Purple Bow Tie

Minggu, 28 April 2013

Last Love Chapter 3



Tidak terasa, sudah 2 minggu aku bersama dengan Min Ho. Sudah 2 minggu ia berusaha menepati janjinya untuk membantuku melupakan perasaan ku terhadap Kak Yong Hwa. Sahabat – sahabat ku pun sangat mendukung usaha Min ho itu. Mereka berkata, perlahan – lahan keceriaanku kembali. Tidak terlalu sering terlihat murung seperti pada masa – masa awal menerima kenyataan menyedihkan itu.
Ku rasa mereka benar. Aku bisa merasakan diriku tersenyum dan tertawa pada Min Ho. Seiring berjalannya waktu, aku bisa lebih mengenalnya. Dia adalah orang yang baik –tentu saja-, dia perhatian, dan dia benar – benar menjaga janjinya. Sejak banyak menghabiskan waktu dengannya, aku jadi lupa pada Kak Yong Hwa. Bukan berarti benar – benar melupakannya, hanya saja aku lupa untuk memikirkannya.
Min Ho juga bilang, bahwa aku jangan terlalu sering bertemu dengan Kak Yong Hwa. Dia bilang, itu berguna untuk membiasakan diriku hidup tanpanya. Atas sarannya itu, aku pun memutuskan untuk memangkas hari kerja part time ku di toko souvenir Kak Yong Hwa. Sekarang hanya 3 hari dalam seminggu aku bekerja. Hari senin, selasa, dan kamis. Itu pun beberapa kali aku izin tidak masuk.
Namun yang ku sesalkan, hubungan ku dengan Kak Yong Hwa jadi semakin jauh. Kami sudah tidak seperti dulu lagi. Saat bertemu dengannya, wajahnya lebih sering menunjukkan ekspresi datar dan terkadang malah dingin. Saat aku masuk kerja, ia lebih memilih tidak datang ke toko dengan alasan kuliah atau mengerjakan tugas. Saat kami berada di toko bersama pun, jarang sekali ada pembicaraan diantara kami. Kalaupun ada, itu hanya mengenai toko, penjualan dan barang – barang. Tidak lebih. Walaupun sedih, tapi aku tidak boleh patah semangat. Aku harus bisa menghilangkan perasaan ku terhadap Kak Yong Hwa. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan menghancurkan tembok penghalang yang seolah membatasi kami suatu hari nanti. Suatu hari saat aku sudah bisa menganggapnya hanya sebagai kakak. Ya, aku pasti bisa melakukannya!
♥♥♥
Musim dingin hampir berakhir. Udara mulai menghangat pertanda musim semi akan segera tiba. Pohon – pohon sudah mulai menampakkan daunnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Aku benar – benar berharap musim semi cepat datang menggantikan musim dingin, seiring dengan kehangatan diantara aku dan Kak Yong Hwa yang bersedia menggantikan suasana dingin diantara kami. Aku sangat mengharapkan hal itu.
Hari ini adalah hari minggu. Aku tidak sekolah dan juga tidak bekerja. Namun pagi – pagi sekali Min Ho sudah menjemputku di depan rumah. Aku membuka pintu dengan perasaan kesal karena aku dipaksa bangun pagi – pagi olehnya, namun wajah sinisku dibalas dengan senyuman hangat oleh laki – laki itu. Perlahan kejengkelan di hati ku pun menguap melihat senyum hangat nan manisnya itu. Ups! Apa kataku tadi? Manis?! Aku pasti sudah gila!
“Tersenyumlah!” bujuk Min ho sambil meletakkan tangannya dikedua bahu ku. Aku pun tersenyum – dengan senyum yang dipaksakan – sebentar.
Masih dengan senyum menghiasi wajahnya, Min ho membukakan pintu mobil untuk ku. Aku hanya tertegun aneh memandangnya. Sebelumnya, ia tak pernah membukakan pintu mobil untukku. Jujur, ini yang pertama kali.
“Ada apa lagi?” tanyanya heran, “Ayo masuk!” Ia mendorong tubuhku masuk kedalam mobil sambil tertawa kecil. Mobil Min Ho pun meluncur di jalanan yang cukup lengang.
Ada apa sih dengan dia? Aneh sekali hari ini. Pagi – pagi sudah menjemputku, dan membukakan pintu mobil untukku. Dan ia juga tersenyum. Bukan, bukannya dia tak pernah tersenyum. Hanya saja senyum kali ini sepertinya berbeda. Senyum kali ini benar- benar terlihat tulus. Aku melirik kearah Min Ho yang sedang berkonsentrasi menyetir. Oh tidak! Dia masih tersenyum samar. Sebenarnya apa yang membuat dia begitu senang hari ini? Aku masih memandanginya saat tiba – tiba ia menengok ke arah ku.
“Kau kenapa memandangiku terus? Aku bisa kehilangan konsentrasi.” Ujarnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Senyum yang manis. Apa? Lagi – lagi aku berpikiran seperti itu?  Aku segera mengalihkan pandangan sambil mendengus. Namun tidak bisa kupungkiri bahwa jantungku berdegup kencang melihatnya tersenyum padaku. Dari ekor mataku, aku tahu Min Ho sesekali menatapku, ia masih menunggu jawabanku ternyata.
“Se.. sebenarnya kita mau pergi kemana?” tanyaku sedikit gugup. Kenapa aku harus gugup? Entahlah.
“Nanti kau juga akan tahu.” Katanya sambil melihat ke arahku dan tersenyum. Tersenyum manis. Ah! Tidak! Jangan tersenyum seperti itu padaku! >_<
♥♥♥
“Kenapa kita kesini?” kataku cuek sambil memandang keadaan sekitar.
“Nanti ku ceritakan sambil jalan. Ayo!” tiba – tiba Min Ho menarik tanganku. Aku merasa seperti sedang berkencan. Berjalan bergandengan sambil melihat – lihat bunga. Iya, ini adalah Taman Bunga tempat aku bertemu dengannya untuk kedua kalinya.
“Kau mau tahu mengapa aku mau membantu mu untuk melupakan cinta pertama mu?” ujar Min Ho membuyarkan lamunanku.
“Hm.”
“Aku pernah merasakan hal yang sama sepertimu. Aku tidak mau orang lain sampai mengalami hal yang sama denganku.”
“Maksudmu?”
“Han Jae. Dia adalah teman masa kecilku dan sekaligus cinta pertamaku. Kami bersahabat sejak SD hingga dewasa. Kami tumbuh bersama – sama. Hingga saat duduk di kelas 2 SMA, aku berani menyatakan perasaanku padanya. Awalnya aku takut dia menolakku dan hubungan kami menjadi rusak, tapi kemudian ia berkata bahwa ia juga menyukai ku. Akhirnya kami menjadi pasangan yang sangat berbahagia.”
“Lalu dimana ia sekarang?” tanyaku. Kami sekarang berhenti didepan hamparan bunga sakura. Indahnya.
“1 tahun yang lalu saat kami baru sama – sama masuk di universitas tempatku kuliah sekarang, waktu merenggutnya dariku. Aku –yang meneleponnya untuk memberi tahu bahwa kami berdua diterima di universitas favorit itu- tidak tahu kalau ia sedang menyetir. Karena tidak fokus pada jalanan, mobilnya menabrak kontainer dan ia meninggal ditempat.” Min Ho berhenti sejenak, mungkin ia sedih mengingat kejadian itu. Aku mengusap – usap pundaknya.
“Aku tidak apa – apa.” Ujarnya sambil tersenyum. Lalu ia pun melanjutkan, “Aku masih bisa mendengar suara benturan keras itu, suara teriakkannya waktu itu, suara lemah meminta tolongnya, rintihannya, dan ucapannya yang terakhir ‘Saranghae’.” Kata Min Ho mengulangi ucapan Han Jae.
“Sejak setelah kremasinya, aku seperti kehilangan cahaya hidupku. Aku menutup diri untuk dunia luar. Aku seperti orang hilang ingatan. Selain keluarga, aku tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain lagi. Aku hanya mengurung diri di kamar setiap harinya. Benar- benar seperti orang gila. Aku juga tidak ke kampus selama hampir 4 bulan. Yang kupikirkan hanya Han Jae. Dan dalam tidurku aku selalu menangis memanggil – manggil Han Jae.
Namun suatu malam, aku bermimpi bertemu dengan Han Jae. Di dalam mimpi itu, ia tersenyum padaku dan menghampiriku. Aku pun memeluknya dengan erat seakan tidak ingin kulepaskan lagi. Namun Han Jae melepaskan pelukan ku. Ia pun menarikku ke sebuah kursi. Kami duduk disana. Aku memegang tangan Han Jae. Han Jae mengusap wajahku. Dia bilang aku sangat kurus. Dia pun menasehatiku untuk kembali membuka diri. Untuk berhenti mengurung diri di kamar dan hanya memikirkannya. Untuk kembali berkomunikasi dengan dunia luar, untuk melanjutkan kuliah, dan untuk tetap hidup.  Dia bilang dia sedih melihatku hidup seperti zombie. Dia pun mengatakan bahwa aku kelak akan menemukan alasan baru untuk bertahan hidup.”
“Mengharukan.” Ujarku singkat. Tapi ceritanya memang sungguh mengharukan. Tak terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku.
“Itulah alasanku membantumu. Aku tidak ingin ada orang lain yang hidup seperti zombie karena cinta pertamanya. Oh iya, Taman Bunga ini adalah tempat favorit Han Jae. Dan bunga sakura adalah bunga kesukaannya. Waktu itu, saat kita bertemu disini, adalah hari ulang tahun Han Jae. Aku datang untuk mengenangnya.”
“Kekuatan cinta pertama memang begitu besar. Bahkan aku pernah dengar bahwa ‘First Love Never Die’.” Ujarku menimpali.
“Benar. Cinta pertama tidak akan pernah mati, tidak akan pernah terlupa. Namun kita harus ingat, cinta pertama bukan segalanya. Cinta pertama tidak selalu menjadi takdir kita. Cinta pertama bukan penentu pasangan hidup kita. Jangan karena cinta pertama yang hilang, kita melewatkan cinta yang ditawarkan oleh orang lain. Jangan karena cinta pertama yang hilang, kita menyia – nyiakan cinta yang datang kepada kita. Jangan karena cinta pertama yang hilang kita menutup hati untuk cinta yang lain. Cinta pertama memang indah, namun cinta pertama bukan segalanya. Yang terpenting adalah cinta sekarang dan cinta terakhir. Jangan menyia – nyiakan orang yang mencintai kita hanya karena cinta pertama yang telah hilang.”
“Kau benar. Terima kasih sudah mengajariku arti cinta.” Aku tersenyum lebar kepada Min Ho. Dia benar – benar sudah membuka mataku tentang arti cinta pertama. Sambil memandangi bunga sakura yang bergoyang tertiup angin, aku pun mengeluarkan semua yang menyesakkan di dalam dada.
“KAK YONG HWA!! SEKARANG AKU SUDAH MENGERTI ARTI CINTA PERTAMA. AKU SUDAH BISA MERELAKAN MU DENGAN ORANG LAIN. BERBAHAGIALAH! AKU JANJI AKAN MENJADI ADIK YANG BAIK! SELAMAT TINGGAL KAK YONG HWA, CINTA PERTAMAKU!” Rupanya teriakkanku membuat beberapa orang yang lewat memandangi kami. Namun Min Ho bukannya marah ataupun mengehentikanku, ia malah memelukku. Erat sekali. Aku tahu ia tersenyum. Aku pun tersenyum, rasanya aku sudah benar – benar bisa merelakan Kak Yong Hwa.
Gomawo (terima kasih).” Ujarku
“Untuk apa?”
“Untuk menepati janji mu padaku.”
“Aku tidak mungkin mengingkarinya.”
“Aku tahu itu.”
“Hye Sun-a.” Panggilnya.
“Ya?”
“Han Jae benar.”
“Tentang apa?”
“Aku menemukan alasan baru untuk tetap bertahan hidup.”
Geurae (benarkah)? Cukhahae (selamat)!”
“Kau.”
“Maksudmu?”
“Kau alasan baru ku untuk tetap hidup.” Kata – katanya bagaikan petir yang menyambarku. Aku pun melepaskan pelukannya.
“Aku tidak mengerti.”
“Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu, bahkan mungkin aku mencintaimu. Entah kapan perasaan ini pertama kali muncul, mungkin semuanya karena waktu kebersamaan kita. Dan aku baru menyadarinya akhir – akhir ini. Kau berbeda. Kau wanita yang istimewa. Satu hari akan sulit ku lalui jika tidak melihatmu, bertemu dengan mu, dan mendengar celotehan mu. Hye Sun-a, izinkan aku menjadi pengganti cinta pertamamu.” Aku terdiam. Ini begitu mendadak. Walau ku akui ia tampan, senyumnya manis dan sangat baik hati, namun tetap saja aku harus berpikir lagi. Tapi aku mengingat kata – katanya bahwa jangan menyia – nyiakan orang yang mencintai kita membuatku bersimpati padanya. Walaupun sebenarya cuek, tapi aku tidak bisa memungkiri bahwa aku bahagia pergi bersamanya dan berada didekatnya. Apakah aku...
“Hye Sun-a, bagaimana?”
“Baiklah. Aku akan memberimu kesempatan untuk menjadi pengganti cinta pertamaku.” Ujar ku sambil tersenyum.
Jinjja (benakah)? Gomawo (terima kasih).” Min Ho terlihat gembira, ia pun kembali memelukku. “Aku janji, aku akan membuatmu bahagia. Aku janji akan selalu berada disampingmu, menjagamu, dan mencintaimu sampai akhir hayatku.”
“Kau harus menepati janji itu!”
“Tentu saja. Saranghae (aku mencintaimu).”
Saranghae do (aku juga mencintaimu).”
♥♥♥
Musim semi telah tiba, aku menjalani rutinitasku sehari – hari seperti biasa. Hari kerjaku pun sudah kembali normal, dan aku juga jarang bolos kerja. Kegiatan di sekolah pun lancar – lancar saja, tugas tidak terlalu banyak menumpuk. Hari ini, aku, Eun Sa, Chen Ji, dan Han Mi berencana mengerjakan tugas biologi bersama. Sepulang sekolah, kami berjalan bersama menuju rumah Eun Sa yang memang tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya perlu 10 menit berjalan kaki santai agar bisa mencapai rumahnya. Di perjalanan, kami mengobrol sambil bersenda gurau. Seru sekali ^-^
“Tadi aku bertemu dengannya di kantin saat aku sedang meminum lemon juice. Dia berjalan sambil makan roti. Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya?” kami pun menggeleng seketika, “Dia menyapaku, sambil mengangkat sebelah tangannya, ‘Halo Eun Sa,’ begitu katanya.” Ujar Eun Sa bersemangat menirukan gaya laki – laki yang ia idolakan menyapanya. Han Mi dan Chen ji pun bersorak kegirangan. Lalu mereka tertawa – tawa dan merangkul Eun Sa.
Aku hanya tersenyum melihatnya. Aku pandangi mereka yang berjalan agak cepat dari belakang. Betapa senangnya melihat orang – orang yang kita sayangi tersenyum bahagia. Aku senang setiap hari bisa melihat Eun Sa, Chen Ji, Han Mi dan Min Ho tersenyum. Rasanya aku bisa merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan. Tapi masih ada 1 orang yang belum bisa aku lihat kebahagiannya, wajah cerianya, dan senyum nya.
Kak Yong Hwa masih seperti sebelumnya. Dia masih bersikap dingin padaku meskipun aku selalu berusaha bersikap hangat padanya. Aku hanya ingin kami bisa berteman seperti dulu lagi. Tidak seperti sekarang, aku hanya bisa melihat tatapan sinis Kak Yong Hwa saat aku meninggalkan toko. Tapi untungnya, sepulang kerja selalu ada Min Ho yang menunggu di depan toko dengan senyum manisnya. Setidaknya, senyuman itu bisa menghapus tatapan sinis Kak Yong Hwa dari pikiranku. Setidaknya, senyuman itu bisa mencairkan hatiku yang beku karena sikap dingin Kak Yong Hwa. Kakak, aku tidak bisa memahamimu. Aku tidak bisa mengartikan sikap dingin mu, aku tidak bisa membaca sesuatu yang tersirat dari tatapan sinis mu, aku tidak mengenalmu lagi.
Ya (hei)! Hye Sun-a! Apa yang sedang kau pikirkan?” teriak Eun sa yang sudah berada cukup jauh di depanku.
“Kau berjalan lebih lambat dari siput, kau tahu?” kali ini Chen Ji yang memarahiku.
“Sudah. Ayo, Cepat kesini!” panggil Han Mi.
Ne (iya),” jawabku dengan suara agak keras agar mereka bisa mendengarnya. Aku pun berlari – lari kecil menghampiri mereka. Belum lama aku berlari, tiba – tiba ponsel ku bergetar. Aku pun berhenti sejenak untuk mengambil ponsel itu dari saku ku. Min Ho menelepon, aku angkat kemudian aku kembali berlari.
Yoboseyo (halo)?
“Kau dimana?”
“Aku sedang di jalan menuju rumah Eun Sa. Wae (kenapa)?” aku sudah sampai di dekat Eun Sa dan yang lain.
“Kak Min Ho?” tanya Chen Ji memastikan. Aku hanya mengangguk, dan kami kembali berjalan pelan bersama – sama.
“Baiklah, aku antar kalau begitu.” Ujar Min Ho dari seberang sana.
“Ah, tidak usah. Sebentar lagi juga sampai.”
“Tidak apa – apa. Biar aku antar saja.”
“Tidak perlu, Eun Sa bilang kau tidak usah datang. Kami akan mengerjakan tugas biologi bersama, nanti kau akan bosan. Jadi tidak perlu datang.” Ujar ku berbohong mengenai perkataan Eun Sa.
“Bilang pada Eun Sa aku akan membelikan soda.”
“Kalau begitu kau boleh datang!” Teriak Eun Sa diponselku, iya bisa mendengar ucapan Min Ho karena memang volume suaranya agak besar.
“Ha-ha! Baiklah kalau begitu. Cepat naik ke mobil!”
Mwo (apa)?” Aku tersentak. Ketika kami membalikkan badan sudah ada sebuah mobil yang berjalan lambat di belakang kami. Pengemudinya memberi isyarat dengan tangannya agar kami masuk kedalam mobil itu.
“Kenapa tiba – tiba sudah sampai?” tanyaku setelah duduk disamping Min Ho.
“Aku melihat kalian. Jadi aku ikuti saja.”
O, geurae (iya benarkah)?” Aku kembali teringat pada Kak Yong Hwa. Dulu ia juga pernah menjemput ku di sekolah saat kami kelas 2 SMA.  Pada waktu itu dia baru saja lulus (aku dan Kak Yong Hwa berbeda 2 tahun, sama seperti aku dan Min Ho. Dan pertama kali aku mengenal Kak Yong Hwa adalah saat aku kelas 1 SMA. Saat acara sebuah konser tahunan diselenggarakan di sekolah, dan aku terjatuh ditengah kerumunan orang yang melompat – lompat mengikuti alunan musik band. Kak Yong Hwa lah yang menolongku. Sejak saat itu kami cukup dekat, dan aku menyukainya) dan saat itu Eun Sa, Chen Ji dan Han Mi berteriak histeris juga – sama seperti reaksi mereka terhadap Eun Sa tadi – sampai aku kerepotan menutup mulut mereka agar Kak Yong Hwa tidak curiga. Tiba – tiba aku merasakan sentuhan lembut ditanganku. Aku pun mengalihkan pandangan ke Min Ho.
“Kak Yong Hwa lagi?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia tahu aku masih sering memikirkan sikap Kak Yong Hwa yang tidak kunjung baik padaku.
“Besok, bicaralah dengannya. Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan. Bicarakan semua yang ingin kau bicarakan padanya. Semuanya harus menjadi jelas dengan alasan yang kuat.” Lalu Min Ho mengeratkan genggamannya ditanganku, walau tatapannya tetap terfokus ke jalanan didepan kami. Saat aku melirik ke bangku belakang, Eun Sa, Chen Ji dan Han Mi tersenyum – senyum aneh menatapaku. Dengan tatapan dan sinar mata mereka, aku tahu bahwa mereka tengah mengejekku dengan Min Ho.
“Diam kalian! Jangan menatapku seperti itu!” omelku. Mereka ber – 3 malah tertawa lepas. Min Ho pun ikut tertawa, meskipun masih dengan tatapan terfokus ke jalanan. Senang sekali melihatnya tertawa.
“Tertawalah seperti ini setiap hari, Min Ho-ya. Tertawalah seperti ini untukku.” Bisikku dalam hati
♥♥♥

Tidak ada komentar :