Hari ini hari
sabtu. Aku bekerja di toko dari pagi. Sesuai saran Min Ho, hari ini aku akan
membicarakan semuanya dengan Kak Yong Hwa. Min Ho bilang dia juga akan
menemaniku mengobrol dengan Kak Yong Hwa. Aku bertekad nanti aku akan
mengajaknya makan siang bersama. Semuanya harus menjadi jelas. Kak Yong Hwa
seharusnya mempunyai alasan yang kuat untuk sikapnya itu.
“Oppa, nanti kita makan siang bersama
ya.” Ujarku memulai pembicaraan, mencoba menguak hawa dingin diantara kami.
Dengan senyum masih tersungging di bibir, aku harap – harap cemas mendengar jawabannya.
“Nanti siang?
Kurasa aku tidak bisa.” Jawabnya datar.
“Apa Oppa punya rencana lain?”
“Hmm, tidak juga.”
“Lalu, kenapa tidak
bisa?” aku memojokkannya. Aku tidak peduli bagaimana pandangan Kak Yong Hwa
terhadapku, aku hanya ingin berbicara dengannya siang ini. Titik!
“Aigoo (aduh), kau cerewet sekali! Baiklah, baiklah!”
“Jinjja (benarkah)? Janji ya?!”
“Iya, aku janji.”
Kata Kak Yong Hwa sedikit enggan yang kubalas dengan senyuman riang :D
♥♥♥
Aku mengetuk –
ngetukkan jariku telunjukku ke meja. Ini sudah jam makan siang, aku dan Kak
Yong Hwa memutuskan untuk makan siang di kafe dekat toko. Kami sedang menunggu
pesanan, aku resah sekali. Aku tidak tahu harus berbicara dari mana, sedangkan
sampai sekarang Min Ho belum muncul juga. Kulirik Kak Yong Hwa, wajahnya datar
dan ia hanya mengedarkan pandangan ke sekeliling jalan raya. Ya, kami memilih
bagian outdoor kafe untuk bisa merasakan angin musim semi yang berhembus.
‘Ya (hei)! Lee Min Ho, kau kemana saja?’ aku menggerutu dalam hati. Tiba –
tiba ponselku berdering, ‘Ini dia orangnya,’ pikirku dalam hati begitu melihat
nama yang tertera di layar. Aku berjalan menjauhi Kak Yong Hwa agar bisa lebih
leluasa berbicara dengan Min Ho di telepon. Ku jawab panggilan itu, namun kata
– kataku sudah didahului oleh celotehannya.
“Chagi (sayang), ban mobilku bocor. Kurasa aku melindas paku, mobil itu sudah ku
taruh dibengkel. Sekarang aku sedang didalam subway. Aku akan terlambat datang.
Maaf. Kau bicara saja dulu dengan hyung (panggilan
laki – laki untuk laki – laki yang lebih tua). Ceritakan semua padaku nanti
ya?!” rasa kekesalanku hilang begitu mendengar kata pertama yang keluar dari
mulutnya. Chagi (sayang). Dia tidak
pernah memanggilku chagi sebelumnya.
Namun, aku tetap beracting seolah aku benar- benar jengkel padanya.
“Hmm. Arasseo (aku mengerti).” Kataku singkat. Setelah itu hening,
tiada yang bersuara. Sedetik kemudian,
“Chagi, saranghaeyo (sayang, aku
mencintaimu).” Deg! Sungguh aku
kaget. Ini memang bukan pertama kalinya dia mengucapkan kata itu. Tapi, entah
mengapa kali ini seolah berbeda. Suaranya terdengar serius dan dalam. Bagaikan
hati yang berbicara, benar – benar tulus.
“Saranghae do (aku juga mencintaimu).” jawabku
sambil tersenyum, walau ku tahu Min Ho tidak tahu aku sedang melakukannya.
Sesaat kemudian hening kembali. Lalu sambungan terputus. Walau aku tahu ia
sudah tidak bisa mendengarku, tapi aku tetap ingin mengucapkan ini. Sangat
ingin mengucapkan kata – kata ini padanya,
“Min Ho-ya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho, aku
sangat sangat mencintaimu).” Kataku
pada keheningan.
♥♥♥
“Hmm, kakak. Aku,
aku mau membicarakan sesuatu dengan mu.” Ujarku memulai pembicaraan. Sekarang
didepan kami sudah tersaji makanan pesanan kami. Kak Yong Hwa makan dengan
santai. Sementara aku kehilangan selera untuk menyentuh makanan – makanan itu.
“Tentang apa? Apa
ada masalah di toko?”
“O, ani (bukan). Bukan tentang toko.”
“Lalu?”
“Hmm, tentang
kita.”
“Kita?” sekarang ia
sudah berhenti mengunyah, namun tatapannya terfokus pada makanan di hadapannya.
“O (iya). Kau dan aku.” Jawab ku gugup. Seandainya ada Min Ho yang
menggenggam tangan ku disini, mungkin aku tidak akan segugup sekarang.
“Apakah masih ada
kata ‘kita’ sekarang?” Kak Yong Hwa memalingkan wajahnya kepadaku. Tatapannya
keras, namun bila dilihat lebih jauh lagi tatapan itu justru sangat lembut dan
sarat akan kesedihan. Aku sungguh tidak mengerti maksud dari tatapan itu.
“Apa maksudmu?”
“Tidak bisa.
Ternyata kau memang tidak bisa mengerti,” kata Kak Yong Hwa tersenyum sinis.
Lalu kembali memalingkan wajahnya dariku. Kata – katanya seolah di tujukan untuk
dirinya sendiri.
“Kakak,” panggilku
lembut.
“Kau memang tidak
bisa mengerti!” kata Kak Yong Hwa tiba – tiba dengan nada sedikit meninggi. Ia
menyentakkan sendok yang dipegangnya ke meja dan membuatku kaget. Jantungku
berdegup kencang. Aku diam saja, hanya memperhatikan ia yang terlihat penuh
dengan emosi.
“Kau memang tidak
bisa mengerti,” ulang nya lagi. Namun dengan suara yang jauh lebih rendah
sambil menundukkan kepalanya. Aku ikut menundukkan kepalaku. Aku berusaha
berpikir keras. Sebenarnya apa? Hal apa yang tidak bisa ku mengerti? Apa yang
tidak bisa ku mengerti darinya?
“Kakak, maafkan aku
jika memang ada hal yang tidak ku mengerti. Tapi, aku sungguh tidak tahu hal
apa itu.” Kak Yong Hwa tidak menjawab.
“Kakak, hal apa
yang tidak ku mengerti darimu?” tanya ku lagi.
“Apakah tidak
terlihat? Apa sama sekali tidak terlihat?” aku menggeleng pelan.
“Sebenarnya apa
yang tidak bisa terlihat olehku, Kak?” Kak Yong Hwa terdiam sekali lagi. Sesaat
kemudian, aku tersentak sekali begitu mendengar jawaban yang meluncur dari
mulutnya.
“Perasaanku
terhadapmu. Kau tidak bisa melihatnya kan?”
“Kakak, aku tidak
mengerti maksud dari ucapan mu.”
“Kau tidak sadar
bukan bahwa aku menyukaimu? Sangat sangat menyukaimu. Kau tidak tahu kan
bagaimana perasaan ku saat di Taman Bunga waktu kau bilang kau datang untuk
berkencan? Padahal hari itu aku ingin menyatakan perasaan yang telah lama ku
pendam. Hari itu, aku menyuruh Ji Eun datang untuk meminta pendapatnya
bagaimana harus ku katakan perasaan ku
terhadapmu. Namun pada akhirnya, aku harus mengatakan bahwa aku sedang
berkencan dengannya untuk menutupi rencana ku saat kau bilang kau akan
berkencan.” Mataku berkaca – kaca. Kata – katanya benar – benar sulit ku cerna.
Namun aku tetap diam.
“Kau tidak tahu
bagaimana sulitnya aku menahan rindu saat beberapa lama kau menjauhiku. Kau
tidak tahu juga betapa sakitnya aku melihat kau kemudian bersikap hangat
terhadapku, namun setelah itu bersikap lebih hangat lagi terhadap Min Ho. Iya
kan? Kau tidak tahu semua itu kan? Dan apa kau tahu betapa sulitnya aku
menyebut namamu dalam gelap, sementara dadaku terasa sesak setiap kali ku lihat
kau bersama dengan Min Ho. Kau tidak pernah tahu itu semua. Bukankah begitu?”
Dia menundukkan kepalanya dan terdiam beberapa saat. Lalu kemudian melanjutkan,
“Hye Sun-a, berikan aku kesempatan. Satu kesempatan saja untuk memilikimu
karena aku begitu menyayangimu.” Pandanganku tidak terlepas dari Kak Yong Hwa,
semua fokus perhatianku tertuju padanya. Tidak ku sangka dia akan menyatakan
perasaannya seperti ini.
Aku kemudian
menunduk. Air mata jatuh bergulir di pipiku. Aku sedikit terisak. Bagaimana
bisa aku membiarkannya menanggung sakit sendirian? Bagaimana bisa? Betapa
bodohnya aku yang tidak mengetahui semua hal itu. Kakak maafkan aku.
“Kakak, kenapa kau
terlambat? Kenapa kau sangat terlambat? Kenapa?” Aku menarik – narik kerah baju
Kak Yong Hwa. Aku menceritakan kisah yang sebenarnya, bahwa pada awalnya aku
menyukainya. Lalu pada awalnya juga aku dan Min Ho hanya berpura – pura
berkencan sampai sekarang yang aku memang tulus menyayangi Min Ho. Aku melihat
mata Kak Yong Hwa berkaca – kaca, ia pun kembali menunduk dan terdiam cukup lama.
“Kakak aku benar –
benar minta maaf. Tapi sekarang memang hanya dia yang ku sayangi. Hanya Min Ho
yang ada di hatiku sekarang.” Kak Yong Hwa mengangkat wajahnya. Pandangannya
sulit ku terjemahkan.
♥♥♥
Di perjalanan
pulang menuju toko, tidak ada yang bersuara. Kami berdua masih sama – sama
canggung. Teringat lagi olehku kata – kata Kak Yong Hwa yang melegakan itu,
“Hye
Sun-a, ku akui hatiku masih benar – benar sakit. Tapi itu tak masalah bagiku.
Jika memang benar kau sangat mencintainya, maka aku tidak bisa berbuat apapun
lagi. Karena kau tahu? Cinta itu sederhana. Asal kau bahagia, aku pun turut
bahagia. Tapi, izinkan aku tetap menjadi kakakmu. Aku akan menjagamu dengan
sepenih hati. Dan kalau suatu hari Min Ho menyakitimu, maka ia akan merasakan
pukulanku. Tetaplah menjadi seperti sebelumnya, bersikaplah seolah tak pernah
ada masalah diantara kita. Dan Hye Sun-a, izinkan aku mengatakan hal ini untuk
yang terakhir kalinya. Saranghaeyo,
Hye Sun-a.” Aku tersenyum mengingat kata – kata itu. Kak Yong Hwa, dia selalu
dewasa dalam menyikapi berbagai masalah. Termasuk dalam masalah percintaan,
masalah yang tak jarang mengubah seseorang menjadi super kekanak – kanakkan.
“Kau jangan
tersenyum sendiri. Aku khawatir orang lain akan menganggapmu tidak waras.”
Akhirnya Kak Yong Hwa bersuara juga. Jarak kami menuju toko sudah tidak jauh
lagi. Kira –kira bisa sampai dalam 10 menit lagi dengan berjalan pelan seperti
ini.
“Aku memang sudah
tidak waras. Kakak puas?” jawabku seolah terdengar jengkel, namun setelah itu
aku kembali tersenyum, begitu juga dengan Kak Yong Hwa.
Namun, sekitar 15
langkah didepan kami, ada banyak orang berkerubung di pinggir jalan. Ada bus
yang sedang berhenti juga. Aku penasaran. Kak Yong Hwa dan aku pun menghampiri
massa yang berkerubung itu. Ada seorang paman yang sedang berbicara dengan
orang lain, aku berusaha mendengar pembicaraan mereka.
“Tadi dia datang
dari arah kafe diujung jalan itu. Jalannya nampak tergesa – gesa dan tidak
memperhatikan sekitar. Ia pun menyebrang jalan dengan tiba – tiba, padahal saat
itu masih lampu hijau. Dia tidak melihat bus yang melaju kencang ini.” Oohh,
ada kecelakaan rupanya.
Aku dan Kak Yong
Hwa berniat melanjutkan berjalan ketika mendengar suara dering telepon yang
sangat ku kenal. Aku mencari – cari disekitar kerumunan orang. Tapi aku tidak
menemukannya. Aku pun bergerak maju menembus orang – orang yang berdiri ketika
ku dengar seseorang berkata,
“Hei, ponsel laki –
laki ini berbunyi. Apa yang harus kita lakukan?” dengan jantung yang berdegup
tak keruan, aku terus meringsek maju menuju ruang kosong ditengah kerumunan.
Lututku lemas seketika dan aku pun jatuh terduduk ketika melihat Min Ho
tergeletak bersimbah darah tak sadarkan diri.
Aku merangkak
menghampiri tubuh Min Ho. Lututku benar – benar lemas dan tidak akan kuat
menopang berat badanku seandainya kupaksakan untuk berdiri. Kuangkat kepala
penuh darahnya, dan kuletakkan di pangkuanku. Ku usap pipinya pelan, berharap
dia merasakan sentuhan itu dan kemudian membuka matanya. Tapi tak ada respon
yang aku terima. Bibirku serasa kelu, sulit sekali mengatakan sesuatu sekalipun
hanya untuk memanggil namanya. Hanya air mata yang membasahi pipiku yang mampu
mengekspresikan perasaan campur aduk yang kurasakan ini.
Ku dengar Kak Yong
Hwa bertanya pada seseorang didekat kami. Orang itu menjawab, “Ambulance sedang
menuju kesini.”
Kupaksakan untuk
berbicara walaupun bibirku teras sangat berat dan dadaku sesak. “Min Ho-ya,”
hanya kata itu yang keluar dari mulutku lalu langsung disusul isakan tangis
yang tak bisa ku tahan lagi.
“Min Ho-ya. Chagiya, nomu nomu sa, saranghaeyo (sayang,
aku sangat sangat mencintaimu).”
Kataku terbata – bata pada tubuh yang terkulai itu.
♥♥♥
Tidak ada komentar :
Posting Komentar