Purple Bow Tie

Minggu, 28 April 2013

Last Love Chapter 5 (End)



Aku terbangun karena sentuhan lembut di kepalaku. Aku segera membuka mata lebar – lebar dan berharap melihat senyuman manis itu. Lalu aku pun menegakkan duduk ku, tidak ku sangka sejak tadi aku tertidur di pinggir tempat tidur Min Ho. Lebih tepatnya merebahkan kepala disisi tempat tidurnya, karena aku tidak benar – benar berbaring di sisi ranjangnya.
Benar saja, aku menemukan senyuman itu. Hanya saja kali ini senyuman lemah dari seorang pasien rumah sakit dengan selang infus ditangannya dan selang yang membawa oksigen ke hidungnya. Hatiku miris melihat pemandangan itu.
“Apa lehermu tidak kram?” kata – kata itu begitu lemah diucapkan, aku tidak tega mendengarnya. Aku hanya menggeleng pelan. Ia pun menggenggam tanganku dengan erat.
Jinjja (benarkah)? Kau jangan membuatku khawatir.”
Aku menatapnya dengan tatapan heran, bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu? Lalu aku memukul kepalanya pelan. Ia sedikit meringis lalu tersenyum. Aku pun membelai – belai rambutnya.
“Justru kau yang jangan membuat ku khawatir. Apakah sudah baik – baik saja?” kataku ingin memastikan.
Gwaenchana (tidak apa – apa). Jangan khawatir.”
Keundae (tapi), apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau bisa... bisa mengalami kecelakaan itu?”
“Hmm, aku tahu semuanya. Aku mendengar semua yang kau dan hyung bicarakan.”
Jinjja (benarkah)?”
O (iya). Sebenarnya saat itu tak lama kemudian aku sampai ketempat kalian. Belum sempat aku menyapa, aku sudah mendengar pembicaraan serius kalian berdua. Karena sangat serius kalian sampai tidak menyadari kehadiranku yang memang sudah tidak terlalu jauh dari tempat kalian. Aku tahu kalau ia menyayangi mu. Dan pada awalnya – ditaman bunga itu – ia ingin menyatakan perasaanya terhadapmu. Dan ia bersikap aneh seperti itu karena ia sangat menyukaimu dan sengaja menghindarimu karena hal itu. Ia juga meminta kesempatan kedua padamu.”
“Lalu?”
“Lalu kulihat kau menunduk dan menangis. Aku – dengan seluruh rasa sok tahu ku – berpikir kalau kau akan memberinya kesempatan. Kupikir karena ia cinta pertamamu dan kau masih mencintainya makanya kau mau memberi ia kesempatan. Aku, aku sungguh takut kehilangan mu. Dan aku juga takut kau menyalahkan sikap ku – ditaman bunga itu – yang memulai kebohongan diantara kita. Aku takut sekali. Aku benar – benar takut kehilanganmu. Aku takut mendengar jawabanmu atas permintaan hyung. Makanya aku memutuskan untuk pergi. Karena pikiran yang terlalu kacau, aku tidak benar – benar memperhatikan jalan. Dan aku tidak tahu kalau ada bus yang melaju kencang ke arahku.
“Dasar bodoh,”
Mwo (apa)?”
Neo (kau), Lee Min Ho. Kau bodoh sekali, kau tahu itu?”
“Apa maksudmu?”
“Seharusnya kau tetap disana dan mendengarkanku. Kau seharusnya mendengarkan jawaban ku kalau... kalau aku lebih memilihmu. Tidak ada sama sekali perasaan menyalahkanmu. Karena saat ini, memang hanya kau yang ada di hatiku. Dan apa kau lupa? Aku sudah merelakan Kak Yong Hwa berkat bantuanmu. Apa kau meragukan perasaan ku?”
Min Ho terdiam, dia menatapku lekat – lekat, dan aku pun kembali melanjutkan,
“Seharusnya saat kau menelepon ku tadi, saat kau bilang kau akan terlambat datang, kau jangan langsung menutup teleponnya. Karena ada hal yang ingin kukatakan langsung dari hatiku,”
“Apa itu?”
“Min Ho-ya, chagiya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho, sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Min Ho tersenyum lebar. Tersenyum manis. Rasanya aku tidak ingin senyum itu menghilang. Aku ingin mengabadikan senyum itu, karena aku ingin melihatnya tersenyum seperti itu, terus dan terus, selamanya.
“Tetaplah tersenyum seperti itu untukku, Oppa.” Mendengar hal itu senyum Min Ho semakin melebar. Genggaman tangannya pun semakin erat.
Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo (sayang, aku sangat mencintaimu).” Jawab Min Ho. Kami berdua tersenyum satu sama lain, senyum yang mewakilkan perasaan kami. Kembali teringat kalimat terakhirnya,
Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo.”
♥♥♥
Aku terbangun karena sentuhan lembut di bahuku. Aku segera membuka mata lebar – lebar dan berharap melihat senyuman manis itu. Lalu aku pun menegakkan duduk ku, tidak ku sangka sejak tadi aku tertidur di kursi ruang tunggu dalam posisi duduk. Pantas saja leherku terasa sakit. Ya, aku melihat senyuman itu. Tapi bukan miliknya, melainkan milik Kak Yong Hwa.
“Ia sudah sadar dan ia ingin menemuimu.” Aku segera memalingkan wajahku keruangan yang pintunya terbuka. Tepat dihadapanku. Perlahan – lahan aku berjalan mendekati ruangan itu. Bau khas rumah sakit tercium lebih tajam ketika aku memasuki kamar rawat Min Ho. Ia terbaring disana. Aku pun menerima seulas senyum darinya. Senyuman lemah dari seorang pasien rumah sakit dengan selang infus ditangannya dan selang yang membawa oksigen ke hidungnya, serta perban yang membalut dahinya. Hatiku miris melihat pemandangan itu. Aku pun duduk di kursi yang berada di samping ranjangnya.
“Apa lehermu tidak kram?” kata – kata itu begitu lemah diucapkan, aku tidak tega mendengarnya. Aku hanya menggeleng pelan. Ia pun menggenggam tanganku dengan erat.
Jinjja (benarkah)? Kau jangan membuatku khawatir.”
Aku menatapnya dengan tatapan heran, bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu? Lalu aku memukul kepalanya pelan. Ia sedikit meringis lalu tersenyum. Aku pun membelai – belai rambutnya.
“Justru kau yang jangan membuat ku khawatir. Apakah sudah baik – baik saja?” kataku ingin memastikan.
Gwaenchana (tidak apa – apa). Jangan khawatir.” Oh, tidak! Kejadian ini, mengapa bisa sama persis dengan mimpiku? Aku tahu apa yang harus aku tanyakan setelah ini dan aku tahu apa jawabannya.
“Mengapa kau pergi sebelum mendengar jawabanku?” aku mengubah pertanyaan yang terlintas di otakku.
Mwo (apa)? Bagaimana kau tahu?” Nah, benar kan apa kataku.
“Seharusnya kau tetap disana dan mendengarkanku. Kau seharusnya mendengarkan jawaban ku kalau... kalau aku lebih memilihmu. Tidak ada sama sekali perasaan menyalahkanmu. Karena saat ini, memang hanya kau yang ada di hatiku. Dan apa kau lupa? Aku sudah merelakan Kak Yong Hwa berkat bantuanmu. Apa kau meragukan perasaan ku?”
Min Ho terdiam, dia menatapku lekat – lekat, mungkin ia bingung mengapa aku bisa menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya. Dan aku pun kembali melanjutkan,
“Seharusnya saat kau menelepon ku tadi, saat kau bilang kau akan terlambat datang, kau jangan langsung menutup teleponnya. Karena ada hal yang ingin kukatakan langsung dari hatiku,”
“Apa itu?”
“Min Ho-ya, chagiya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho, sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Min Ho tersenyum lebar. Tersenyum manis. Rasanya aku tidak ingin senyum itu menghilang. Aku ingin mengabadikan senyum itu, karena aku ingin melihatnya tersenyum seperti itu, terus dan terus, selamanya.
“Tetaplah tersenyum seperti itu untukku, Oppa.” Mendengar hal itu senyum Min Ho semakin melebar. Genggaman tangannya pun semakin erat.
Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo (sayang, aku sangat mencintaimu).” Jawab Min Ho. Kami berdua tersenyum satu sama lain, senyum yang mewakilkan perasaan kami.
Lalu Min Ho memalingkan wajahnya ke langit – langit kamar. Ia hanya diam, tatapannya menerawang jauh. Lalu ia kembali memandangku sambil tersenyum. Ia pun membuka mulutnya. Setelah itu, kata – kata yang di ucapkannya menjadi kata – kata terindah yang pernah ku dengar seumur hidupku.
Mataku berkaca – kaca. Terharu ku mendengar ucapannya. Bibir ku tak henti – hentinya menyunggingkan senyum kebahagiaan.
“Katakan kalimat itu sekali lagi,” ujarku sambil mengelap mataku yang basah.
Chagiya, nega jeongmal...” Min Ho berhenti sebentar. Tatapannya berubah, matanya membesar menatapku. Mulutnya masih setengah terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Aku tertegun.
...ss.. saranghaeyo.” Min Ho menyelesaikan kalimatnya. Namun kepalanya tiba – tiba terkulai di bantal. Genggaman tangannya terlepas. Matanya tertutup.
Semua seakan terjadi dalam gerak cepat. Tiba – tiba saja tubuhku ditarik dan dipeluk dari belakang di sudut ruangan kamar itu. Beberapa orang berpakaian putih mengerumuni Min Ho. Aku hanya bisa memperhatikan mereka dengan tatapan kosong dari sudut ruangan. Beberapa kali mereka menggunakan alat pompa jantung. Tapi hasilnya nihil. Suara monoton dari monitor yang berada disamping ranjang Min Ho tetap terdengar nyaring. Suara itu membuatku hampir gila.
Seorang perempuan melepaskan alat – alat yang menempel pada tubuh Min Ho. Lalu menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Beberapa orang berpakain putih itu berjalan keluar dengan kepala tertunduk. Salah seorang dari mereka yang berjalan paling belakang menepuk bahuku beberapa kali. Lalu – dengan kepala yang juga tertunduk – pergi meninggalkan ruangan yang hening itu diikuti dengan Kak Yong Hwa.
Aku tidak bisa merasakan kaki ku. Yang aku ingat aku sudah terduduk dilantai. Otakku beku, tidak bisa memikirkan apapun. Tubuhku menggigil, hawa dingin yang entah dari mana datangnya menusuk – nusuk kulitku. Sesekali aku menahan napasku. Aku tidak tahu apa fungsi hal itu sebenarnya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang berdegup kencang tak keruan. Di tengah kondisi yang memusingkan ini, aku mendengar seseorang dengan suara berat berkata,
“Pecah pembuluh darah di otak. Pasti karena benturan yang keras sekali. Kami sungguh menyesal karena hal ini tidak terdeteksi sebelumnya.” Aku juga bisa mendengar sentakan kaget yang keluar dari mulut Kak Yong Hwa.
Dadaku sesak. Aku hampir tidak bisa bernapas. Tangisku pun akhirnya pecah memenuhi sudut ruangan itu. Aku hanya bisa melihat kegelapan.
♥♥♥
Langit berwarna biru cerah. Aku mempercepat langkah. Angin bertiup agak kencang. Aku merapatkan jaketku dan bunga ditanganku ku pegang dengan erat.
Setelah sampai, aku pun tersenyum memandangnya. Lalu aku membungkukkan badan.
“Maaf aku terlambat.” Ujarku pada benda itu. Melihatnya, seketika otakku memutar kenangan di hari itu, tepat satu tahun yang lalu,
Lalu Min Ho memalingkan wajahnya ke langit – langit kamar. Ia hanya diam, tatapannya menerawang jauh. Lalu ia kembali memandangku sambil tersenyum. Ia pun membuka mulutnya. Setelah itu, kata – kata yang di ucapkannya menjadi kata – kata terindah yang pernah ku dengar seumur hidupku.
“Hye Sun-a, kau percaya takdir?” kata – katanya cukup mengagetkanku. Aku hanya bisa menatapnya tanpa memberi jawaban. Lalu ia pun melanjutkan,
“Aku mempercayainya. Dan kita memilik takdir kita masing – masing. Namun, tidak ada satupun dari kita yang tahu bagaimana takdir itu bekerja, kapan dan dengan cara apa takdir itu menyapa kita.
Begitu juga denganku. Aku tidak tahu takdir apa yang akan menghampiriku. Hanya saja sekarang aku baru sadar, bahwa takdir indahku tengah menemukan jalannya untuk menyapaku. Takdir indahku datang bersama bintang yang cahayanya lebih indah dari sebuah aurora di langit kutub. Bintang itu tidak pernah kehilangan cahayanya. Bahkan selain menyinari dirinya, ia bisa menyinariku juga. Aku senang takdir telah mempertemukan aku dengan bintang itu. Bintang terang nan cantik yang bernama Yoon Hye Sun.” Ia berhenti sebentar, lalu kemudian melanjutkan, “Hye Sun-a, you know what? You’re my last love.”
Mataku berkaca – kaca. Terharu ku mendengar ucapannya. Bibir ku tak henti – hentinya menyunggingkan senyum kebahagiaan.
“Setelah aku keluar dari rumah sakit ini, kita jalan – jalan ya. tapi aku ingin kita bepergian menggunakan bus saja.”
“Wae (kenapa)?” tanyaku heran.
“Karena, jika busnya penuh dan hanya menyisakan 1 kursi kosong, aku ingin mempersilahkan mu duduk dan aku akan berdiri disampingmu.
“Aneh sekali kau ini.” Kataku sambil mengusap – usap kepalanya.
“Kau mau tahu kenapa? Karena sekarang kau telah masuk kategori orang – orang dimana aku bisa mengalah untuknya. Kau ingat pertemuan pertama kita?”
Aku mengingat – ingat sebentar. Ya, pertemuan pertama kami di sebuah bus. Saat itu aku dan dia memperebutkan sebuah kursi kosong. Saat itu ia juga berkata bahwa ia hanya mau mengalah pada ibu – ibu hamil, nenek tua, anak kecil, dan orang yang ia sayangi.
“Dan kau adalah orang yang aku sayangi.” Kata Min Ho lagi. Aku pun tersenyum. Bahagia sekali, rasanya sampai aku ingin menangis.
 “Katakan kalimat itu sekali lagi,” ujarku sambil mengelap mataku yang basah.
“Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo.”
Aku pun membuka mata. Aku telah kembali ke dunia sekarang. Semua ingatan tadi, bagaikan mimpi yang sangat indah. Mengenalnya, adalah kesempatan terbaik seumur hidupku. Mencintainya, adalah perasaan yang sangat membahagiakan. Dan berada disisinya, adalah tempat ternyaman dimana aku merasa aman.
Ia juga sudah menepati janjinya kepadaku. Janji untuk selalu berada disampingku, menjagaku, dan mencintaiku. Hingga waktu merenggutnya dariku, ia masih menjaga janjinya itu. Aku sangat berterima kasih.
Terima kasih, telah hadir dan menghiasi hidupku walau hanya sekejap. Terima kasih, telah mengajarkanku mencintai setulus hati. Terima kasih, telah menghabiskan waktumu untuk berada disampingku dan mencintaiku. Terima kasih telah menjadikanku sebagai cinta terakhirmu. Mungkin kau bukan cinta terakhirku. Namun percayalah, kau adalah orang pertama yang mengajari ku arti cinta yang sesungguhnya, sayang.
Terima kasih.
Aku meletakkan bunga yang ku pegang ke tanah. Tepat didepan salib berukir sebuah nama itu. Aku mengusap – usap nama itu sebentar. Lalu aku berjalan pulang. Perasaan damai ini, telah mengikhlaskannya pergi.
Terima kasih telah hadir dalam hidupku, takdirku. Lee Min Ho. Nega jeongmal saranghaeyo.
♥♥♥
The End

Tidak ada komentar :