Takeda sensei meminta ku untuk
membawakan buku tugas teman – teman sekelas ku ke mejanya di ruang guru. Aku
menuruni tangga dengan hati – hati. Sulit untuk melihat anak – anak tangga
tersebut karena terhalang oleh buku yang bertumpuk – tumpuk ini. Tinggal
beberapa anak tangga lagi yang harus ku lalui ketika ku rasakan sesuatu yang
licin di bawah sepatuku. Mungkin lantai anak tangga ini basah. Aku sulit
mengendalikan tubuhku, dan akhirnya aku merasakan tubuhku terjerembab ke depan.
Sesaat, aku berpikir akan menabrak lantai yang keras, namun dugaanku salah. Aku
jatuh tepat diatas sesuatu yang... empuk?
“Aawwww.” Terdengar erangan keras dibawahku. Aku yang masih dalam
keadaan shocked pun segera bangkit.
Saat aku berdiri, aku melihat buku tugas teman – teman ku berserakan di lantai,
beberapa anak yang berada di koridor menatapku aneh, dan... seorang laki – laki
terlentang di lantai. Oh, tidak! Laki – laki ini adalah orang yang sama dengan
yang ku temui di aula pementasan kemarin.
“Gomen, gomen (maaf, maaf).”
Hanya kata itu yang bisa ku ucapkan sambil mengulurkan tanganku ke arah laki –
laki itu. Laki – laki itu menatapku dengan pandangan sinis lalu menepis
tanganku. Ia pun berdiri dengan usaha sendiri. Tiba – tiba Takeda sensei muncul di hadapanku.
“Kalian baik – baik saja?”
Aku mengangguk. “Sensei (guru),
maaf aku menjatuhkan buku – bukunya.” Kataku sambil membungkukkan badan.
“Tidak apa – apa. Dan kalau begitu, Kiyomizu pergilah bersama Ishikawa
ke ruang kesehatan.”
“Hai, sensei (iya, guru).”
Kata laki – laki yang di panggil Kiyomizu oleh Takeda sensei itu. Laki – laki itu pun beranjak pergi.
“Kawamoto, tolong bereskan buku ini dan bawa ke meja saya.” Ujar Takeda sensei lagi kepada seorang laki – laki
yang tengah memperhatikan ke arah kami. Laki – laki itu pun mulai membereskan
buku yang berserakan, sementara aku berlari untuk mengikuti Kiyomizu ke ruang
kesehatan.
Kiyomizu pun berhenti di depan sebuah ruangan dan masuk ke dalamnya. Ini
bukan ruang kesehatan, tapi ini adalah aula pementasan. Aku sedikit ragu, lalu
kuputuskan untuk masuk agar aku bisa meminta maaf lagi kepada Kiyomizu. Kali
ini aku lihat Kiyomizu duduk di kursi penonton, tidak di kursi piano seperti
saat pertama kali aku melihatnya. Aku pun duduk di sampingnya.
“Kiyomizu – kun (panggilan untuk laki – laki yang lebih muda,
atau yang sudah akrab), gomen ne (Kiyomizu,
maaf ya).” Kataku memulai pembicaraan.
“Aku
adalah senpai (kakak kelas) mu. Aku
di kelas 3 A.”
“Ee? Gomen
ne Kiyomizu senpai (hah? maaf ya
kakak Kiyomizu).” Aku baru tahu bahwa dia adalah senpai ku.
“Ah,
terdengar lebih aneh. Tidak perlu memanggilku dengan senpai. Aku Keita Kiyomizu, panggil saja aku Keita – kun.” Aku
mengangguk – angguk menanggapi perkatannya. Sejenak tidak ada yang berbicara,
ruangan yang besar ini menjadi bertambah hening.
“Kau tidak
bermain piano lagi?” aku berbasa – basi membuka pembicaraan. Tapi aku tidak
mendengar jawaban dari Keita. Aku menatapnya sejenak. Wajahnya menegang.
Tangannya pun mencengkeram pegangan kursi dengan erat. Aku tidak tahu apa yang
membuat sikap nya berubah seperti itu. Sebelumnya ia baik – baik saja.
“Keita –
kun,” panggilku. Keita seakan baru tersadar. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi,
ia terlihat sedikit lebih santai sekarang.
“Aku
tidak akan bermain musik lagi.” Jawabnya terlihat murung.
“Kenapa?”
Aku kaget mendengar jawabannya.
“Sejak
kecil aku sudah belajar musik klasik. Namun 2 tahun yang lalu ayahku menyuruhku
untuk berhenti mempelajari musik klasik, padahal ia tahu aku ingin sekali
menjadi pianis terkenal. Ia bilang kalau musik tidak akan membantu dalam bisnis
keluarga kami. Kemudian ia menyuruhku untuk fokus mempelajari bisnis. Tadinya
ia sempat memaksaku untuk pindah ke sekolah bisnis di Eropa, tapi aku menolak.
Dan akhirnya aku berjanji kalau aku tidak akan bermain musik lagi, setelah itu
ayah ku baru berhenti memaksaku.” Aku sempat tertegun mendengar penuturannya.
Orang yang beberapa saat lalu menepis tangan ku dibawah tangga dan memandangku
dengan tatapan sinis ini ternyata punya kehidupan yang cukup... menyentuh ku
rasa.
“Sebuah
mimpi dan harapan tidak akan terhenti hanya karena seseorang memaksa kita untuk
menghentikannya. Dan aku yakin kau masih memegang mimpi menjadi pianis itu
dengan erat, walau kau tidak yakin dengan apa yang kau pertahankan itu.
Menurutku, kau harus tetap percaya pada mimpi itu dan membuktikan pada ayah mu
mengenai kemampuan mu itu. Ayah mu pasti akan tergugah karena keyakinan mu akan
mimpi mu itu. Dan bukan tidak mungkin ayah mu akan mengizinkan kau melanjutkan
mimpi menjadi pianis mu itu lagi.”
“Aku
tidak boleh egois. Aku tidak boleh memaksakan keinginan ku sendiri. Aku... aku
harus membalas budi kepada keluarga ku.” Jawab Keita tetap murung.
“Keita,
tidak ada orang tua yang mengharapkan balasan dari anaknya.”
“Tapi aku
berbeda! Aku bukan anak kandung mereka!” Deg! Satu lagi fakta kehidupan Keita
yang membuat ku bersimpati padanya.
“Mereka
mengangkat ku sejak aku masih kecil. Mereka menghidupiku dengan kehidupan yang
sangat layak. Mereka menyekolahkan ku, memenuhi semua kebutuhan ku, dan mereka
lah yang memperkenalkan aku dengan musik klasik. Aku harus tahu diri!
Setidaknya aku harus membalas kebaikan mereka. Itu lah mengapa aku memilih
menyerah dengan musik klasik ku.” Ujar Keita lagi.
“Walaupun
mereka bukan orang tua kandung mu, tapi aku yakin mereka sangat menyayangi mu
dan ingin melihat kau bahagia. Tidak ada orang tua yang ingin menyusahkan
anaknya Kei..” ku lihat Keita menunduk. Aku mendekatkan tangan ku untuk
menyentuh bahunya, namun aku segera menariknya kembali.
Tiba –
tiba Keita mengangkat wajahnya dengan cepat. Bibirnya menyunggingkan senyum.
Lalu ia berlari ke arah piano di tengah panggung dan segera saja memainkan jari
nya di atas tuts – tuts piano tersebut.
“Kau tahu
musik apa ini?” tanya nya masih sambil memainkan piano nya dengan riang. Aku
mendekat dan menatapnya heran. Sebenarnya apa yang ada dipikiran laki – laki
ini?
“Symphony no. 5 karya Beethoven.” Jawabku
enteng.
“Bagaimana
kau tahu?”
“Siapa
pun yang mendengarnya pasti akan tahu musik yang terkenal itu Kei.” Ujar ku
tersenyum.
“Kau
benar... Ishikawa?” Keita sedikit ragu menyebut nama ku. Aku baru sadar bahwa
sejak tadi aku belum memperkenalkan nama ku dengan baik padanya.
“Aku Nana
Ishikawa.”
“Kau
benar, Nana. Aku harus percaya pada mimpi ku, dan akan ku buktikan pada ayahku
kalau aku mampu. Aku akan berjuang untuk menjadi pianis terkenal. Dan aku akan
selalu menyebut nama ayah ku di setiap konserku, aku janji akan menjadi
kebanggaannya. Setidaknya aku bisa membalas sedikit budi ku pada keluarga ku.
Bukankah begitu?” celoteh Keita riang. Ternyata anak ini sangat menyenangkan
juga. Dia telah berhasil menemukan titik terang dari masalahnya.
“Kau
benar.” Jawab ku singkat.
“Ayo
duduk disini. Kau harus menebak musik apa yang ku mainkan.” Aku pun duduk di
sampingnya. Keita mulai memainkan piano di hadapannya lagi. Aku dapat dengan
mudah mengenali musik itu.
“First Arabesque karya Claude Debussy, musik ini
merupakan musik klasik kesukaanku .”
“Sou desu (jadi
begitu).” Keita berhenti memainkan piano nya, ia terlihat berpikir sejenak. Tiba – tiba ia tersenyum senang seperti baru mendapatkan ide.
“Lagu kali ini pasti tidak akan bisa kau tebak.” Ujarnya sangat optimis.
Aku tidak mau kalah darinya. Aku mendengarkan dengan baik setiap nada yang di
hasilkan piano didepan ku ini. Otakku terus berputar mengingat musik ini. Aku
pun berhasil mengingat nama musik ini, tapi bukan hanya itu saja. ‘Ingatan’
tentang lagu ini pun kembali memasuki pikiranku. Jantungku berdegup kencang,
napasku memburu. Segera saja aku menjatuhkan tanganku diatas tuts piano didepan
ku untuk mengacaukan permainan Keita. Lebih tepatnya adalah untuk menghentikan
permainan musiknya.
“Nana – chan, doushite (Nana,
kenapa)?” tanya Keita. Mungkin ia aneh melihat tingkah laku ku. Aku hanya
menggeleng.
“Nana – chan, wajahmu pucat. Apa kau sakit?”
“Tolong jangan mainkan musik itu, Kei.”
“Memangnya kenapa?” Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaannya.
Tiba – tiba Keita kembali memainkan musik yang sama,
“Katakan padaku ada apa dengan musik ini!” Aku tidak menjawab, sebagai
gantinya aku hanya menggeleng dengan kuat sambil menutup telinga ku dengan
tangan ku. Aku memohon agar ia tidak memainkan musik itu lagi tapi Keita tidak
menghiraukan ku, ia masih memainkan musik itu dengan piano didepan kami.
Tangisku pun akhirnya pecah, tubuhku merosot ke lantai. Melihatku terduduk di
lantai, baru lah Keita menghentikan permainannya dan ikut duduk bersama ku di
lantai. Wajahnya menunjukkan penyesalan.
“Toccata and Fugue in D minor
karya Johann Sebastian Bach.” Ujar ku sambil sedikit terisak menyebutkan
nama dari musik itu. Keita terdiam.
“Dulu ibu ku adalah ballerina (penari balet wanita).
Aku mungkin juga menurunkan bakat menari itu, makanya aku sudah mahir menari
balet meski aku belum lama memasuki sekolah balet. Aku juga selalu menghadiri
setiap pementasan ibuku, dan hal itu lah yang membuat ku sangat akrab dengan
musik klasik.
Namun
suatu hari di pementasannya, entah apa yang sebenarnya terjadi, ibu ku gagal
melakukan gerakan Fouttes en Tournant (gerakan berputar ke kiri sebanyak 32
kali dengan kaki kanan menjinjit di ujung jari, sementara kaki kiri diletakkan
di lutut). Karena kegagalannya itu, ia mengalami cedera pada kakinya yang
menyebabkan ia tidak bisa menari balet lagi. Setelah itu, ia membuang semua hal
yang berkaitan dengan balet. Padahal aku tahu bahwa balet adalah separuh
hidupnya.
Aku
mengerti kesedihan yang di rasakan ibu ku. Dan akhirnya aku juga memutuskan
untuk berhenti menari balet. Aku seakan mengalami trauma dari kejadian yang
dialami ibu ku. Aku takut mengalami hal yang sama dengannya. Selain itu, aku
juga tidak ingin membuat ibu ku teringat dengan balet jika aku terus belajar
menari balet.
Oh iya
musik yang barusan kau mainkan adalah musik pengiring saat ibu ku gagal
melakukan gerakan Fouttes en Tournant. Makanya aku tidak terlalu suka dengan
lagu itu.” Aku menjelaskan panjang lebar kepada Keita.
“Kei,
mengapa takdir sekejam ini terhadapku? Kini ayah dan ibu ku sudah tidak ada,
mimpi dan harapan ku pun musnah. Aku memang suka bernyanyi, tapi mimpi ku yang
sesungguhnya adalah menjadi ballerina seperti ibu ku.” Aku kembali terisak dan
menutup wajahku dengan kedua belah tanganku. Ku rasakan tangan Keita mengusap –
usap rambut ku pelan.
“Sepertinya
tadi ada seseorang yang mengajari ku arti mimpi, dan menyuruh ku untuk
mempertahankan mimpi itu.” Aku memandang Keita sejenak.
“Kita berbeda.
Mimpi ku bukan sesuatu yang dipaksa untuk berhenti oleh orang lain. Ini seperti
musnah dari dalam hati ku. Berbeda dengan mu yang masih dengan erat memegang
mimpi itu, aku sudah melepaskan nya sejak lama Kei.”
“Sama
saja, Nana. Mimpi mu juga sesuatu yang dipaksa untuk berhenti. Tapi bukan oleh
seseorang, melainkan oleh sesuatu juga. Yaitu rasa trauma mu! Kau tidak harus
berjuang melawan seseorang yang nyata seperti aku, kau hanya perlu berjuang
melawan trauma itu. Hanya itu, Nana!” kata – kata Keita membuat ku tersentak.
Apakah aku mampu melawan rasa trauma yang sudah lama menghantui ku?
“Tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini. Asal kau bersungguh – sungguh, kau pasti
bisa mematahkan trauma itu. Lagi pula, trauma tidak akan hilang jika hanya dihindari.
Trauma itu justru harus dihadapi dengan berani.” Aku berusaha mencerna kata –
kata Keita. Aku membenarkan kata – kata Keita dalam hati. Aku juga ingat
beberapa saat yang lalu aku kembali menari karena musiknya yang mampu membuat
ku lupa akan trauma itu.
“Ah, aku
lelah memperdebatkan hal ini Kei. Bisakah kau mainkan lagi musik kesukaanku?”
“Tentu
saja, nona.” Ujar Keita riang. Musik yang dihasilkan piano itu memenuhi seluruh
sudut aula pementasan. Musik itu mampu menenangkan pikiran ku yang kacau.
Bagaimana bisa sebuah trauma menghadang ku meraih mimpi ku sendiri? ‘Ini
hidupku! Ini mimpiku! Aku akan berjuang untuk ini!’ dalam hati aku menguatkan
diri sendiri. Musik First Arabesque masih
menggema diseluruh penjuru ruangan ini. Aku menutup mataku untuk menikmati
musik ini, bibirku menyunggingkan senyum. Dia dan musiknya membuat ku hidup
kembali.
◦♫♥♪◦
Tidak ada komentar :
Posting Komentar