Purple Bow Tie

Minggu, 28 April 2013

Last Love Chapter 5 (End)



Aku terbangun karena sentuhan lembut di kepalaku. Aku segera membuka mata lebar – lebar dan berharap melihat senyuman manis itu. Lalu aku pun menegakkan duduk ku, tidak ku sangka sejak tadi aku tertidur di pinggir tempat tidur Min Ho. Lebih tepatnya merebahkan kepala disisi tempat tidurnya, karena aku tidak benar – benar berbaring di sisi ranjangnya.
Benar saja, aku menemukan senyuman itu. Hanya saja kali ini senyuman lemah dari seorang pasien rumah sakit dengan selang infus ditangannya dan selang yang membawa oksigen ke hidungnya. Hatiku miris melihat pemandangan itu.
“Apa lehermu tidak kram?” kata – kata itu begitu lemah diucapkan, aku tidak tega mendengarnya. Aku hanya menggeleng pelan. Ia pun menggenggam tanganku dengan erat.
Jinjja (benarkah)? Kau jangan membuatku khawatir.”
Aku menatapnya dengan tatapan heran, bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu? Lalu aku memukul kepalanya pelan. Ia sedikit meringis lalu tersenyum. Aku pun membelai – belai rambutnya.
“Justru kau yang jangan membuat ku khawatir. Apakah sudah baik – baik saja?” kataku ingin memastikan.
Gwaenchana (tidak apa – apa). Jangan khawatir.”
Keundae (tapi), apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau bisa... bisa mengalami kecelakaan itu?”
“Hmm, aku tahu semuanya. Aku mendengar semua yang kau dan hyung bicarakan.”
Jinjja (benarkah)?”
O (iya). Sebenarnya saat itu tak lama kemudian aku sampai ketempat kalian. Belum sempat aku menyapa, aku sudah mendengar pembicaraan serius kalian berdua. Karena sangat serius kalian sampai tidak menyadari kehadiranku yang memang sudah tidak terlalu jauh dari tempat kalian. Aku tahu kalau ia menyayangi mu. Dan pada awalnya – ditaman bunga itu – ia ingin menyatakan perasaanya terhadapmu. Dan ia bersikap aneh seperti itu karena ia sangat menyukaimu dan sengaja menghindarimu karena hal itu. Ia juga meminta kesempatan kedua padamu.”
“Lalu?”
“Lalu kulihat kau menunduk dan menangis. Aku – dengan seluruh rasa sok tahu ku – berpikir kalau kau akan memberinya kesempatan. Kupikir karena ia cinta pertamamu dan kau masih mencintainya makanya kau mau memberi ia kesempatan. Aku, aku sungguh takut kehilangan mu. Dan aku juga takut kau menyalahkan sikap ku – ditaman bunga itu – yang memulai kebohongan diantara kita. Aku takut sekali. Aku benar – benar takut kehilanganmu. Aku takut mendengar jawabanmu atas permintaan hyung. Makanya aku memutuskan untuk pergi. Karena pikiran yang terlalu kacau, aku tidak benar – benar memperhatikan jalan. Dan aku tidak tahu kalau ada bus yang melaju kencang ke arahku.
“Dasar bodoh,”
Mwo (apa)?”
Neo (kau), Lee Min Ho. Kau bodoh sekali, kau tahu itu?”
“Apa maksudmu?”
“Seharusnya kau tetap disana dan mendengarkanku. Kau seharusnya mendengarkan jawaban ku kalau... kalau aku lebih memilihmu. Tidak ada sama sekali perasaan menyalahkanmu. Karena saat ini, memang hanya kau yang ada di hatiku. Dan apa kau lupa? Aku sudah merelakan Kak Yong Hwa berkat bantuanmu. Apa kau meragukan perasaan ku?”
Min Ho terdiam, dia menatapku lekat – lekat, dan aku pun kembali melanjutkan,
“Seharusnya saat kau menelepon ku tadi, saat kau bilang kau akan terlambat datang, kau jangan langsung menutup teleponnya. Karena ada hal yang ingin kukatakan langsung dari hatiku,”
“Apa itu?”
“Min Ho-ya, chagiya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho, sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Min Ho tersenyum lebar. Tersenyum manis. Rasanya aku tidak ingin senyum itu menghilang. Aku ingin mengabadikan senyum itu, karena aku ingin melihatnya tersenyum seperti itu, terus dan terus, selamanya.
“Tetaplah tersenyum seperti itu untukku, Oppa.” Mendengar hal itu senyum Min Ho semakin melebar. Genggaman tangannya pun semakin erat.
Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo (sayang, aku sangat mencintaimu).” Jawab Min Ho. Kami berdua tersenyum satu sama lain, senyum yang mewakilkan perasaan kami. Kembali teringat kalimat terakhirnya,
Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo.”
♥♥♥
Aku terbangun karena sentuhan lembut di bahuku. Aku segera membuka mata lebar – lebar dan berharap melihat senyuman manis itu. Lalu aku pun menegakkan duduk ku, tidak ku sangka sejak tadi aku tertidur di kursi ruang tunggu dalam posisi duduk. Pantas saja leherku terasa sakit. Ya, aku melihat senyuman itu. Tapi bukan miliknya, melainkan milik Kak Yong Hwa.
“Ia sudah sadar dan ia ingin menemuimu.” Aku segera memalingkan wajahku keruangan yang pintunya terbuka. Tepat dihadapanku. Perlahan – lahan aku berjalan mendekati ruangan itu. Bau khas rumah sakit tercium lebih tajam ketika aku memasuki kamar rawat Min Ho. Ia terbaring disana. Aku pun menerima seulas senyum darinya. Senyuman lemah dari seorang pasien rumah sakit dengan selang infus ditangannya dan selang yang membawa oksigen ke hidungnya, serta perban yang membalut dahinya. Hatiku miris melihat pemandangan itu. Aku pun duduk di kursi yang berada di samping ranjangnya.
“Apa lehermu tidak kram?” kata – kata itu begitu lemah diucapkan, aku tidak tega mendengarnya. Aku hanya menggeleng pelan. Ia pun menggenggam tanganku dengan erat.
Jinjja (benarkah)? Kau jangan membuatku khawatir.”
Aku menatapnya dengan tatapan heran, bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu? Lalu aku memukul kepalanya pelan. Ia sedikit meringis lalu tersenyum. Aku pun membelai – belai rambutnya.
“Justru kau yang jangan membuat ku khawatir. Apakah sudah baik – baik saja?” kataku ingin memastikan.
Gwaenchana (tidak apa – apa). Jangan khawatir.” Oh, tidak! Kejadian ini, mengapa bisa sama persis dengan mimpiku? Aku tahu apa yang harus aku tanyakan setelah ini dan aku tahu apa jawabannya.
“Mengapa kau pergi sebelum mendengar jawabanku?” aku mengubah pertanyaan yang terlintas di otakku.
Mwo (apa)? Bagaimana kau tahu?” Nah, benar kan apa kataku.
“Seharusnya kau tetap disana dan mendengarkanku. Kau seharusnya mendengarkan jawaban ku kalau... kalau aku lebih memilihmu. Tidak ada sama sekali perasaan menyalahkanmu. Karena saat ini, memang hanya kau yang ada di hatiku. Dan apa kau lupa? Aku sudah merelakan Kak Yong Hwa berkat bantuanmu. Apa kau meragukan perasaan ku?”
Min Ho terdiam, dia menatapku lekat – lekat, mungkin ia bingung mengapa aku bisa menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya. Dan aku pun kembali melanjutkan,
“Seharusnya saat kau menelepon ku tadi, saat kau bilang kau akan terlambat datang, kau jangan langsung menutup teleponnya. Karena ada hal yang ingin kukatakan langsung dari hatiku,”
“Apa itu?”
“Min Ho-ya, chagiya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho, sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Min Ho tersenyum lebar. Tersenyum manis. Rasanya aku tidak ingin senyum itu menghilang. Aku ingin mengabadikan senyum itu, karena aku ingin melihatnya tersenyum seperti itu, terus dan terus, selamanya.
“Tetaplah tersenyum seperti itu untukku, Oppa.” Mendengar hal itu senyum Min Ho semakin melebar. Genggaman tangannya pun semakin erat.
Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo (sayang, aku sangat mencintaimu).” Jawab Min Ho. Kami berdua tersenyum satu sama lain, senyum yang mewakilkan perasaan kami.
Lalu Min Ho memalingkan wajahnya ke langit – langit kamar. Ia hanya diam, tatapannya menerawang jauh. Lalu ia kembali memandangku sambil tersenyum. Ia pun membuka mulutnya. Setelah itu, kata – kata yang di ucapkannya menjadi kata – kata terindah yang pernah ku dengar seumur hidupku.
Mataku berkaca – kaca. Terharu ku mendengar ucapannya. Bibir ku tak henti – hentinya menyunggingkan senyum kebahagiaan.
“Katakan kalimat itu sekali lagi,” ujarku sambil mengelap mataku yang basah.
Chagiya, nega jeongmal...” Min Ho berhenti sebentar. Tatapannya berubah, matanya membesar menatapku. Mulutnya masih setengah terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Aku tertegun.
...ss.. saranghaeyo.” Min Ho menyelesaikan kalimatnya. Namun kepalanya tiba – tiba terkulai di bantal. Genggaman tangannya terlepas. Matanya tertutup.
Semua seakan terjadi dalam gerak cepat. Tiba – tiba saja tubuhku ditarik dan dipeluk dari belakang di sudut ruangan kamar itu. Beberapa orang berpakaian putih mengerumuni Min Ho. Aku hanya bisa memperhatikan mereka dengan tatapan kosong dari sudut ruangan. Beberapa kali mereka menggunakan alat pompa jantung. Tapi hasilnya nihil. Suara monoton dari monitor yang berada disamping ranjang Min Ho tetap terdengar nyaring. Suara itu membuatku hampir gila.
Seorang perempuan melepaskan alat – alat yang menempel pada tubuh Min Ho. Lalu menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Beberapa orang berpakain putih itu berjalan keluar dengan kepala tertunduk. Salah seorang dari mereka yang berjalan paling belakang menepuk bahuku beberapa kali. Lalu – dengan kepala yang juga tertunduk – pergi meninggalkan ruangan yang hening itu diikuti dengan Kak Yong Hwa.
Aku tidak bisa merasakan kaki ku. Yang aku ingat aku sudah terduduk dilantai. Otakku beku, tidak bisa memikirkan apapun. Tubuhku menggigil, hawa dingin yang entah dari mana datangnya menusuk – nusuk kulitku. Sesekali aku menahan napasku. Aku tidak tahu apa fungsi hal itu sebenarnya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang berdegup kencang tak keruan. Di tengah kondisi yang memusingkan ini, aku mendengar seseorang dengan suara berat berkata,
“Pecah pembuluh darah di otak. Pasti karena benturan yang keras sekali. Kami sungguh menyesal karena hal ini tidak terdeteksi sebelumnya.” Aku juga bisa mendengar sentakan kaget yang keluar dari mulut Kak Yong Hwa.
Dadaku sesak. Aku hampir tidak bisa bernapas. Tangisku pun akhirnya pecah memenuhi sudut ruangan itu. Aku hanya bisa melihat kegelapan.
♥♥♥
Langit berwarna biru cerah. Aku mempercepat langkah. Angin bertiup agak kencang. Aku merapatkan jaketku dan bunga ditanganku ku pegang dengan erat.
Setelah sampai, aku pun tersenyum memandangnya. Lalu aku membungkukkan badan.
“Maaf aku terlambat.” Ujarku pada benda itu. Melihatnya, seketika otakku memutar kenangan di hari itu, tepat satu tahun yang lalu,
Lalu Min Ho memalingkan wajahnya ke langit – langit kamar. Ia hanya diam, tatapannya menerawang jauh. Lalu ia kembali memandangku sambil tersenyum. Ia pun membuka mulutnya. Setelah itu, kata – kata yang di ucapkannya menjadi kata – kata terindah yang pernah ku dengar seumur hidupku.
“Hye Sun-a, kau percaya takdir?” kata – katanya cukup mengagetkanku. Aku hanya bisa menatapnya tanpa memberi jawaban. Lalu ia pun melanjutkan,
“Aku mempercayainya. Dan kita memilik takdir kita masing – masing. Namun, tidak ada satupun dari kita yang tahu bagaimana takdir itu bekerja, kapan dan dengan cara apa takdir itu menyapa kita.
Begitu juga denganku. Aku tidak tahu takdir apa yang akan menghampiriku. Hanya saja sekarang aku baru sadar, bahwa takdir indahku tengah menemukan jalannya untuk menyapaku. Takdir indahku datang bersama bintang yang cahayanya lebih indah dari sebuah aurora di langit kutub. Bintang itu tidak pernah kehilangan cahayanya. Bahkan selain menyinari dirinya, ia bisa menyinariku juga. Aku senang takdir telah mempertemukan aku dengan bintang itu. Bintang terang nan cantik yang bernama Yoon Hye Sun.” Ia berhenti sebentar, lalu kemudian melanjutkan, “Hye Sun-a, you know what? You’re my last love.”
Mataku berkaca – kaca. Terharu ku mendengar ucapannya. Bibir ku tak henti – hentinya menyunggingkan senyum kebahagiaan.
“Setelah aku keluar dari rumah sakit ini, kita jalan – jalan ya. tapi aku ingin kita bepergian menggunakan bus saja.”
“Wae (kenapa)?” tanyaku heran.
“Karena, jika busnya penuh dan hanya menyisakan 1 kursi kosong, aku ingin mempersilahkan mu duduk dan aku akan berdiri disampingmu.
“Aneh sekali kau ini.” Kataku sambil mengusap – usap kepalanya.
“Kau mau tahu kenapa? Karena sekarang kau telah masuk kategori orang – orang dimana aku bisa mengalah untuknya. Kau ingat pertemuan pertama kita?”
Aku mengingat – ingat sebentar. Ya, pertemuan pertama kami di sebuah bus. Saat itu aku dan dia memperebutkan sebuah kursi kosong. Saat itu ia juga berkata bahwa ia hanya mau mengalah pada ibu – ibu hamil, nenek tua, anak kecil, dan orang yang ia sayangi.
“Dan kau adalah orang yang aku sayangi.” Kata Min Ho lagi. Aku pun tersenyum. Bahagia sekali, rasanya sampai aku ingin menangis.
 “Katakan kalimat itu sekali lagi,” ujarku sambil mengelap mataku yang basah.
“Chagiya, nega jeongmal saranghaeyo.”
Aku pun membuka mata. Aku telah kembali ke dunia sekarang. Semua ingatan tadi, bagaikan mimpi yang sangat indah. Mengenalnya, adalah kesempatan terbaik seumur hidupku. Mencintainya, adalah perasaan yang sangat membahagiakan. Dan berada disisinya, adalah tempat ternyaman dimana aku merasa aman.
Ia juga sudah menepati janjinya kepadaku. Janji untuk selalu berada disampingku, menjagaku, dan mencintaiku. Hingga waktu merenggutnya dariku, ia masih menjaga janjinya itu. Aku sangat berterima kasih.
Terima kasih, telah hadir dan menghiasi hidupku walau hanya sekejap. Terima kasih, telah mengajarkanku mencintai setulus hati. Terima kasih, telah menghabiskan waktumu untuk berada disampingku dan mencintaiku. Terima kasih telah menjadikanku sebagai cinta terakhirmu. Mungkin kau bukan cinta terakhirku. Namun percayalah, kau adalah orang pertama yang mengajari ku arti cinta yang sesungguhnya, sayang.
Terima kasih.
Aku meletakkan bunga yang ku pegang ke tanah. Tepat didepan salib berukir sebuah nama itu. Aku mengusap – usap nama itu sebentar. Lalu aku berjalan pulang. Perasaan damai ini, telah mengikhlaskannya pergi.
Terima kasih telah hadir dalam hidupku, takdirku. Lee Min Ho. Nega jeongmal saranghaeyo.
♥♥♥
The End

Last Love Chapter 4



Hari ini hari sabtu. Aku bekerja di toko dari pagi. Sesuai saran Min Ho, hari ini aku akan membicarakan semuanya dengan Kak Yong Hwa. Min Ho bilang dia juga akan menemaniku mengobrol dengan Kak Yong Hwa. Aku bertekad nanti aku akan mengajaknya makan siang bersama. Semuanya harus menjadi jelas. Kak Yong Hwa seharusnya mempunyai alasan yang kuat untuk sikapnya itu.
Oppa, nanti kita makan siang bersama ya.” Ujarku memulai pembicaraan, mencoba menguak hawa dingin diantara kami. Dengan senyum masih tersungging di bibir, aku harap – harap cemas mendengar jawabannya.
“Nanti siang? Kurasa aku tidak bisa.” Jawabnya datar.
“Apa Oppa punya rencana lain?”
“Hmm, tidak juga.”
“Lalu, kenapa tidak bisa?” aku memojokkannya. Aku tidak peduli bagaimana pandangan Kak Yong Hwa terhadapku, aku hanya ingin berbicara dengannya siang ini. Titik!
Aigoo (aduh), kau cerewet sekali! Baiklah, baiklah!”
Jinjja (benarkah)? Janji ya?!”
“Iya, aku janji.” Kata Kak Yong Hwa sedikit enggan yang kubalas dengan senyuman riang :D
♥♥♥
Aku mengetuk – ngetukkan jariku telunjukku ke meja. Ini sudah jam makan siang, aku dan Kak Yong Hwa memutuskan untuk makan siang di kafe dekat toko. Kami sedang menunggu pesanan, aku resah sekali. Aku tidak tahu harus berbicara dari mana, sedangkan sampai sekarang Min Ho belum muncul juga. Kulirik Kak Yong Hwa, wajahnya datar dan ia hanya mengedarkan pandangan ke sekeliling jalan raya. Ya, kami memilih bagian outdoor kafe untuk bisa merasakan angin musim semi yang berhembus.
Ya (hei)! Lee Min Ho, kau kemana saja?’ aku menggerutu dalam hati. Tiba – tiba ponselku berdering, ‘Ini dia orangnya,’ pikirku dalam hati begitu melihat nama yang tertera di layar. Aku berjalan menjauhi Kak Yong Hwa agar bisa lebih leluasa berbicara dengan Min Ho di telepon. Ku jawab panggilan itu, namun kata – kataku sudah didahului oleh celotehannya.
Chagi (sayang), ban mobilku bocor. Kurasa aku melindas paku, mobil itu sudah ku taruh dibengkel. Sekarang aku sedang didalam subway. Aku akan terlambat datang. Maaf. Kau bicara saja dulu dengan hyung (panggilan laki – laki untuk laki – laki yang lebih tua). Ceritakan semua padaku nanti ya?!” rasa kekesalanku hilang begitu mendengar kata pertama yang keluar dari mulutnya. Chagi (sayang). Dia tidak pernah memanggilku chagi sebelumnya. Namun, aku tetap beracting seolah aku benar- benar jengkel padanya.
“Hmm. Arasseo (aku mengerti).” Kataku singkat. Setelah itu hening, tiada yang bersuara. Sedetik kemudian,
Chagi, saranghaeyo (sayang, aku mencintaimu).” Deg! Sungguh aku kaget. Ini memang bukan pertama kalinya dia mengucapkan kata itu. Tapi, entah mengapa kali ini seolah berbeda. Suaranya terdengar serius dan dalam. Bagaikan hati yang berbicara, benar – benar tulus.
Saranghae do (aku juga mencintaimu).” jawabku sambil tersenyum, walau ku tahu Min Ho tidak tahu aku sedang melakukannya. Sesaat kemudian hening kembali. Lalu sambungan terputus. Walau aku tahu ia sudah tidak bisa mendengarku, tapi aku tetap ingin mengucapkan ini. Sangat ingin mengucapkan kata – kata ini padanya,
“Min Ho-ya, nomu nomu saranghaeyo (Min Ho, aku sangat sangat mencintaimu).” Kataku pada keheningan.
♥♥♥
“Hmm, kakak. Aku, aku mau membicarakan sesuatu dengan mu.” Ujarku memulai pembicaraan. Sekarang didepan kami sudah tersaji makanan pesanan kami. Kak Yong Hwa makan dengan santai. Sementara aku kehilangan selera untuk menyentuh makanan – makanan itu.
“Tentang apa? Apa ada masalah di toko?”
O, ani (bukan). Bukan tentang toko.”
“Lalu?”
“Hmm, tentang kita.”
“Kita?” sekarang ia sudah berhenti mengunyah, namun tatapannya terfokus pada makanan di hadapannya.
O (iya). Kau dan aku.” Jawab ku gugup. Seandainya ada Min Ho yang menggenggam tangan ku disini, mungkin aku tidak akan segugup sekarang.
“Apakah masih ada kata ‘kita’ sekarang?” Kak Yong Hwa memalingkan wajahnya kepadaku. Tatapannya keras, namun bila dilihat lebih jauh lagi tatapan itu justru sangat lembut dan sarat akan kesedihan. Aku sungguh tidak mengerti maksud dari tatapan itu.
“Apa maksudmu?”
“Tidak bisa. Ternyata kau memang tidak bisa mengerti,” kata Kak Yong Hwa tersenyum sinis. Lalu kembali memalingkan wajahnya dariku. Kata – katanya seolah di tujukan untuk dirinya sendiri.
“Kakak,” panggilku lembut.
“Kau memang tidak bisa mengerti!” kata Kak Yong Hwa tiba – tiba dengan nada sedikit meninggi. Ia menyentakkan sendok yang dipegangnya ke meja dan membuatku kaget. Jantungku berdegup kencang. Aku diam saja, hanya memperhatikan ia yang terlihat penuh dengan emosi.
“Kau memang tidak bisa mengerti,” ulang nya lagi. Namun dengan suara yang jauh lebih rendah sambil menundukkan kepalanya. Aku ikut menundukkan kepalaku. Aku berusaha berpikir keras. Sebenarnya apa? Hal apa yang tidak bisa ku mengerti? Apa yang tidak bisa ku mengerti darinya?
“Kakak, maafkan aku jika memang ada hal yang tidak ku mengerti. Tapi, aku sungguh tidak tahu hal apa itu.” Kak Yong Hwa tidak menjawab.
“Kakak, hal apa yang tidak ku mengerti darimu?” tanya ku lagi.
“Apakah tidak terlihat? Apa sama sekali tidak terlihat?” aku menggeleng pelan.
“Sebenarnya apa yang tidak bisa terlihat olehku, Kak?” Kak Yong Hwa terdiam sekali lagi. Sesaat kemudian, aku tersentak sekali begitu mendengar jawaban yang meluncur dari mulutnya.
“Perasaanku terhadapmu. Kau tidak bisa melihatnya kan?”
“Kakak, aku tidak mengerti maksud dari ucapan mu.”
“Kau tidak sadar bukan bahwa aku menyukaimu? Sangat sangat menyukaimu. Kau tidak tahu kan bagaimana perasaan ku saat di Taman Bunga waktu kau bilang kau datang untuk berkencan? Padahal hari itu aku ingin menyatakan perasaan yang telah lama ku pendam. Hari itu, aku menyuruh Ji Eun datang untuk meminta pendapatnya bagaimana  harus ku katakan perasaan ku terhadapmu. Namun pada akhirnya, aku harus mengatakan bahwa aku sedang berkencan dengannya untuk menutupi rencana ku saat kau bilang kau akan berkencan.” Mataku berkaca – kaca. Kata – katanya benar – benar sulit ku cerna. Namun aku tetap diam.
“Kau tidak tahu bagaimana sulitnya aku menahan rindu saat beberapa lama kau menjauhiku. Kau tidak tahu juga betapa sakitnya aku melihat kau kemudian bersikap hangat terhadapku, namun setelah itu bersikap lebih hangat lagi terhadap Min Ho. Iya kan? Kau tidak tahu semua itu kan? Dan apa kau tahu betapa sulitnya aku menyebut namamu dalam gelap, sementara dadaku terasa sesak setiap kali ku lihat kau bersama dengan Min Ho. Kau tidak pernah tahu itu semua. Bukankah begitu?” Dia menundukkan kepalanya dan terdiam beberapa saat. Lalu kemudian melanjutkan, “Hye Sun-a, berikan aku kesempatan. Satu kesempatan saja untuk memilikimu karena aku begitu menyayangimu.” Pandanganku tidak terlepas dari Kak Yong Hwa, semua fokus perhatianku tertuju padanya. Tidak ku sangka dia akan menyatakan perasaannya seperti ini.
Aku kemudian menunduk. Air mata jatuh bergulir di pipiku. Aku sedikit terisak. Bagaimana bisa aku membiarkannya menanggung sakit sendirian? Bagaimana bisa? Betapa bodohnya aku yang tidak mengetahui semua hal itu. Kakak maafkan aku.
“Kakak, kenapa kau terlambat? Kenapa kau sangat terlambat? Kenapa?” Aku menarik – narik kerah baju Kak Yong Hwa. Aku menceritakan kisah yang sebenarnya, bahwa pada awalnya aku menyukainya. Lalu pada awalnya juga aku dan Min Ho hanya berpura – pura berkencan sampai sekarang yang aku memang tulus menyayangi Min Ho. Aku melihat mata Kak Yong Hwa berkaca – kaca, ia pun kembali menunduk dan terdiam cukup lama.
“Kakak aku benar – benar minta maaf. Tapi sekarang memang hanya dia yang ku sayangi. Hanya Min Ho yang ada di hatiku sekarang.” Kak Yong Hwa mengangkat wajahnya. Pandangannya sulit ku terjemahkan.
♥♥♥
Di perjalanan pulang menuju toko, tidak ada yang bersuara. Kami berdua masih sama – sama canggung. Teringat lagi olehku kata – kata Kak Yong Hwa yang melegakan itu,
“Hye Sun-a, ku akui hatiku masih benar – benar sakit. Tapi itu tak masalah bagiku. Jika memang benar kau sangat mencintainya, maka aku tidak bisa berbuat apapun lagi. Karena kau tahu? Cinta itu sederhana. Asal kau bahagia, aku pun turut bahagia. Tapi, izinkan aku tetap menjadi kakakmu. Aku akan menjagamu dengan sepenih hati. Dan kalau suatu hari Min Ho menyakitimu, maka ia akan merasakan pukulanku. Tetaplah menjadi seperti sebelumnya, bersikaplah seolah tak pernah ada masalah diantara kita. Dan Hye Sun-a, izinkan aku mengatakan hal ini untuk yang terakhir kalinya. Saranghaeyo, Hye Sun-a.” Aku tersenyum mengingat kata – kata itu. Kak Yong Hwa, dia selalu dewasa dalam menyikapi berbagai masalah. Termasuk dalam masalah percintaan, masalah yang tak jarang mengubah seseorang menjadi super kekanak – kanakkan.
“Kau jangan tersenyum sendiri. Aku khawatir orang lain akan menganggapmu tidak waras.” Akhirnya Kak Yong Hwa bersuara juga. Jarak kami menuju toko sudah tidak jauh lagi. Kira –kira bisa sampai dalam 10 menit lagi dengan berjalan pelan seperti ini.
“Aku memang sudah tidak waras. Kakak puas?” jawabku seolah terdengar jengkel, namun setelah itu aku kembali tersenyum, begitu juga dengan Kak Yong Hwa.
Namun, sekitar 15 langkah didepan kami, ada banyak orang berkerubung di pinggir jalan. Ada bus yang sedang berhenti juga. Aku penasaran. Kak Yong Hwa dan aku pun menghampiri massa yang berkerubung itu. Ada seorang paman yang sedang berbicara dengan orang lain, aku berusaha mendengar pembicaraan mereka.
“Tadi dia datang dari arah kafe diujung jalan itu. Jalannya nampak tergesa – gesa dan tidak memperhatikan sekitar. Ia pun menyebrang jalan dengan tiba – tiba, padahal saat itu masih lampu hijau. Dia tidak melihat bus yang melaju kencang ini.” Oohh, ada kecelakaan rupanya.
Aku dan Kak Yong Hwa berniat melanjutkan berjalan ketika mendengar suara dering telepon yang sangat ku kenal. Aku mencari – cari disekitar kerumunan orang. Tapi aku tidak menemukannya. Aku pun bergerak maju menembus orang – orang yang berdiri ketika ku dengar seseorang berkata,
“Hei, ponsel laki – laki ini berbunyi. Apa yang harus kita lakukan?” dengan jantung yang berdegup tak keruan, aku terus meringsek maju menuju ruang kosong ditengah kerumunan. Lututku lemas seketika dan aku pun jatuh terduduk ketika melihat Min Ho tergeletak bersimbah darah tak sadarkan diri.
Aku merangkak menghampiri tubuh Min Ho. Lututku benar – benar lemas dan tidak akan kuat menopang berat badanku seandainya kupaksakan untuk berdiri. Kuangkat kepala penuh darahnya, dan kuletakkan di pangkuanku. Ku usap pipinya pelan, berharap dia merasakan sentuhan itu dan kemudian membuka matanya. Tapi tak ada respon yang aku terima. Bibirku serasa kelu, sulit sekali mengatakan sesuatu sekalipun hanya untuk memanggil namanya. Hanya air mata yang membasahi pipiku yang mampu mengekspresikan perasaan campur aduk yang kurasakan ini.
Ku dengar Kak Yong Hwa bertanya pada seseorang didekat kami. Orang itu menjawab, “Ambulance sedang menuju kesini.”
Kupaksakan untuk berbicara walaupun bibirku teras sangat berat dan dadaku sesak. “Min Ho-ya,” hanya kata itu yang keluar dari mulutku lalu langsung disusul isakan tangis yang tak bisa ku tahan lagi.
“Min Ho-ya. Chagiya, nomu nomu sa, saranghaeyo (sayang, aku sangat sangat mencintaimu).” Kataku terbata – bata pada tubuh yang terkulai itu.
♥♥♥

Last Love Chapter 3



Tidak terasa, sudah 2 minggu aku bersama dengan Min Ho. Sudah 2 minggu ia berusaha menepati janjinya untuk membantuku melupakan perasaan ku terhadap Kak Yong Hwa. Sahabat – sahabat ku pun sangat mendukung usaha Min ho itu. Mereka berkata, perlahan – lahan keceriaanku kembali. Tidak terlalu sering terlihat murung seperti pada masa – masa awal menerima kenyataan menyedihkan itu.
Ku rasa mereka benar. Aku bisa merasakan diriku tersenyum dan tertawa pada Min Ho. Seiring berjalannya waktu, aku bisa lebih mengenalnya. Dia adalah orang yang baik –tentu saja-, dia perhatian, dan dia benar – benar menjaga janjinya. Sejak banyak menghabiskan waktu dengannya, aku jadi lupa pada Kak Yong Hwa. Bukan berarti benar – benar melupakannya, hanya saja aku lupa untuk memikirkannya.
Min Ho juga bilang, bahwa aku jangan terlalu sering bertemu dengan Kak Yong Hwa. Dia bilang, itu berguna untuk membiasakan diriku hidup tanpanya. Atas sarannya itu, aku pun memutuskan untuk memangkas hari kerja part time ku di toko souvenir Kak Yong Hwa. Sekarang hanya 3 hari dalam seminggu aku bekerja. Hari senin, selasa, dan kamis. Itu pun beberapa kali aku izin tidak masuk.
Namun yang ku sesalkan, hubungan ku dengan Kak Yong Hwa jadi semakin jauh. Kami sudah tidak seperti dulu lagi. Saat bertemu dengannya, wajahnya lebih sering menunjukkan ekspresi datar dan terkadang malah dingin. Saat aku masuk kerja, ia lebih memilih tidak datang ke toko dengan alasan kuliah atau mengerjakan tugas. Saat kami berada di toko bersama pun, jarang sekali ada pembicaraan diantara kami. Kalaupun ada, itu hanya mengenai toko, penjualan dan barang – barang. Tidak lebih. Walaupun sedih, tapi aku tidak boleh patah semangat. Aku harus bisa menghilangkan perasaan ku terhadap Kak Yong Hwa. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan menghancurkan tembok penghalang yang seolah membatasi kami suatu hari nanti. Suatu hari saat aku sudah bisa menganggapnya hanya sebagai kakak. Ya, aku pasti bisa melakukannya!
♥♥♥
Musim dingin hampir berakhir. Udara mulai menghangat pertanda musim semi akan segera tiba. Pohon – pohon sudah mulai menampakkan daunnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Aku benar – benar berharap musim semi cepat datang menggantikan musim dingin, seiring dengan kehangatan diantara aku dan Kak Yong Hwa yang bersedia menggantikan suasana dingin diantara kami. Aku sangat mengharapkan hal itu.
Hari ini adalah hari minggu. Aku tidak sekolah dan juga tidak bekerja. Namun pagi – pagi sekali Min Ho sudah menjemputku di depan rumah. Aku membuka pintu dengan perasaan kesal karena aku dipaksa bangun pagi – pagi olehnya, namun wajah sinisku dibalas dengan senyuman hangat oleh laki – laki itu. Perlahan kejengkelan di hati ku pun menguap melihat senyum hangat nan manisnya itu. Ups! Apa kataku tadi? Manis?! Aku pasti sudah gila!
“Tersenyumlah!” bujuk Min ho sambil meletakkan tangannya dikedua bahu ku. Aku pun tersenyum – dengan senyum yang dipaksakan – sebentar.
Masih dengan senyum menghiasi wajahnya, Min ho membukakan pintu mobil untuk ku. Aku hanya tertegun aneh memandangnya. Sebelumnya, ia tak pernah membukakan pintu mobil untukku. Jujur, ini yang pertama kali.
“Ada apa lagi?” tanyanya heran, “Ayo masuk!” Ia mendorong tubuhku masuk kedalam mobil sambil tertawa kecil. Mobil Min Ho pun meluncur di jalanan yang cukup lengang.
Ada apa sih dengan dia? Aneh sekali hari ini. Pagi – pagi sudah menjemputku, dan membukakan pintu mobil untukku. Dan ia juga tersenyum. Bukan, bukannya dia tak pernah tersenyum. Hanya saja senyum kali ini sepertinya berbeda. Senyum kali ini benar- benar terlihat tulus. Aku melirik kearah Min Ho yang sedang berkonsentrasi menyetir. Oh tidak! Dia masih tersenyum samar. Sebenarnya apa yang membuat dia begitu senang hari ini? Aku masih memandanginya saat tiba – tiba ia menengok ke arah ku.
“Kau kenapa memandangiku terus? Aku bisa kehilangan konsentrasi.” Ujarnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Senyum yang manis. Apa? Lagi – lagi aku berpikiran seperti itu?  Aku segera mengalihkan pandangan sambil mendengus. Namun tidak bisa kupungkiri bahwa jantungku berdegup kencang melihatnya tersenyum padaku. Dari ekor mataku, aku tahu Min Ho sesekali menatapku, ia masih menunggu jawabanku ternyata.
“Se.. sebenarnya kita mau pergi kemana?” tanyaku sedikit gugup. Kenapa aku harus gugup? Entahlah.
“Nanti kau juga akan tahu.” Katanya sambil melihat ke arahku dan tersenyum. Tersenyum manis. Ah! Tidak! Jangan tersenyum seperti itu padaku! >_<
♥♥♥
“Kenapa kita kesini?” kataku cuek sambil memandang keadaan sekitar.
“Nanti ku ceritakan sambil jalan. Ayo!” tiba – tiba Min Ho menarik tanganku. Aku merasa seperti sedang berkencan. Berjalan bergandengan sambil melihat – lihat bunga. Iya, ini adalah Taman Bunga tempat aku bertemu dengannya untuk kedua kalinya.
“Kau mau tahu mengapa aku mau membantu mu untuk melupakan cinta pertama mu?” ujar Min Ho membuyarkan lamunanku.
“Hm.”
“Aku pernah merasakan hal yang sama sepertimu. Aku tidak mau orang lain sampai mengalami hal yang sama denganku.”
“Maksudmu?”
“Han Jae. Dia adalah teman masa kecilku dan sekaligus cinta pertamaku. Kami bersahabat sejak SD hingga dewasa. Kami tumbuh bersama – sama. Hingga saat duduk di kelas 2 SMA, aku berani menyatakan perasaanku padanya. Awalnya aku takut dia menolakku dan hubungan kami menjadi rusak, tapi kemudian ia berkata bahwa ia juga menyukai ku. Akhirnya kami menjadi pasangan yang sangat berbahagia.”
“Lalu dimana ia sekarang?” tanyaku. Kami sekarang berhenti didepan hamparan bunga sakura. Indahnya.
“1 tahun yang lalu saat kami baru sama – sama masuk di universitas tempatku kuliah sekarang, waktu merenggutnya dariku. Aku –yang meneleponnya untuk memberi tahu bahwa kami berdua diterima di universitas favorit itu- tidak tahu kalau ia sedang menyetir. Karena tidak fokus pada jalanan, mobilnya menabrak kontainer dan ia meninggal ditempat.” Min Ho berhenti sejenak, mungkin ia sedih mengingat kejadian itu. Aku mengusap – usap pundaknya.
“Aku tidak apa – apa.” Ujarnya sambil tersenyum. Lalu ia pun melanjutkan, “Aku masih bisa mendengar suara benturan keras itu, suara teriakkannya waktu itu, suara lemah meminta tolongnya, rintihannya, dan ucapannya yang terakhir ‘Saranghae’.” Kata Min Ho mengulangi ucapan Han Jae.
“Sejak setelah kremasinya, aku seperti kehilangan cahaya hidupku. Aku menutup diri untuk dunia luar. Aku seperti orang hilang ingatan. Selain keluarga, aku tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain lagi. Aku hanya mengurung diri di kamar setiap harinya. Benar- benar seperti orang gila. Aku juga tidak ke kampus selama hampir 4 bulan. Yang kupikirkan hanya Han Jae. Dan dalam tidurku aku selalu menangis memanggil – manggil Han Jae.
Namun suatu malam, aku bermimpi bertemu dengan Han Jae. Di dalam mimpi itu, ia tersenyum padaku dan menghampiriku. Aku pun memeluknya dengan erat seakan tidak ingin kulepaskan lagi. Namun Han Jae melepaskan pelukan ku. Ia pun menarikku ke sebuah kursi. Kami duduk disana. Aku memegang tangan Han Jae. Han Jae mengusap wajahku. Dia bilang aku sangat kurus. Dia pun menasehatiku untuk kembali membuka diri. Untuk berhenti mengurung diri di kamar dan hanya memikirkannya. Untuk kembali berkomunikasi dengan dunia luar, untuk melanjutkan kuliah, dan untuk tetap hidup.  Dia bilang dia sedih melihatku hidup seperti zombie. Dia pun mengatakan bahwa aku kelak akan menemukan alasan baru untuk bertahan hidup.”
“Mengharukan.” Ujarku singkat. Tapi ceritanya memang sungguh mengharukan. Tak terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku.
“Itulah alasanku membantumu. Aku tidak ingin ada orang lain yang hidup seperti zombie karena cinta pertamanya. Oh iya, Taman Bunga ini adalah tempat favorit Han Jae. Dan bunga sakura adalah bunga kesukaannya. Waktu itu, saat kita bertemu disini, adalah hari ulang tahun Han Jae. Aku datang untuk mengenangnya.”
“Kekuatan cinta pertama memang begitu besar. Bahkan aku pernah dengar bahwa ‘First Love Never Die’.” Ujarku menimpali.
“Benar. Cinta pertama tidak akan pernah mati, tidak akan pernah terlupa. Namun kita harus ingat, cinta pertama bukan segalanya. Cinta pertama tidak selalu menjadi takdir kita. Cinta pertama bukan penentu pasangan hidup kita. Jangan karena cinta pertama yang hilang, kita melewatkan cinta yang ditawarkan oleh orang lain. Jangan karena cinta pertama yang hilang, kita menyia – nyiakan cinta yang datang kepada kita. Jangan karena cinta pertama yang hilang kita menutup hati untuk cinta yang lain. Cinta pertama memang indah, namun cinta pertama bukan segalanya. Yang terpenting adalah cinta sekarang dan cinta terakhir. Jangan menyia – nyiakan orang yang mencintai kita hanya karena cinta pertama yang telah hilang.”
“Kau benar. Terima kasih sudah mengajariku arti cinta.” Aku tersenyum lebar kepada Min Ho. Dia benar – benar sudah membuka mataku tentang arti cinta pertama. Sambil memandangi bunga sakura yang bergoyang tertiup angin, aku pun mengeluarkan semua yang menyesakkan di dalam dada.
“KAK YONG HWA!! SEKARANG AKU SUDAH MENGERTI ARTI CINTA PERTAMA. AKU SUDAH BISA MERELAKAN MU DENGAN ORANG LAIN. BERBAHAGIALAH! AKU JANJI AKAN MENJADI ADIK YANG BAIK! SELAMAT TINGGAL KAK YONG HWA, CINTA PERTAMAKU!” Rupanya teriakkanku membuat beberapa orang yang lewat memandangi kami. Namun Min Ho bukannya marah ataupun mengehentikanku, ia malah memelukku. Erat sekali. Aku tahu ia tersenyum. Aku pun tersenyum, rasanya aku sudah benar – benar bisa merelakan Kak Yong Hwa.
Gomawo (terima kasih).” Ujarku
“Untuk apa?”
“Untuk menepati janji mu padaku.”
“Aku tidak mungkin mengingkarinya.”
“Aku tahu itu.”
“Hye Sun-a.” Panggilnya.
“Ya?”
“Han Jae benar.”
“Tentang apa?”
“Aku menemukan alasan baru untuk tetap bertahan hidup.”
Geurae (benarkah)? Cukhahae (selamat)!”
“Kau.”
“Maksudmu?”
“Kau alasan baru ku untuk tetap hidup.” Kata – katanya bagaikan petir yang menyambarku. Aku pun melepaskan pelukannya.
“Aku tidak mengerti.”
“Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu, bahkan mungkin aku mencintaimu. Entah kapan perasaan ini pertama kali muncul, mungkin semuanya karena waktu kebersamaan kita. Dan aku baru menyadarinya akhir – akhir ini. Kau berbeda. Kau wanita yang istimewa. Satu hari akan sulit ku lalui jika tidak melihatmu, bertemu dengan mu, dan mendengar celotehan mu. Hye Sun-a, izinkan aku menjadi pengganti cinta pertamamu.” Aku terdiam. Ini begitu mendadak. Walau ku akui ia tampan, senyumnya manis dan sangat baik hati, namun tetap saja aku harus berpikir lagi. Tapi aku mengingat kata – katanya bahwa jangan menyia – nyiakan orang yang mencintai kita membuatku bersimpati padanya. Walaupun sebenarya cuek, tapi aku tidak bisa memungkiri bahwa aku bahagia pergi bersamanya dan berada didekatnya. Apakah aku...
“Hye Sun-a, bagaimana?”
“Baiklah. Aku akan memberimu kesempatan untuk menjadi pengganti cinta pertamaku.” Ujar ku sambil tersenyum.
Jinjja (benakah)? Gomawo (terima kasih).” Min Ho terlihat gembira, ia pun kembali memelukku. “Aku janji, aku akan membuatmu bahagia. Aku janji akan selalu berada disampingmu, menjagamu, dan mencintaimu sampai akhir hayatku.”
“Kau harus menepati janji itu!”
“Tentu saja. Saranghae (aku mencintaimu).”
Saranghae do (aku juga mencintaimu).”
♥♥♥
Musim semi telah tiba, aku menjalani rutinitasku sehari – hari seperti biasa. Hari kerjaku pun sudah kembali normal, dan aku juga jarang bolos kerja. Kegiatan di sekolah pun lancar – lancar saja, tugas tidak terlalu banyak menumpuk. Hari ini, aku, Eun Sa, Chen Ji, dan Han Mi berencana mengerjakan tugas biologi bersama. Sepulang sekolah, kami berjalan bersama menuju rumah Eun Sa yang memang tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya perlu 10 menit berjalan kaki santai agar bisa mencapai rumahnya. Di perjalanan, kami mengobrol sambil bersenda gurau. Seru sekali ^-^
“Tadi aku bertemu dengannya di kantin saat aku sedang meminum lemon juice. Dia berjalan sambil makan roti. Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya?” kami pun menggeleng seketika, “Dia menyapaku, sambil mengangkat sebelah tangannya, ‘Halo Eun Sa,’ begitu katanya.” Ujar Eun Sa bersemangat menirukan gaya laki – laki yang ia idolakan menyapanya. Han Mi dan Chen ji pun bersorak kegirangan. Lalu mereka tertawa – tawa dan merangkul Eun Sa.
Aku hanya tersenyum melihatnya. Aku pandangi mereka yang berjalan agak cepat dari belakang. Betapa senangnya melihat orang – orang yang kita sayangi tersenyum bahagia. Aku senang setiap hari bisa melihat Eun Sa, Chen Ji, Han Mi dan Min Ho tersenyum. Rasanya aku bisa merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan. Tapi masih ada 1 orang yang belum bisa aku lihat kebahagiannya, wajah cerianya, dan senyum nya.
Kak Yong Hwa masih seperti sebelumnya. Dia masih bersikap dingin padaku meskipun aku selalu berusaha bersikap hangat padanya. Aku hanya ingin kami bisa berteman seperti dulu lagi. Tidak seperti sekarang, aku hanya bisa melihat tatapan sinis Kak Yong Hwa saat aku meninggalkan toko. Tapi untungnya, sepulang kerja selalu ada Min Ho yang menunggu di depan toko dengan senyum manisnya. Setidaknya, senyuman itu bisa menghapus tatapan sinis Kak Yong Hwa dari pikiranku. Setidaknya, senyuman itu bisa mencairkan hatiku yang beku karena sikap dingin Kak Yong Hwa. Kakak, aku tidak bisa memahamimu. Aku tidak bisa mengartikan sikap dingin mu, aku tidak bisa membaca sesuatu yang tersirat dari tatapan sinis mu, aku tidak mengenalmu lagi.
Ya (hei)! Hye Sun-a! Apa yang sedang kau pikirkan?” teriak Eun sa yang sudah berada cukup jauh di depanku.
“Kau berjalan lebih lambat dari siput, kau tahu?” kali ini Chen Ji yang memarahiku.
“Sudah. Ayo, Cepat kesini!” panggil Han Mi.
Ne (iya),” jawabku dengan suara agak keras agar mereka bisa mendengarnya. Aku pun berlari – lari kecil menghampiri mereka. Belum lama aku berlari, tiba – tiba ponsel ku bergetar. Aku pun berhenti sejenak untuk mengambil ponsel itu dari saku ku. Min Ho menelepon, aku angkat kemudian aku kembali berlari.
Yoboseyo (halo)?
“Kau dimana?”
“Aku sedang di jalan menuju rumah Eun Sa. Wae (kenapa)?” aku sudah sampai di dekat Eun Sa dan yang lain.
“Kak Min Ho?” tanya Chen Ji memastikan. Aku hanya mengangguk, dan kami kembali berjalan pelan bersama – sama.
“Baiklah, aku antar kalau begitu.” Ujar Min Ho dari seberang sana.
“Ah, tidak usah. Sebentar lagi juga sampai.”
“Tidak apa – apa. Biar aku antar saja.”
“Tidak perlu, Eun Sa bilang kau tidak usah datang. Kami akan mengerjakan tugas biologi bersama, nanti kau akan bosan. Jadi tidak perlu datang.” Ujar ku berbohong mengenai perkataan Eun Sa.
“Bilang pada Eun Sa aku akan membelikan soda.”
“Kalau begitu kau boleh datang!” Teriak Eun Sa diponselku, iya bisa mendengar ucapan Min Ho karena memang volume suaranya agak besar.
“Ha-ha! Baiklah kalau begitu. Cepat naik ke mobil!”
Mwo (apa)?” Aku tersentak. Ketika kami membalikkan badan sudah ada sebuah mobil yang berjalan lambat di belakang kami. Pengemudinya memberi isyarat dengan tangannya agar kami masuk kedalam mobil itu.
“Kenapa tiba – tiba sudah sampai?” tanyaku setelah duduk disamping Min Ho.
“Aku melihat kalian. Jadi aku ikuti saja.”
O, geurae (iya benarkah)?” Aku kembali teringat pada Kak Yong Hwa. Dulu ia juga pernah menjemput ku di sekolah saat kami kelas 2 SMA.  Pada waktu itu dia baru saja lulus (aku dan Kak Yong Hwa berbeda 2 tahun, sama seperti aku dan Min Ho. Dan pertama kali aku mengenal Kak Yong Hwa adalah saat aku kelas 1 SMA. Saat acara sebuah konser tahunan diselenggarakan di sekolah, dan aku terjatuh ditengah kerumunan orang yang melompat – lompat mengikuti alunan musik band. Kak Yong Hwa lah yang menolongku. Sejak saat itu kami cukup dekat, dan aku menyukainya) dan saat itu Eun Sa, Chen Ji dan Han Mi berteriak histeris juga – sama seperti reaksi mereka terhadap Eun Sa tadi – sampai aku kerepotan menutup mulut mereka agar Kak Yong Hwa tidak curiga. Tiba – tiba aku merasakan sentuhan lembut ditanganku. Aku pun mengalihkan pandangan ke Min Ho.
“Kak Yong Hwa lagi?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia tahu aku masih sering memikirkan sikap Kak Yong Hwa yang tidak kunjung baik padaku.
“Besok, bicaralah dengannya. Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan. Bicarakan semua yang ingin kau bicarakan padanya. Semuanya harus menjadi jelas dengan alasan yang kuat.” Lalu Min Ho mengeratkan genggamannya ditanganku, walau tatapannya tetap terfokus ke jalanan didepan kami. Saat aku melirik ke bangku belakang, Eun Sa, Chen Ji dan Han Mi tersenyum – senyum aneh menatapaku. Dengan tatapan dan sinar mata mereka, aku tahu bahwa mereka tengah mengejekku dengan Min Ho.
“Diam kalian! Jangan menatapku seperti itu!” omelku. Mereka ber – 3 malah tertawa lepas. Min Ho pun ikut tertawa, meskipun masih dengan tatapan terfokus ke jalanan. Senang sekali melihatnya tertawa.
“Tertawalah seperti ini setiap hari, Min Ho-ya. Tertawalah seperti ini untukku.” Bisikku dalam hati
♥♥♥