Aku menenteng tas belanjaanku sambil berjalan santai melalui jalanan yang
cukup padat. Kaki ku mulai terasa pegal setelah hampir setengah hari ku
habiskan mengelilingi distrik Shinjuku ini untuk membeli beberapa barang
kebutuhan balet. Tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu di dalam etalase toko
yang sedang ku lewati. Aku berhenti sejenak di depan toko yang memajang Point Shoes (sepatu yang khusus di
gunakan untuk melakukan gerakan En Pointe
atau gerakan menjinjit dengan ujung
jari dalam balet) di etalasenya itu.
Melihat sepatu itu, tanpa sadar ingatan 9 bulan yang lalu itu terbuka
kembali. Senyum ku mengembang ketika mengingatnya. ‘Ah, sudahlah. Dia tidak
akan kembali.’ Ujarku dalam hati. Aku pun melanjutkan perjalanan. Angin berhembus
agak kencang karena saat ini adalah awal musim dingin. Aku mempercepat langkah.
Tiba – tiba aku mendengar suara harmonika yang mengalun dengan indah. Aku
mengedarkan pandangan. Di ujung jalan ini, aku melihat beberapa orang
berkerubung sambil bertepuk tangan mengikuti alunan musik. Mungkin mereka
sedang mengerumuni musisi jalanan. Apakah musisi jalanan itu yang bermain
harmonika?
Aku pun memutuskan untuk menikmati musik itu sejenak. Saat semakin
dekat, aku baru menyadari musik yang dimainkan itu bukan musik biasa. Tidak
semua musisi jalanan bisa melakukannya. Aku mempertajam pendengaran ku.
“Benar. Ini adalah Eine Kleine Nachtmusik karya Mozart.” Ujarku tanpa sadar. Rasa penasaran terus
mendorong kaki ku untuk melangkah maju ke tengah kerumunan. Di tengah kerumunan
itu, aku melihat sang musisi tengah duduk sambil memainkan harmonika. Poni nya
jatuh menutupi mata sebelah kanannya. Namun aku bisa melihat mata kirinya yang
tidak tertutup poni terpejam menikmati alunan yang ia ciptakan bersama alat
musik yang digunakannya.
Dan yang mengejutkannya lagi, bibirnya menyunggingkan senyum. Mungkin ia
puas dengan harmoni yang ia ciptakan dan antusiasme orang – orang yang
mendengarnya. Tapi bukan itu yang membuat napasku memburu secara tiba – tiba.
Senyum itu, aku betul – betul mengenalnya. Senyum yang tak pernah ku lihat
sejak 9 bulan yang lalu. Senyum yang sangat ku rindukan...
◦♫♥♪◦
21 bulan yang lalu.
“Ohayou, minna-san. Hajimemashite. Watashi wa Nana Ishikawa desu. Dozou yoroshiku (selamat pagi
semuanya. Senang bertemu dengan anda. Nama saya Nana Ishikawa. Mohon
bimbingannya).” Aku membungkukkan badan di depan teman – teman baruku. Hari ini
adalah awal semester di kelas 2. Aku merupakan murid pindahan dari Hokkaido.
Aku pindah karena belum lama ini ibu ku meninggal dunia, dan ayah ku sudah jauh
mendahuluinya yaitu saat aku berumur 8 tahun. Sementara aku tidak punya satupun
saudara kandung. Saat ini aku tinggal bersama paman Ishikawa –adik ayah ku– dan
keluarganya di distrik Minato.
“Silahkan duduk, Ishikawa.” Ujar Takeda sensei (guru), wali kelas ku sekaligus guru mata pelajaran bahasa
Inggris. Aku pun memilih kursi dibelakang seorang gadis berkaca mata.
“Now open your book page 12.” Ujar Takeda sensei lagi kepada seluruh muridnya dan segera memulai pelajaran.
“Ohayou. Watashi wa Aya Fujita desu (selamat
pagi. Nama ku Aya Fujita).” Kata gadis berkaca mata itu kepadaku. Aku tersenyum
membalas perkenalan namanya.
“Hajimemashite. Watashi wa
Nana Ishikawa desu (senang bertemu
dengan anda. Nama ku Nana Ishikawa).” Setelah itu, Aya kembali menghadap ke
depan. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, ke sebuah pohon yang dihiasi
bunga – bunga indah. Mungkinkah musim semi kali ini akan menjadi awal baru yang
baik untukku? Aku harap begitu.
◦♫♥♪◦
Aku pulang sedikit terlambat. Setelah jam sekolah berakhir, aku segera
mendaftar untuk kelas tambahan ku. Aku memilih kelas vokal karena aku suka
bernyanyi. Keluarga dari ibu ku memang berdarah seni. Nenek ku adalah seorang
yang memiliki banyak bakat seni. Ibu ku menurunkan bakat menarinya, sedangkan
beberapa bibiku menurunkan bakat menyanyi nenek. Mungkin aku juga mendapat
bakat menyanyi dari nenek.
Mereka yang sama – sama mengambil kelas vokal sudah memiliki kemampuan
yang bisa dibilang sangat hebat, aku masih sangat jauh dibandingkan mereka.
Untuk itu seusai kelas vokal berakhir, aku memutuskan tetap tinggal untuk
berlatih sendiri. Saking asyiknya mengasah suara, aku sampai lupa waktu. Sudah
jam 7.30 malam saat aku meninggalkan kelas vokal.
Aku berjalan santai melalui koridor yang masih terang. Lalu samar –
samar aku mendengar lantunan musik, aku penasaran dengan musik itu. Siapa yang
bermain musik malam – malam begini? Aku pun memutuskan untuk mengikuti suara
itu. Dan aku berhenti tepat didepan sebuah pintu. Di atas pintu tersebut
terpampang tulisan “Aula Pementasan”. Untuk sesaat aku sempat ragu untuk
membuka pintu tersebut. Lalu aku menguatkan hatiku. Tidak ada hantu secerdas
itu, sampai bisa memainkan musik yang indah. Jika memang yang bermain musik
didalam itu hantu, paling itu hantu Beethoven atau hantu Mozart. Ah, tidak apa
– apa. Mungkin aku bisa mendapat tanda tangan mereka. Atau setidaknya meminta
mereka mengajarkanku bagaimana cara membaca not balok. Ku buka pintu aula
tersebut.
Ditengah panggung, terdapat sebuah piano hitam yang mengilat tertimpa
cahaya lampu. Dibelakangnya, ku lihat seorang laki – laki tengah asyik
memainkan jari – jarinya diatas tuts hitam putih. Setelah cukup dekat, aku baru
mengetahui bahwa matanya tengah terpejam. Pantas saja ia tidak menyadari
kehadiranku. Aku naik ke atas panggung agar bisa lebih dekat memerhatikan
permainan piano laki – laki itu. Aku kenal musik ini, salah satu musik terkenal
karya Mozart.
Ada yang aneh disini. Musik yang dihasilkan piano itu seperti memiliki
kekuatan magis. Aku terdorong untuk menggerakkan badan ku mengikuti musik yang
mengalun dengan indah. Aku melepas sepatuku. Perlahan – lahan kaki ku bergerak
– gerak, kedua tanganku pun mengayun di udara mengikuti irama musik itu. Ku
rasakan anggota tubuhku agak sedikit kaku, mungkin karena sudah lama aku tidak
menari. Aku melompat – lompat kecil, kemudian kaki kiriku menjinjit dan ku
luruskan kaki kananku di udara sementara kedua tanganku terentang. Sudah lama
sekali aku tidak melakukan gerakan Arabesque
ini. Setelah itu aku kembali melompat – lompat dengan riang. Kesenanganku
terhenti ketika tiba – tiba suara piano menjadi tak keruan. Sang pemain menekan
ke sepuluh jarinya sekaligus ke atas tuts – tuts piano secara kasar, tak
terirama, penuh emosi.
Aku hanya bisa memperhatikan nya dengan heran. Tiba – tiba laki – laki
itu berdiri meninggalkan piano nya. Saat itu lah pandangan kami bertemu. Dia
tampak kaget melihatku yang berdiri mematung.
“Kenapa kau berhenti? Padahal permainan mu tadi bagus sekali. Eine Kleine
Nachtmusik karya Mozart bukan?” aku berceloteh sok akrab.
“Siapa kau?” balasnya bertanya dengan nada sedikit kasar. Pertanyaan
macam apa itu?
“Aku Ishikawa. Tadi aku tidak sengaja lewat, lalu aku medengar permainan
musik mu.” Jawab ku tidak se-sok akrab sebelumnya.
“Jangan datang kesini lagi.” Kata laki – laki itu sambil menunduk. Aku
tidak bisa mendengar dengan jelas ucapannya, kata – katanya seolah ditujukan
untuk diri sendiri.
“Maaf?” tanyaku, berharap ia mengulangi kata – katanya.
“Tidak.” Jawabnya singkat, lalu pergi meninggalkan panggung menuju pintu
keluar. Aku hanya bisa menatap punggungnya. Laki – laki aneh macam apa yang
menikmati permainannya sendiri lalu dalam sekejap diliputi emosi yang sulit
ditafsirkan? Dan laki – laki macam apa yang dengan musiknya mampu membuatku
lupa dengan trauma menari yang ku miliki walaupun hanya sekejap?
◦♫♥♪◦
Tidak ada komentar :
Posting Komentar