Waktu
berlalu dengan sangat cepat. Bulan berganti musim. Aku dan Keita menjadi
partner yang saling melengkapi. Kami selalu berlatih bersama. Aku menari balet
(meskipun kelas tambahan ku tetap kelas vokal), sedangkan ia mengiringi
tarianku dengan musik klasiknya. Nyaman. Itu lah kata yang selalu ku ucapkan
pada diri sendiri saat berada di sampingnya. Entah apa yang membuat ku bisa
senyaman itu bersamanya. Bersama, kami saling menyemangati. Bersama, kami
membangun kembali kehidupan baru dengan mimpi yang tergenggam erat di tangan
kami, dengan mimpi yang menjadi bagian dari setiap udara yang kami hirup, dengan
mimpi yang membayangi setiap gerakan tari ku dan permainan lembut pianonya.
Keita
Kiyomizu. Ia dan musiknya adalah pelengkap kehidupan ku. Bersama dengan balet,
Keita dan musiknya, aku benar – benar hidup.
Suatu
hari ia mengatakan sesuatu yang mencengangkan ku. Dia mengajakku untuk tampil
dalam acara perpisahan siswa kelas 3. Aku sedikit ragu, semua orang tua murid
kelas 3 pasti akan datang ke acara itu. Bagaimana dengan ayah nya Keita? Seakan
dapat menjawab pikiran ku, Keita mengatakan tidak peduli pada apa yang bisa di
lakukan ayahnya jika mengetahui ia masih bermain musik. Ia bahkan tidak peduli
bahkan jika harus meninggalkan rumah. Mendengar kepercayaan dirinya, aku
mengangguk. Menyetujui ajakannya.
Tiba –
tiba ia menyodorkan sebuah kotak kepadaku. Aku pun membukanya. Sebuah Point Shoes. Dia bilang aku harus janji
agar terus menari dan tidak boleh membiarkan trauma itu datang kembali. Satu kata yang ia ucapkan saat itu, “Ganbatte ne (semangat ya)!”
◦♫♥♪◦
Kursi
penonton hampir terisi penuh. Tangan ku basah oleh keringat saking gugupnya.
Sesaat lagi aku dan Keita akan tampil pada acara perpisahan siswa kelas 3 ini.
“Nana –
chan, saat musim semi bulan depan nanti, kita hanami (piknik sambil menikmati mekarnya bunga sakura yang indah)
ke Ueno Park ya.” ujar Keita mengagetkan ku. Apa yang ia bicarakan? Seharusnya
sekarang ia menenangkan ku agar tidak gugup lagi. Kenapa malah membicarakan
musim semi? Nama aku dan Keita pun di panggil oleh sang pemandu acara, Keita
menuju ke panggung terlebih dahulu dan memainkan piano solo nya untuk beberapa
saat. Lalu baru lah aku masuk untuk menari balet.
Permainan
musiknya selalu indah. Dari balik panggung, aku mencoba mencari sosok ayah
Keita. Tapi aku tidak kenal wajahnya, jadi bagaimana bisa aku menemukannya.
Yang ku tahu pasti, ia ada di salah satu dari ratusan penonton ini. aku tidak
tahu akan jadi seperti apa responnya. Lalu Keita mengakhiri musik solonya. Kini
giliran aku mencuri perhatian penonton.
Dengan
gugup aku menuju ke tengah panggung. Sekilas aku menatap Keita. Ia balas
menatap ku dengan tatapan yakin sambil tersenyum. Hal itu sudah cukup menjadi
keberanianku. Aku mulai menyesuaikan gerakan ku dengan musik yang mengalun.
Kaki ku dengan lincah menghentak – hentak di atas lantai. Aku pun mengambil
ancang – ancang untuk melakukan Grand
Jete (lompatan tinggi dengan kaki terbentang lurus di udara). Aku melangkah
dengan kaki kiri, lalu aku menyentakkan kaki kanan ku dengan keras. Aku
terbang. Segera saja penonton bertepuk tangan begitu kaki ku dengan mulus
menyentuh lantai panggung kembali.
Aku dan
Keita mendapat tepuk tangan yang sangat meriah dari penonton. Kami
membungkukkan badan bersama – sama dan Keita menggenggam tangan ku dengan erat
menuju ke belakang panggung. Yang aku tahu, aku dan Keita siap berjuang lebih
keras untuk mimpi kami. Yang aku tidak tahu, kami akan berjuang dengan jalan
yang berbeda.
◦♫♥♪◦
Aku
menghampiri musisi jalanan yang juga tengah tertegun menatapku itu. Semenjak
hari perpisahan itu, aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku pikir ia sudah
dikirim ke Eropa oleh ayahnya. Ia bahkan tidak menepati janji nya untuk
mengajak ku hanami ke Ueno Park. Aku
kembali hilang arah, hanya balet yang membuat ku tetap bertahan. Tapi, rasanya
timpang menari tanpa iringan musik darinya. Walaupun begitu, aku sudah berhasil
masuk ke Swan Ballet Dance Company, salah satu kelompok balet terkenal di
Jepang. Dan pementasan ku rutin setiap 2 minggu sekali.
“Jadi
disini kau bersembunyi selama ini? Aku pikir kau sudah menjadi pengecut yang
membuang mimpi mu sendiri.” Sulit menahan emosi ku. Entah marah, peduli,
bahagia, atau sedih. Aku tidak mengerti ucapan ku cocoknya mendeskripsikan
emosi apa. Satu hal yang aku tahu. Hidup ku kembali utuh. Bukannya membalas
ucapanku, alih – alih Keita malah memelukku.
“Ayah
mengusir ku keluar. Aku sadar aku bukan siapa – siapa tanpa nya. Aku mencoba
memulai nya dari awal lagi. Aku ingin membeli piano dengan hasil kerja ku
sendiri. Makanya beberapa bulan ini aku bernyanyi di perempatan jalan di
distrik ini agar bisa menabung. Nana – chan, aku sangat merindukanmu.” Ujar
Keita sambil masih memelukku.
“Aku juga
sangat merindukan mu dan musikmu. Bisakah kau memainkan musik kesukaan ku?”
segera saja Keita melepaskan pelukannya dan memainkan musik First Arabesque dengan harmonikanya.
Beberapa orang kembali memperhatikan kami. Aku ingin merasakan hidup yang
sesungguhnya lagi. Aku melepas sepatuku. Hanya dengan beralaskan kaus kaki, aku
mulai menari mengikuti harmoni musik yang diciptakan Keita dan harmonikanya.
Beberapa orang yang lewat menjatuhkan uang mereka didepan kami. Aku senang sekali.
Tidak, bukan karena uang itu. Tapi karena kebahagiaan telah menjalari setiap
sendi ku lagi.
Tak lama,
ada sebuah mobil yang berhenti dipinggir jalan dekat kami. Seorang laki – laki
paruh baya turun dan menghampiri kami. Keita berhenti memainkan alat musiknya,
aku pun berhenti menari.
“Keita,
kami sangat merindukan mu. Kembali lah ke rumah, nak. Hidupkan lah rumah kita
dengan musikmu.” Ujar laki – laki itu dengan sangat mengejutkan. Jadi dia
adalah ayahnya Keita.
“Otou-san, arigatou gozaimasu. Arigatou ne
otou – san (ayah, terima kasih. Terima kasih banyak ya, yah)!” ujar Keita
sambil menghambur ke pelukan ayahnya. Kedua ayah dan anak itu larut dalam
kerinduan mereka. Aku mengusap air mata ku terharu.
“Kami
tunggu kau di rumah. Cepat kembali lah. Ibu mu sangat merindukanmu.” Ujar ayah
Keita lagi sambil melepaskan pelukannya.
“Hai, otou-san (iya, ayah)” jawab Keita
mantap. Setelah itu ayah Keita pergi meninggalkan kami. Keita pun sesaat
menatapku. Ada begitu banyak cerita yang ku tangkap dari sinar matanya. Satu
hal yang aku tahu pasti, Keita telah merengkuh kebahagiannya lagi, begitu juga
dengan ku.
Suara
harmonika kembali terdengar. First
Arabesque kembali mengisi distrik Shinjuku yang ramai ini. Aku kembali
menggerakkan badan ku. Aku dan Keita tahu, kami dapat merengkuh dunia dengan
mimpi dan cinta yang telah menyebar di setiap aliran darah dalam tubuh kami.
Keita, kau dan musikmu akan selalu menjadi bagian dalam hidupku, selamanya. Dan
Arabesque adalah satu hal yang menyatukan kita. Tarian ku, musik mu, dan mimpi
kita.
◦♫♥♪◦
"Berjuanglah untuk segala hal yang ingin kau raih dalam hidup ini. Karena mimpi bukanlah suatu hal yang mustahil untuk Tuhan Yang Maha Agung"
Tidak ada komentar :
Posting Komentar