihat
kalian. Jadi aku ikuti saja.”
“O, geurae (iya benarkah)?” Aku kembali
teringat pada Kak Yong Hwa. Dulu ia juga pernah menjemput ku di sekolah saat
kami kelas 2 SMA. Pada waktu itu dia
baru saja lulus (aku dan Kak Yong Hwa berbeda 2 tahun, sama seperti aku dan Min
Ho. Dan pertama kali aku mengenal Kak Yong Hwa adalah saat aku kelas 1 SMA. Saat
acara sebuah konser tahunan diselenggarakan di sekolah, dan aku terjatuh
ditengah kerumunan orang yang melompat – lompat mengikuti alunan musik band.
Kak Yong Hwa lah yang menolongku. Sejak saat itu kami cukup dekat, dan aku
menyukainya) dan saat itu Eun Sa, Chen Ji dan Han Mi berteriak histeris juga –
sama seperti reaksi mereka terhadap Eun Sa tadi – sampai aku kerepotan menutup
mulut mereka agar Kak Yong Hwa tidak curiga. Tiba – tiba aku merasakan sentuhan
lembut ditanganku. Aku pun mengalihkan pandangan ke Min Ho.
“Kak Yong Hwa
lagi?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia tahu aku masih sering memikirkan sikap Kak
Yong Hwa yang tidak kunjung baik padaku.
“Besok, bicaralah
dengannya. Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan. Bicarakan semua yang ingin kau
bicarakan padanya. Semuanya harus menjadi jelas dengan alasan yang kuat.” Lalu
Min Ho mengeratkan genggamannya ditanganku, walau tatapannya tetap terfokus ke
jalanan didepan kami. Saat aku melirik ke bangku belakang, Eun Sa, Chen Ji dan
Han Mi tersenyum – senyum aneh menatapaku. Dengan tatapan dan sinar mata
mereka, aku tahu bahwa mereka tengah mengejekku dengan Min Ho.
“Diam kalian!
Jangan menatapku seperti itu!” omelku. Mereka ber – 3 malah tertawa lepas. Min
Ho pun ikut tertawa, meskipun masih dengan tatapan terfokus ke jalanan. Senang
sekali melihatnya tertawa.
“Tertawalah seperti
ini setiap hari, Min Ho-ya. Tertawalah seperti ini untukku.” Bisikku dalam hati
♥♥♥
Tidak ada komentar :
Posting Komentar