Purple Bow Tie

Minggu, 28 April 2013

Last Love Chapter 4



Hari ini hari sabtu. Aku bekerja di toko dari pagi. Sesuai saran Min Ho, hari ini aku akan membicarakan semuanya dengan Kak Yong Hwa. Min Ho bilang dia juga akan menemaniku mengobrol dengan Kak Yong Hwa. Aku bertekad nanti aku akan mengajaknya makan siang bersama. Semuanya harus menjadi jelas. Kak Yong Hwa seharusnya mempunyai alasan yang kuat untuk sikapnya itu.
Oppa, nanti kita makan siang bersama ya.” Ujarku memulai pembicaraan, mencoba menguak hawa dingin diantara kami. Dengan senyum masih tersungging di bibir, aku harap – harap cemas mendengar jawabannya.
“Nanti siang? Kurasa aku tidak bisa.” Jawabnya datar.
“Apa Oppa punya rencana lain?”
“Hmm, tidak juga.”
“Lalu, kenapa tidak bisa?” aku memojokkannya. Aku tidak peduli bagaimana pandangan Kak Yong Hwa terhadapku, aku hanya ingin berbicara dengannya siang ini. Titik!
Aigoo (aduh), kau cerewet sekali! Baiklah, baiklah!”
Jinjja (benarkah)? Janji ya?!”
“Iya, aku janji.” Kata Kak Yong Hwa sedikit enggan yang kubalas dengan senyuman riang :D
♥♥♥
Aku mengetuk – ngetukkan jariku telunjukku ke meja. Ini sudah jam makan siang, aku dan Kak Yong Hwa memutuskan untuk makan siang di kafe dekat toko. Kami sedang menunggu pesanan, aku resah sekali. Aku tidak tahu harus berbicara dari mana, sedangkan sampai sekarang Min Ho belum muncul juga. Kulirik Kak Yong Hwa, wajahnya datar dan ia hanya mengedarkan pandangan ke sekeliling jalan raya. Ya, kami memilih bagian outdoor kafe untuk bisa merasakan angin musim semi yang berhembus.
Ya (hei)! Lee Min Ho, kau kemana saja?’ aku menggerutu dalam hati. Tiba – tiba ponselku berdering, ‘Ini dia orangnya,’ pikirku dalam hati begitu melihat nama yang tertera di layar. Aku berjalan menjauhi Kak Yong Hwa agar bisa lebih leluasa berbicara dengan Min Ho di telepon. Ku jawab panggilan itu, namun kata – kataku sudah didahului oleh celotehannya.
Chagi (sayang), ban mobilku bocor. Kurasa aku melindas paku, mobil itu sudah ku taruh dibengkel. Sekarang aku sedang didalam subway. Aku akan terlambat datang. Maaf. Kau bicara saja dulu dengan hyung (panggilan laki – laki untuk laki – laki yang lebih tua). Ceritakan semua padaku nanti ya?!” rasa kekesalanku hilang begitu mendengar kata pertama yang keluar dari mulutnya. Chagi (sayang). Dia tidak pernah memanggilku chagi sebelumnya. Namun, aku tetap beracting seolah aku benar- benar jengkel padanya.
“Hmm. Arasseo (aku mengerti).” Kataku singkat. Setelah itu hening, tiada yang bersuara. Sedetik kemudian,
Chagi, saranghaeyo (sayang, aku mencintaimu).” Deg! Sungguh aku kaget. Ini memang bukan pertama kalinya dia mengucapkan kata itu. Tapi, entah mengapa kali ini seolah berbeda. Suaranya terdengar serius dan dalam. Bagaikan hati yang berbicara, benar – benar tulus.
Saranghae do (aku juga mencintaimu).” jawabku sambil tersenyum, walau ku tahu Min Ho tidak tahu aku sedang melakukannya. Sesaat kemudian hening kembali. Lalu sambungan terputus. Walau aku tahu ia sudah tidak bisa mendengarku, tapi aku tetap ingin mengucapkan ini. Sangat ingin mengucapkan kata – kata ini padanya,
“Min Ho-ya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho, aku sangat sangat mencintaimu).” Kataku pada keheningan.
♥♥♥
“Hmm, kakak. Aku, aku mau membicarakan sesuatu dengan mu.” Ujarku memulai pembicaraan. Sekarang didepan kami sudah tersaji makanan pesanan kami. Kak Yong Hwa makan dengan santai. Sementara aku kehilangan selera untuk menyentuh makanan – makanan itu.
“Tentang apa? Apa ada masalah di toko?”
O, ani (bukan). Bukan tentang toko.”
“Lalu?”
“Hmm, tentang kita.”
“Kita?” sekarang ia sudah berhenti mengunyah, namun tatapannya terfokus pada makanan di hadapannya.
O (iya). Kau dan aku.” Jawab ku gugup. Seandainya ada Min Ho yang menggenggam tangan ku disini, mungkin aku tidak akan segugup sekarang.
“Apakah masih ada kata ‘kita’ sekarang?” Kak Yong Hwa memalingkan wajahnya kepadaku. Tatapannya keras, namun bila dilihat lebih jauh lagi tatapan itu justru sangat lembut dan sarat akan kesedihan. Aku sungguh tidak mengerti maksud dari tatapan itu.
“Apa maksudmu?”
“Tidak bisa. Ternyata kau memang tidak bisa mengerti,” kata Kak Yong Hwa tersenyum sinis. Lalu kembali memalingkan wajahnya dariku. Kata – katanya seolah di tujukan untuk dirinya sendiri.
“Kakak,” panggilku lembut.
“Kau memang tidak bisa mengerti!” kata Kak Yong Hwa tiba – tiba dengan nada sedikit meninggi. Ia menyentakkan sendok yang dipegangnya ke meja dan membuatku kaget. Jantungku berdegup kencang. Aku diam saja, hanya memperhatikan ia yang terlihat penuh dengan emosi.
“Kau memang tidak bisa mengerti,” ulang nya lagi. Namun dengan suara yang jauh lebih rendah sambil menundukkan kepalanya. Aku ikut menundukkan kepalaku. Aku berusaha berpikir keras. Sebenarnya apa? Hal apa yang tidak bisa ku mengerti? Apa yang tidak bisa ku mengerti darinya?
“Kakak, maafkan aku jika memang ada hal yang tidak ku mengerti. Tapi, aku sungguh tidak tahu hal apa itu.” Kak Yong Hwa tidak menjawab.
“Kakak, hal apa yang tidak ku mengerti darimu?” tanya ku lagi.
“Apakah tidak terlihat? Apa sama sekali tidak terlihat?” aku menggeleng pelan.
“Sebenarnya apa yang tidak bisa terlihat olehku, Kak?” Kak Yong Hwa terdiam sekali lagi. Sesaat kemudian, aku tersentak sekali begitu mendengar jawaban yang meluncur dari mulutnya.
“Perasaanku terhadapmu. Kau tidak bisa melihatnya kan?”
“Kakak, aku tidak mengerti maksud dari ucapan mu.”
“Kau tidak sadar bukan bahwa aku menyukaimu? Sangat sangat menyukaimu. Kau tidak tahu kan bagaimana perasaan ku saat di Taman Bunga waktu kau bilang kau datang untuk berkencan? Padahal hari itu aku ingin menyatakan perasaan yang telah lama ku pendam. Hari itu, aku menyuruh Ji Eun datang untuk meminta pendapatnya bagaimana  harus ku katakan perasaan ku terhadapmu. Namun pada akhirnya, aku harus mengatakan bahwa aku sedang berkencan dengannya untuk menutupi rencana ku saat kau bilang kau akan berkencan.” Mataku berkaca – kaca. Kata – katanya benar – benar sulit ku cerna. Namun aku tetap diam.
“Kau tidak tahu bagaimana sulitnya aku menahan rindu saat beberapa lama kau menjauhiku. Kau tidak tahu juga betapa sakitnya aku melihat kau kemudian bersikap hangat terhadapku, namun setelah itu bersikap lebih hangat lagi terhadap Min Ho. Iya kan? Kau tidak tahu semua itu kan? Dan apa kau tahu betapa sulitnya aku menyebut namamu dalam gelap, sementara dadaku terasa sesak setiap kali ku lihat kau bersama dengan Min Ho. Kau tidak pernah tahu itu semua. Bukankah begitu?” Dia menundukkan kepalanya dan terdiam beberapa saat. Lalu kemudian melanjutkan, “Hye Sun-a, berikan aku kesempatan. Satu kesempatan saja untuk memilikimu karena aku begitu menyayangimu.” Pandanganku tidak terlepas dari Kak Yong Hwa, semua fokus perhatianku tertuju padanya. Tidak ku sangka dia akan menyatakan perasaannya seperti ini.
Aku kemudian menunduk. Air mata jatuh bergulir di pipiku. Aku sedikit terisak. Bagaimana bisa aku membiarkannya menanggung sakit sendirian? Bagaimana bisa? Betapa bodohnya aku yang tidak mengetahui semua hal itu. Kakak maafkan aku.
“Kakak, kenapa kau terlambat? Kenapa kau sangat terlambat? Kenapa?” Aku menarik – narik kerah baju Kak Yong Hwa. Aku menceritakan kisah yang sebenarnya, bahwa pada awalnya aku menyukainya. Lalu pada awalnya juga aku dan Min Ho hanya berpura – pura berkencan sampai sekarang yang aku memang tulus menyayangi Min Ho. Aku melihat mata Kak Yong Hwa berkaca – kaca, ia pun kembali menunduk dan terdiam cukup lama.
“Kakak aku benar – benar minta maaf. Tapi sekarang memang hanya dia yang ku sayangi. Hanya Min Ho yang ada di hatiku sekarang.” Kak Yong Hwa mengangkat wajahnya. Pandangannya sulit ku terjemahkan.
♥♥♥
Di perjalanan pulang menuju toko, tidak ada yang bersuara. Kami berdua masih sama – sama canggung. Teringat lagi olehku kata – kata Kak Yong Hwa yang melegakan itu,
“Hye Sun-a, ku akui hatiku masih benar – benar sakit. Tapi itu tak masalah bagiku. Jika memang benar kau sangat mencintainya, maka aku tidak bisa berbuat apapun lagi. Karena kau tahu? Cinta itu sederhana. Asal kau bahagia, aku pun turut bahagia. Tapi, izinkan aku tetap menjadi kakakmu. Aku akan menjagamu dengan sepenih hati. Dan kalau suatu hari Min Ho menyakitimu, maka ia akan merasakan pukulanku. Tetaplah menjadi seperti sebelumnya, bersikaplah seolah tak pernah ada masalah diantara kita. Dan Hye Sun-a, izinkan aku mengatakan hal ini untuk yang terakhir kalinya. Saranghaeyo, Hye Sun-a.” Aku tersenyum mengingat kata – kata itu. Kak Yong Hwa, dia selalu dewasa dalam menyikapi berbagai masalah. Termasuk dalam masalah percintaan, masalah yang tak jarang mengubah seseorang menjadi super kekanak – kanakkan.
“Kau jangan tersenyum sendiri. Aku khawatir orang lain akan menganggapmu tidak waras.” Akhirnya Kak Yong Hwa bersuara juga. Jarak kami menuju toko sudah tidak jauh lagi. Kira –kira bisa sampai dalam 10 menit lagi dengan berjalan pelan seperti ini.
“Aku memang sudah tidak waras. Kakak puas?” jawabku seolah terdengar jengkel, namun setelah itu aku kembali tersenyum, begitu juga dengan Kak Yong Hwa.
Namun, sekitar 15 langkah didepan kami, ada banyak orang berkerubung di pinggir jalan. Ada bus yang sedang berhenti juga. Aku penasaran. Kak Yong Hwa dan aku pun menghampiri massa yang berkerubung itu. Ada seorang paman yang sedang berbicara dengan orang lain, aku berusaha mendengar pembicaraan mereka.
“Tadi dia datang dari arah kafe diujung jalan itu. Jalannya nampak tergesa – gesa dan tidak memperhatikan sekitar. Ia pun menyebrang jalan dengan tiba – tiba, padahal saat itu masih lampu hijau. Dia tidak melihat bus yang melaju kencang ini.” Oohh, ada kecelakaan rupanya.
Aku dan Kak Yong Hwa berniat melanjutkan berjalan ketika mendengar suara dering telepon yang sangat ku kenal. Aku mencari – cari disekitar kerumunan orang. Tapi aku tidak menemukannya. Aku pun bergerak maju menembus orang – orang yang berdiri ketika ku dengar seseorang berkata,
“Hei, ponsel laki – laki ini berbunyi. Apa yang harus kita lakukan?” dengan jantung yang berdegup tak keruan, aku terus meringsek maju menuju ruang kosong ditengah kerumunan. Lututku lemas seketika dan aku pun jatuh terduduk ketika melihat Min Ho tergeletak bersimbah darah tak sadarkan diri.
Aku merangkak menghampiri tubuh Min Ho. Lututku benar – benar lemas dan tidak akan kuat menopang berat badanku seandainya kupaksakan untuk berdiri. Kuangkat kepala penuh darahnya, dan kuletakkan di pangkuanku. Ku usap pipinya pelan, berharap dia merasakan sentuhan itu dan kemudian membuka matanya. Tapi tak ada respon yang aku terima. Bibirku serasa kelu, sulit sekali mengatakan sesuatu sekalipun hanya untuk memanggil namanya. Hanya air mata yang membasahi pipiku yang mampu mengekspresikan perasaan campur aduk yang kurasakan ini.
Ku dengar Kak Yong Hwa bertanya pada seseorang didekat kami. Orang itu menjawab, “Ambulance sedang menuju kesini.”
Kupaksakan untuk berbicara walaupun bibirku teras sangat berat dan dadaku sesak. “Min Ho-ya,” hanya kata itu yang keluar dari mulutku lalu langsung disusul isakan tangis yang tak bisa ku tahan lagi.
“Min Ho-ya. Chagiya, nomu nomu sa, saranghaeyo (sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Kataku terbata – bata pada tubuh yang terkulai itu.
♥♥♥

Tidak ada komentar :