Purple Bow Tie

Selasa, 11 Juni 2013

Arabesque Chapter 2



Takeda sensei meminta ku untuk membawakan buku tugas teman – teman sekelas ku ke mejanya di ruang guru. Aku menuruni tangga dengan hati – hati. Sulit untuk melihat anak – anak tangga tersebut karena terhalang oleh buku yang bertumpuk – tumpuk ini. Tinggal beberapa anak tangga lagi yang harus ku lalui ketika ku rasakan sesuatu yang licin di bawah sepatuku. Mungkin lantai anak tangga ini basah. Aku sulit mengendalikan tubuhku, dan akhirnya aku merasakan tubuhku terjerembab ke depan. Sesaat, aku berpikir akan menabrak lantai yang keras, namun dugaanku salah. Aku jatuh tepat diatas sesuatu yang... empuk?
“Aawwww.” Terdengar erangan keras dibawahku. Aku yang masih dalam keadaan shocked pun segera bangkit. Saat aku berdiri, aku melihat buku tugas teman – teman ku berserakan di lantai, beberapa anak yang berada di koridor menatapku aneh, dan... seorang laki – laki terlentang di lantai. Oh, tidak! Laki – laki ini adalah orang yang sama dengan yang ku temui di aula pementasan kemarin.
Gomen, gomen (maaf, maaf).” Hanya kata itu yang bisa ku ucapkan sambil mengulurkan tanganku ke arah laki – laki itu. Laki – laki itu menatapku dengan pandangan sinis lalu menepis tanganku. Ia pun berdiri dengan usaha sendiri. Tiba – tiba Takeda sensei muncul di hadapanku.
“Kalian baik – baik saja?”
Aku mengangguk. “Sensei (guru), maaf aku menjatuhkan buku – bukunya.” Kataku sambil membungkukkan badan.
“Tidak apa – apa. Dan kalau begitu, Kiyomizu pergilah bersama Ishikawa ke ruang kesehatan.”
Hai, sensei (iya, guru).” Kata laki – laki yang di panggil Kiyomizu oleh Takeda sensei itu. Laki – laki itu pun beranjak pergi.
“Kawamoto, tolong bereskan buku ini dan bawa ke meja saya.” Ujar Takeda sensei lagi kepada seorang laki – laki yang tengah memperhatikan ke arah kami. Laki – laki itu pun mulai membereskan buku yang berserakan, sementara aku berlari untuk mengikuti Kiyomizu ke ruang kesehatan.
Kiyomizu pun berhenti di depan sebuah ruangan dan masuk ke dalamnya. Ini bukan ruang kesehatan, tapi ini adalah aula pementasan. Aku sedikit ragu, lalu kuputuskan untuk masuk agar aku bisa meminta maaf lagi kepada Kiyomizu. Kali ini aku lihat Kiyomizu duduk di kursi penonton, tidak di kursi piano seperti saat pertama kali aku melihatnya. Aku pun duduk di sampingnya.
“Kiyomizu – kun (panggilan untuk laki – laki yang lebih muda, atau yang sudah akrab), gomen ne (Kiyomizu, maaf ya).” Kataku memulai pembicaraan.
“Aku adalah senpai (kakak kelas) mu. Aku di kelas 3 A.”
Ee? Gomen ne Kiyomizu senpai (hah? maaf ya kakak Kiyomizu).” Aku baru tahu bahwa dia adalah senpai ku.
“Ah, terdengar lebih aneh. Tidak perlu memanggilku dengan senpai. Aku Keita Kiyomizu, panggil saja aku Keita – kun.” Aku mengangguk – angguk menanggapi perkatannya. Sejenak tidak ada yang berbicara, ruangan yang besar ini menjadi bertambah hening.
“Kau tidak bermain piano lagi?” aku berbasa – basi membuka pembicaraan. Tapi aku tidak mendengar jawaban dari Keita. Aku menatapnya sejenak. Wajahnya menegang. Tangannya pun mencengkeram pegangan kursi dengan erat. Aku tidak tahu apa yang membuat sikap nya berubah seperti itu. Sebelumnya ia baik – baik saja.
“Keita – kun,” panggilku. Keita seakan baru tersadar. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, ia terlihat sedikit lebih santai sekarang.
“Aku tidak akan bermain musik lagi.” Jawabnya terlihat murung.
“Kenapa?” Aku kaget mendengar jawabannya.
“Sejak kecil aku sudah belajar musik klasik. Namun 2 tahun yang lalu ayahku menyuruhku untuk berhenti mempelajari musik klasik, padahal ia tahu aku ingin sekali menjadi pianis terkenal. Ia bilang kalau musik tidak akan membantu dalam bisnis keluarga kami. Kemudian ia menyuruhku untuk fokus mempelajari bisnis. Tadinya ia sempat memaksaku untuk pindah ke sekolah bisnis di Eropa, tapi aku menolak. Dan akhirnya aku berjanji kalau aku tidak akan bermain musik lagi, setelah itu ayah ku baru berhenti memaksaku.” Aku sempat tertegun mendengar penuturannya. Orang yang beberapa saat lalu menepis tangan ku dibawah tangga dan memandangku dengan tatapan sinis ini ternyata punya kehidupan yang cukup... menyentuh ku rasa.
“Sebuah mimpi dan harapan tidak akan terhenti hanya karena seseorang memaksa kita untuk menghentikannya. Dan aku yakin kau masih memegang mimpi menjadi pianis itu dengan erat, walau kau tidak yakin dengan apa yang kau pertahankan itu. Menurutku, kau harus tetap percaya pada mimpi itu dan membuktikan pada ayah mu mengenai kemampuan mu itu. Ayah mu pasti akan tergugah karena keyakinan mu akan mimpi mu itu. Dan bukan tidak mungkin ayah mu akan mengizinkan kau melanjutkan mimpi menjadi pianis mu itu lagi.”
“Aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh memaksakan keinginan ku sendiri. Aku... aku harus membalas budi kepada keluarga ku.” Jawab Keita tetap murung.
“Keita, tidak ada orang tua yang mengharapkan balasan dari anaknya.”
“Tapi aku berbeda! Aku bukan anak kandung mereka!” Deg! Satu lagi fakta kehidupan Keita yang membuat ku bersimpati padanya.
“Mereka mengangkat ku sejak aku masih kecil. Mereka menghidupiku dengan kehidupan yang sangat layak. Mereka menyekolahkan ku, memenuhi semua kebutuhan ku, dan mereka lah yang memperkenalkan aku dengan musik klasik. Aku harus tahu diri! Setidaknya aku harus membalas kebaikan mereka. Itu lah mengapa aku memilih menyerah dengan musik klasik ku.” Ujar Keita lagi.
“Walaupun mereka bukan orang tua kandung mu, tapi aku yakin mereka sangat menyayangi mu dan ingin melihat kau bahagia. Tidak ada orang tua yang ingin menyusahkan anaknya Kei..” ku lihat Keita menunduk. Aku mendekatkan tangan ku untuk menyentuh bahunya, namun aku segera menariknya kembali.
Tiba – tiba Keita mengangkat wajahnya dengan cepat. Bibirnya menyunggingkan senyum. Lalu ia berlari ke arah piano di tengah panggung dan segera saja memainkan jari nya di atas tuts – tuts piano tersebut.
“Kau tahu musik apa ini?” tanya nya masih sambil memainkan piano nya dengan riang. Aku mendekat dan menatapnya heran. Sebenarnya apa yang ada dipikiran laki – laki ini?
Symphony no. 5 karya Beethoven.” Jawabku enteng.
“Bagaimana kau tahu?”
“Siapa pun yang mendengarnya pasti akan tahu musik yang terkenal itu Kei.” Ujar ku tersenyum.
“Kau benar... Ishikawa?” Keita sedikit ragu menyebut nama ku. Aku baru sadar bahwa sejak tadi aku belum memperkenalkan nama ku dengan baik padanya.
“Aku Nana Ishikawa.”
“Kau benar, Nana. Aku harus percaya pada mimpi ku, dan akan ku buktikan pada ayahku kalau aku mampu. Aku akan berjuang untuk menjadi pianis terkenal. Dan aku akan selalu menyebut nama ayah ku di setiap konserku, aku janji akan menjadi kebanggaannya. Setidaknya aku bisa membalas sedikit budi ku pada keluarga ku. Bukankah begitu?” celoteh Keita riang. Ternyata anak ini sangat menyenangkan juga. Dia telah berhasil menemukan titik terang dari masalahnya.
“Kau benar.” Jawab ku singkat.
“Ayo duduk disini. Kau harus menebak musik apa yang ku mainkan.” Aku pun duduk di sampingnya. Keita mulai memainkan piano di hadapannya lagi. Aku dapat dengan mudah mengenali musik itu.
First Arabesque karya Claude Debussy, musik ini merupakan musik klasik kesukaanku .”
Sou desu (jadi begitu).” Keita berhenti memainkan piano nya, ia terlihat berpikir sejenak. Tiba – tiba ia tersenyum senang seperti baru mendapatkan ide.
“Lagu kali ini pasti tidak akan bisa kau tebak.” Ujarnya sangat optimis. Aku tidak mau kalah darinya. Aku mendengarkan dengan baik setiap nada yang di hasilkan piano didepan ku ini. Otakku terus berputar mengingat musik ini. Aku pun berhasil mengingat nama musik ini, tapi bukan hanya itu saja. ‘Ingatan’ tentang lagu ini pun kembali memasuki pikiranku. Jantungku berdegup kencang, napasku memburu. Segera saja aku menjatuhkan tanganku diatas tuts piano didepan ku untuk mengacaukan permainan Keita. Lebih tepatnya adalah untuk menghentikan permainan musiknya.
“Nana – chan, doushite (Nana, kenapa)?” tanya Keita. Mungkin ia aneh melihat tingkah laku ku. Aku hanya menggeleng.
“Nana – chan, wajahmu pucat. Apa kau sakit?”
“Tolong jangan mainkan musik itu, Kei.”
“Memangnya kenapa?” Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaannya. Tiba – tiba Keita kembali memainkan musik yang sama,
“Katakan padaku ada apa dengan musik ini!” Aku tidak menjawab, sebagai gantinya aku hanya menggeleng dengan kuat sambil menutup telinga ku dengan tangan ku. Aku memohon agar ia tidak memainkan musik itu lagi tapi Keita tidak menghiraukan ku, ia masih memainkan musik itu dengan piano didepan kami. Tangisku pun akhirnya pecah, tubuhku merosot ke lantai. Melihatku terduduk di lantai, baru lah Keita menghentikan permainannya dan ikut duduk bersama ku di lantai. Wajahnya menunjukkan penyesalan.
“Toccata and Fugue in D minor  karya Johann Sebastian Bach.” Ujar ku sambil sedikit terisak menyebutkan nama dari musik itu. Keita terdiam.
Dulu ibu ku adalah ballerina (penari balet wanita). Aku mungkin juga menurunkan bakat menari itu, makanya aku sudah mahir menari balet meski aku belum lama memasuki sekolah balet. Aku juga selalu menghadiri setiap pementasan ibuku, dan hal itu lah yang membuat ku sangat akrab dengan musik klasik.
Namun suatu hari di pementasannya, entah apa yang sebenarnya terjadi, ibu ku gagal melakukan gerakan Fouttes en Tournant (gerakan berputar ke kiri sebanyak 32 kali dengan kaki kanan menjinjit di ujung jari, sementara kaki kiri diletakkan di lutut). Karena kegagalannya itu, ia mengalami cedera pada kakinya yang menyebabkan ia tidak bisa menari balet lagi. Setelah itu, ia membuang semua hal yang berkaitan dengan balet. Padahal aku tahu bahwa balet adalah separuh hidupnya.
Aku mengerti kesedihan yang di rasakan ibu ku. Dan akhirnya aku juga memutuskan untuk berhenti menari balet. Aku seakan mengalami trauma dari kejadian yang dialami ibu ku. Aku takut mengalami hal yang sama dengannya. Selain itu, aku juga tidak ingin membuat ibu ku teringat dengan balet jika aku terus belajar menari balet.
Oh iya musik yang barusan kau mainkan adalah musik pengiring saat ibu ku gagal melakukan gerakan Fouttes en Tournant. Makanya aku tidak terlalu suka dengan lagu itu.” Aku menjelaskan panjang lebar kepada Keita.
“Kei, mengapa takdir sekejam ini terhadapku? Kini ayah dan ibu ku sudah tidak ada, mimpi dan harapan ku pun musnah. Aku memang suka bernyanyi, tapi mimpi ku yang sesungguhnya adalah menjadi ballerina seperti ibu ku.” Aku kembali terisak dan menutup wajahku dengan kedua belah tanganku. Ku rasakan tangan Keita mengusap – usap rambut ku pelan.
“Sepertinya tadi ada seseorang yang mengajari ku arti mimpi, dan menyuruh ku untuk mempertahankan mimpi itu.” Aku memandang Keita sejenak.
“Kita berbeda. Mimpi ku bukan sesuatu yang dipaksa untuk berhenti oleh orang lain. Ini seperti musnah dari dalam hati ku. Berbeda dengan mu yang masih dengan erat memegang mimpi itu, aku sudah melepaskan nya sejak lama Kei.”
“Sama saja, Nana. Mimpi mu juga sesuatu yang dipaksa untuk berhenti. Tapi bukan oleh seseorang, melainkan oleh sesuatu juga. Yaitu rasa trauma mu! Kau tidak harus berjuang melawan seseorang yang nyata seperti aku, kau hanya perlu berjuang melawan trauma itu. Hanya itu, Nana!” kata – kata Keita membuat ku tersentak. Apakah aku mampu melawan rasa trauma yang sudah lama menghantui ku?
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Asal kau bersungguh – sungguh, kau pasti bisa mematahkan trauma itu. Lagi pula, trauma tidak akan hilang jika hanya dihindari. Trauma itu justru harus dihadapi dengan berani.” Aku berusaha mencerna kata – kata Keita. Aku membenarkan kata – kata Keita dalam hati. Aku juga ingat beberapa saat yang lalu aku kembali menari karena musiknya yang mampu membuat ku lupa akan trauma itu.
“Ah, aku lelah memperdebatkan hal ini Kei. Bisakah kau mainkan lagi musik kesukaanku?”
“Tentu saja, nona.” Ujar Keita riang. Musik yang dihasilkan piano itu memenuhi seluruh sudut aula pementasan. Musik itu mampu menenangkan pikiran ku yang kacau. Bagaimana bisa sebuah trauma menghadang ku meraih mimpi ku sendiri? ‘Ini hidupku! Ini mimpiku! Aku akan berjuang untuk ini!’ dalam hati aku menguatkan diri sendiri. Musik First Arabesque masih menggema diseluruh penjuru ruangan ini. Aku menutup mataku untuk menikmati musik ini, bibirku menyunggingkan senyum. Dia dan musiknya membuat ku hidup kembali.
◦♫♥♪◦

Tidak ada komentar :