Aku terbangun
karena sentuhan lembut di kepalaku. Aku segera membuka mata lebar – lebar dan
berharap melihat senyuman manis itu. Lalu aku pun menegakkan duduk ku, tidak ku
sangka sejak tadi aku tertidur di pinggir tempat tidur Min Ho. Lebih tepatnya
merebahkan kepala disisi tempat tidurnya, karena aku tidak benar – benar
berbaring di sisi ranjangnya.
Benar saja, aku
menemukan senyuman itu. Hanya saja kali ini senyuman lemah dari seorang pasien
rumah sakit dengan selang infus ditangannya dan selang yang membawa oksigen ke
hidungnya. Hatiku miris melihat pemandangan itu.
“Apa lehermu tidak
kram?” kata – kata itu begitu lemah diucapkan, aku tidak tega mendengarnya. Aku
hanya menggeleng pelan. Ia pun menggenggam tanganku dengan erat.
“Jinjja (benarkah)? Kau jangan membuatku
khawatir.”
Aku menatapnya
dengan tatapan heran, bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu? Lalu aku
memukul kepalanya pelan. Ia sedikit meringis lalu tersenyum. Aku pun membelai –
belai rambutnya.
“Justru kau yang
jangan membuat ku khawatir. Apakah sudah baik – baik saja?” kataku ingin
memastikan.
“Gwaenchana (tidak apa – apa). Jangan khawatir.”
“Keundae (tapi), apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau bisa... bisa mengalami
kecelakaan itu?”
“Hmm, aku tahu
semuanya. Aku mendengar semua yang kau dan hyung
bicarakan.”
“Jinjja (benarkah)?”
“O (iya). Sebenarnya saat itu tak lama kemudian aku sampai ketempat kalian.
Belum sempat aku menyapa, aku sudah mendengar pembicaraan serius kalian berdua.
Karena sangat serius kalian sampai tidak menyadari kehadiranku yang memang sudah
tidak terlalu jauh dari tempat kalian. Aku tahu kalau ia menyayangi mu. Dan
pada awalnya – ditaman bunga itu – ia ingin menyatakan perasaanya terhadapmu.
Dan ia bersikap aneh seperti itu karena ia sangat menyukaimu dan sengaja
menghindarimu karena hal itu. Ia juga meminta kesempatan kedua padamu.”
“Lalu?”
“Lalu kulihat kau
menunduk dan menangis. Aku – dengan seluruh rasa sok tahu ku – berpikir kalau
kau akan memberinya kesempatan. Kupikir karena ia cinta pertamamu dan kau masih
mencintainya makanya kau mau memberi ia kesempatan. Aku, aku sungguh takut
kehilangan mu. Dan aku juga takut kau menyalahkan sikap ku – ditaman bunga itu
– yang memulai kebohongan diantara kita. Aku takut sekali. Aku benar – benar
takut kehilanganmu. Aku takut mendengar jawabanmu atas permintaan hyung. Makanya aku memutuskan untuk
pergi. Karena pikiran yang terlalu kacau, aku tidak benar – benar memperhatikan
jalan. Dan aku tidak tahu kalau ada bus yang melaju kencang ke arahku.
“Dasar bodoh,”
“Mwo (apa)?”
“Neo (kau), Lee Min Ho. Kau bodoh sekali, kau tahu itu?”
“Apa maksudmu?”
“Seharusnya kau
tetap disana dan mendengarkanku. Kau seharusnya mendengarkan jawaban ku
kalau... kalau aku lebih memilihmu. Tidak ada sama sekali perasaan
menyalahkanmu. Karena saat ini, memang hanya kau yang ada di hatiku. Dan apa
kau lupa? Aku sudah merelakan Kak Yong Hwa berkat bantuanmu. Apa kau meragukan
perasaan ku?”
Min Ho terdiam, dia
menatapku lekat – lekat, dan aku pun kembali melanjutkan,
“Seharusnya saat
kau menelepon ku tadi, saat kau bilang kau akan terlambat datang, kau jangan langsung
menutup teleponnya. Karena ada hal yang ingin kukatakan langsung dari hatiku,”
“Apa itu?”
“Min Ho-ya, chagiya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho,
sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Min Ho tersenyum lebar. Tersenyum
manis. Rasanya aku tidak ingin senyum itu menghilang. Aku ingin mengabadikan
senyum itu, karena aku ingin melihatnya tersenyum seperti itu, terus dan terus,
selamanya.
“Tetaplah tersenyum
seperti itu untukku, Oppa.” Mendengar
hal itu senyum Min Ho semakin melebar. Genggaman tangannya pun semakin erat.
“Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo (sayang,
aku sangat mencintaimu).” Jawab Min Ho. Kami berdua tersenyum satu sama lain,
senyum yang mewakilkan perasaan kami. Kembali teringat kalimat terakhirnya,
“Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo.”
♥♥♥
Aku terbangun
karena sentuhan lembut di bahuku. Aku segera membuka mata lebar – lebar dan
berharap melihat senyuman manis itu. Lalu aku pun menegakkan duduk ku, tidak ku
sangka sejak tadi aku tertidur di kursi ruang tunggu dalam posisi duduk. Pantas
saja leherku terasa sakit. Ya, aku melihat senyuman itu. Tapi bukan miliknya,
melainkan milik Kak Yong Hwa.
“Ia sudah sadar dan
ia ingin menemuimu.” Aku segera memalingkan wajahku keruangan yang pintunya
terbuka. Tepat dihadapanku. Perlahan – lahan aku berjalan mendekati ruangan
itu. Bau khas rumah sakit tercium lebih tajam ketika aku memasuki kamar rawat
Min Ho. Ia terbaring disana. Aku pun menerima seulas senyum darinya. Senyuman
lemah dari seorang pasien rumah sakit dengan selang infus ditangannya dan selang
yang membawa oksigen ke hidungnya, serta perban yang membalut dahinya. Hatiku
miris melihat pemandangan itu. Aku pun duduk di kursi yang berada di samping
ranjangnya.
“Apa lehermu tidak
kram?” kata – kata itu begitu lemah diucapkan, aku tidak tega mendengarnya. Aku
hanya menggeleng pelan. Ia pun menggenggam tanganku dengan erat.
“Jinjja (benarkah)? Kau jangan membuatku
khawatir.”
Aku menatapnya
dengan tatapan heran, bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu? Lalu aku
memukul kepalanya pelan. Ia sedikit meringis lalu tersenyum. Aku pun membelai –
belai rambutnya.
“Justru kau yang
jangan membuat ku khawatir. Apakah sudah baik – baik saja?” kataku ingin
memastikan.
“Gwaenchana (tidak apa – apa). Jangan khawatir.” Oh, tidak! Kejadian
ini, mengapa bisa sama persis dengan mimpiku? Aku tahu apa yang harus aku
tanyakan setelah ini dan aku tahu apa jawabannya.
“Mengapa kau pergi
sebelum mendengar jawabanku?” aku mengubah pertanyaan yang terlintas di otakku.
“Mwo (apa)? Bagaimana kau tahu?” Nah,
benar kan apa kataku.
“Seharusnya kau
tetap disana dan mendengarkanku. Kau seharusnya mendengarkan jawaban ku
kalau... kalau aku lebih memilihmu. Tidak ada sama sekali perasaan
menyalahkanmu. Karena saat ini, memang hanya kau yang ada di hatiku. Dan apa
kau lupa? Aku sudah merelakan Kak Yong Hwa berkat bantuanmu. Apa kau meragukan
perasaan ku?”
Min Ho terdiam, dia
menatapku lekat – lekat, mungkin ia bingung mengapa aku bisa menjawab semua
pertanyaan yang ada di kepalanya. Dan aku pun kembali melanjutkan,
“Seharusnya saat
kau menelepon ku tadi, saat kau bilang kau akan terlambat datang, kau jangan
langsung menutup teleponnya. Karena ada hal yang ingin kukatakan langsung dari
hatiku,”
“Apa itu?”
“Min Ho-ya, chagiya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho,
sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Min Ho tersenyum lebar. Tersenyum
manis. Rasanya aku tidak ingin senyum itu menghilang. Aku ingin mengabadikan
senyum itu, karena aku ingin melihatnya tersenyum seperti itu, terus dan terus,
selamanya.
“Tetaplah tersenyum
seperti itu untukku, Oppa.” Mendengar
hal itu senyum Min Ho semakin melebar. Genggaman tangannya pun semakin erat.
“Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo (sayang,
aku sangat mencintaimu).” Jawab Min Ho. Kami berdua tersenyum satu sama lain,
senyum yang mewakilkan perasaan kami.
Lalu Min Ho
memalingkan wajahnya ke langit – langit kamar. Ia hanya diam, tatapannya
menerawang jauh. Lalu ia kembali memandangku sambil tersenyum. Ia pun membuka
mulutnya. Setelah itu, kata – kata yang di ucapkannya menjadi kata – kata
terindah yang pernah ku dengar seumur hidupku.
Mataku berkaca –
kaca. Terharu ku mendengar ucapannya. Bibir ku tak henti – hentinya
menyunggingkan senyum kebahagiaan.
“Katakan kalimat
itu sekali lagi,” ujarku sambil mengelap mataku yang basah.
“Chagiya, nega jeongmal...” Min Ho
berhenti sebentar. Tatapannya berubah, matanya membesar menatapku. Mulutnya
masih setengah terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Aku tertegun.
“...ss.. saranghaeyo.” Min Ho
menyelesaikan kalimatnya. Namun kepalanya tiba – tiba terkulai di bantal. Genggaman
tangannya terlepas. Matanya tertutup.
Semua seakan
terjadi dalam gerak cepat. Tiba – tiba saja tubuhku ditarik dan dipeluk dari
belakang di sudut ruangan kamar itu. Beberapa orang berpakaian putih
mengerumuni Min Ho. Aku hanya bisa memperhatikan mereka dengan tatapan kosong
dari sudut ruangan. Beberapa kali mereka menggunakan alat pompa jantung. Tapi
hasilnya nihil. Suara monoton dari monitor yang berada disamping ranjang Min Ho
tetap terdengar nyaring. Suara itu membuatku hampir gila.
Seorang perempuan
melepaskan alat – alat yang menempel pada tubuh Min Ho. Lalu menarik selimut
menutupi seluruh tubuhnya. Beberapa orang berpakain putih itu berjalan keluar
dengan kepala tertunduk. Salah seorang dari mereka yang berjalan paling
belakang menepuk bahuku beberapa kali. Lalu – dengan kepala yang juga tertunduk
– pergi meninggalkan ruangan yang hening itu diikuti dengan Kak Yong Hwa.
Aku tidak bisa
merasakan kaki ku. Yang aku ingat aku sudah terduduk dilantai. Otakku beku,
tidak bisa memikirkan apapun. Tubuhku menggigil, hawa dingin yang entah dari
mana datangnya menusuk – nusuk kulitku. Sesekali aku menahan napasku. Aku tidak
tahu apa fungsi hal itu sebenarnya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang
berdegup kencang tak keruan. Di tengah kondisi yang memusingkan ini, aku
mendengar seseorang dengan suara berat berkata,
“Pecah pembuluh
darah di otak. Pasti karena benturan yang keras sekali. Kami sungguh menyesal
karena hal ini tidak terdeteksi sebelumnya.” Aku juga bisa mendengar sentakan
kaget yang keluar dari mulut Kak Yong Hwa.
Dadaku sesak. Aku
hampir tidak bisa bernapas. Tangisku pun akhirnya pecah memenuhi sudut ruangan
itu. Aku hanya bisa melihat kegelapan.
♥♥♥
Langit berwarna
biru cerah. Aku mempercepat langkah. Angin bertiup agak kencang. Aku merapatkan
jaketku dan bunga ditanganku ku pegang dengan erat.
Setelah sampai, aku
pun tersenyum memandangnya. Lalu aku membungkukkan badan.
“Maaf aku
terlambat.” Ujarku pada benda itu. Melihatnya, seketika otakku memutar kenangan
di hari itu, tepat satu tahun yang lalu,
Lalu
Min Ho memalingkan wajahnya ke langit – langit kamar. Ia hanya diam, tatapannya
menerawang jauh. Lalu ia kembali memandangku sambil tersenyum. Ia pun membuka
mulutnya. Setelah itu, kata – kata yang di ucapkannya menjadi kata – kata terindah
yang pernah ku dengar seumur hidupku.
“Hye
Sun-a, kau percaya takdir?” kata – katanya cukup mengagetkanku. Aku hanya bisa
menatapnya tanpa memberi jawaban. Lalu ia pun melanjutkan,
“Aku
mempercayainya. Dan kita memilik takdir kita masing – masing. Namun, tidak ada
satupun dari kita yang tahu bagaimana takdir itu bekerja, kapan dan dengan cara
apa takdir itu menyapa kita.
Begitu
juga denganku. Aku tidak tahu takdir apa yang akan menghampiriku. Hanya saja
sekarang aku baru sadar, bahwa takdir indahku tengah menemukan jalannya untuk
menyapaku. Takdir indahku datang bersama bintang yang cahayanya lebih indah
dari sebuah aurora di langit kutub. Bintang itu tidak pernah kehilangan
cahayanya. Bahkan selain menyinari dirinya, ia bisa menyinariku juga. Aku senang
takdir telah mempertemukan aku dengan bintang itu. Bintang terang nan cantik
yang bernama Yoon Hye Sun.” Ia berhenti sebentar, lalu kemudian melanjutkan,
“Hye Sun-a, you know what? You’re my last love.”
Mataku
berkaca – kaca. Terharu ku mendengar ucapannya. Bibir ku tak henti – hentinya
menyunggingkan senyum kebahagiaan.
“Setelah
aku keluar dari rumah sakit ini, kita jalan – jalan ya. tapi aku ingin kita
bepergian menggunakan bus saja.”
“Wae (kenapa)?” tanyaku heran.
“Karena,
jika busnya penuh dan hanya menyisakan 1 kursi kosong, aku ingin mempersilahkan
mu duduk dan aku akan berdiri disampingmu.
“Aneh
sekali kau ini.” Kataku sambil mengusap – usap kepalanya.
“Kau
mau tahu kenapa? Karena sekarang kau telah masuk kategori orang – orang dimana
aku bisa mengalah untuknya. Kau ingat pertemuan pertama kita?”
Aku
mengingat – ingat sebentar. Ya, pertemuan pertama kami di sebuah bus. Saat itu
aku dan dia memperebutkan sebuah kursi kosong. Saat itu ia juga berkata bahwa
ia hanya mau mengalah pada ibu – ibu hamil, nenek tua, anak kecil, dan orang
yang ia sayangi.
“Dan
kau adalah orang yang aku sayangi.” Kata Min Ho lagi. Aku pun tersenyum.
Bahagia sekali, rasanya sampai aku ingin menangis.
“Katakan kalimat itu sekali lagi,” ujarku
sambil mengelap mataku yang basah.
“Chagiya,
nega jeongmal saranghaeyo.”
Aku pun membuka
mata. Aku telah kembali ke dunia sekarang. Semua ingatan tadi, bagaikan mimpi
yang sangat indah. Mengenalnya, adalah kesempatan terbaik seumur hidupku.
Mencintainya, adalah perasaan yang sangat membahagiakan. Dan berada disisinya,
adalah tempat ternyaman dimana aku merasa aman.
Ia juga sudah
menepati janjinya kepadaku. Janji untuk selalu berada disampingku, menjagaku,
dan mencintaiku. Hingga waktu merenggutnya dariku, ia masih menjaga janjinya
itu. Aku sangat berterima kasih.
Terima kasih, telah
hadir dan menghiasi hidupku walau hanya sekejap. Terima kasih, telah
mengajarkanku mencintai setulus hati. Terima kasih, telah menghabiskan waktumu
untuk berada disampingku dan mencintaiku. Terima kasih telah menjadikanku
sebagai cinta terakhirmu. Mungkin kau bukan cinta terakhirku. Namun percayalah,
kau adalah orang pertama yang mengajari ku arti cinta yang sesungguhnya,
sayang.
Terima kasih.
Aku meletakkan
bunga yang ku pegang ke tanah. Tepat didepan salib berukir sebuah nama itu. Aku
mengusap – usap nama itu sebentar. Lalu aku berjalan pulang. Perasaan damai
ini, telah mengikhlaskannya pergi.
Terima kasih telah
hadir dalam hidupku, takdirku. Lee Min Ho. Nega
jeongmal saranghaeyo.
♥♥♥
The End
Tidak ada komentar :
Posting Komentar