Purple Bow Tie

Selasa, 11 Juni 2013

Arabesque Chapter 3 (End)



Waktu berlalu dengan sangat cepat. Bulan berganti musim. Aku dan Keita menjadi partner yang saling melengkapi. Kami selalu berlatih bersama. Aku menari balet (meskipun kelas tambahan ku tetap kelas vokal), sedangkan ia mengiringi tarianku dengan musik klasiknya. Nyaman. Itu lah kata yang selalu ku ucapkan pada diri sendiri saat berada di sampingnya. Entah apa yang membuat ku bisa senyaman itu bersamanya. Bersama, kami saling menyemangati. Bersama, kami membangun kembali kehidupan baru dengan mimpi yang tergenggam erat di tangan kami, dengan mimpi yang menjadi bagian dari setiap udara yang kami hirup, dengan mimpi yang membayangi setiap gerakan tari ku dan permainan lembut pianonya.
Keita Kiyomizu. Ia dan musiknya adalah pelengkap kehidupan ku. Bersama dengan balet, Keita dan musiknya, aku benar – benar hidup.
Suatu hari ia mengatakan sesuatu yang mencengangkan ku. Dia mengajakku untuk tampil dalam acara perpisahan siswa kelas 3. Aku sedikit ragu, semua orang tua murid kelas 3 pasti akan datang ke acara itu. Bagaimana dengan ayah nya Keita? Seakan dapat menjawab pikiran ku, Keita mengatakan tidak peduli pada apa yang bisa di lakukan ayahnya jika mengetahui ia masih bermain musik. Ia bahkan tidak peduli bahkan jika harus meninggalkan rumah. Mendengar kepercayaan dirinya, aku mengangguk. Menyetujui ajakannya.
Tiba – tiba ia menyodorkan sebuah kotak kepadaku. Aku pun membukanya. Sebuah Point Shoes. Dia bilang aku harus janji agar terus menari dan tidak boleh membiarkan trauma itu datang kembali.  Satu kata yang ia ucapkan saat itu, “Ganbatte ne (semangat ya)!”
◦♫♥♪◦
Kursi penonton hampir terisi penuh. Tangan ku basah oleh keringat saking gugupnya. Sesaat lagi aku dan Keita akan tampil pada acara perpisahan siswa kelas 3 ini.
“Nana – chan, saat musim semi bulan depan nanti, kita hanami (piknik sambil menikmati mekarnya bunga sakura yang indah) ke Ueno Park ya.” ujar Keita mengagetkan ku. Apa yang ia bicarakan? Seharusnya sekarang ia menenangkan ku agar tidak gugup lagi. Kenapa malah membicarakan musim semi? Nama aku dan Keita pun di panggil oleh sang pemandu acara, Keita menuju ke panggung terlebih dahulu dan memainkan piano solo nya untuk beberapa saat. Lalu baru lah aku masuk untuk menari balet.
Permainan musiknya selalu indah. Dari balik panggung, aku mencoba mencari sosok ayah Keita. Tapi aku tidak kenal wajahnya, jadi bagaimana bisa aku menemukannya. Yang ku tahu pasti, ia ada di salah satu dari ratusan penonton ini. aku tidak tahu akan jadi seperti apa responnya. Lalu Keita mengakhiri musik solonya. Kini giliran aku mencuri perhatian penonton.
Dengan gugup aku menuju ke tengah panggung. Sekilas aku menatap Keita. Ia balas menatap ku dengan tatapan yakin sambil tersenyum. Hal itu sudah cukup menjadi keberanianku. Aku mulai menyesuaikan gerakan ku dengan musik yang mengalun. Kaki ku dengan lincah menghentak – hentak di atas lantai. Aku pun mengambil ancang – ancang untuk melakukan Grand Jete (lompatan tinggi dengan kaki terbentang lurus di udara). Aku melangkah dengan kaki kiri, lalu aku menyentakkan kaki kanan ku dengan keras. Aku terbang. Segera saja penonton bertepuk tangan begitu kaki ku dengan mulus menyentuh lantai panggung kembali.
Aku dan Keita mendapat tepuk tangan yang sangat meriah dari penonton. Kami membungkukkan badan bersama – sama dan Keita menggenggam tangan ku dengan erat menuju ke belakang panggung. Yang aku tahu, aku dan Keita siap berjuang lebih keras untuk mimpi kami. Yang aku tidak tahu, kami akan berjuang dengan jalan yang berbeda.
◦♫♥♪◦
Aku menghampiri musisi jalanan yang juga tengah tertegun menatapku itu. Semenjak hari perpisahan itu, aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku pikir ia sudah dikirim ke Eropa oleh ayahnya. Ia bahkan tidak menepati janji nya untuk mengajak ku hanami ke Ueno Park. Aku kembali hilang arah, hanya balet yang membuat ku tetap bertahan. Tapi, rasanya timpang menari tanpa iringan musik darinya. Walaupun begitu, aku sudah berhasil masuk ke Swan Ballet Dance Company, salah satu kelompok balet terkenal di Jepang. Dan pementasan ku rutin setiap 2 minggu sekali.
“Jadi disini kau bersembunyi selama ini? Aku pikir kau sudah menjadi pengecut yang membuang mimpi mu sendiri.” Sulit menahan emosi ku. Entah marah, peduli, bahagia, atau sedih. Aku tidak mengerti ucapan ku cocoknya mendeskripsikan emosi apa. Satu hal yang aku tahu. Hidup ku kembali utuh. Bukannya membalas ucapanku, alih – alih Keita malah memelukku.
“Ayah mengusir ku keluar. Aku sadar aku bukan siapa – siapa tanpa nya. Aku mencoba memulai nya dari awal lagi. Aku ingin membeli piano dengan hasil kerja ku sendiri. Makanya beberapa bulan ini aku bernyanyi di perempatan jalan di distrik ini agar bisa menabung. Nana – chan, aku sangat merindukanmu.” Ujar Keita sambil masih memelukku.
“Aku juga sangat merindukan mu dan musikmu. Bisakah kau memainkan musik kesukaan ku?” segera saja Keita melepaskan pelukannya dan memainkan musik First Arabesque dengan harmonikanya. Beberapa orang kembali memperhatikan kami. Aku ingin merasakan hidup yang sesungguhnya lagi. Aku melepas sepatuku. Hanya dengan beralaskan kaus kaki, aku mulai menari mengikuti harmoni musik yang diciptakan Keita dan harmonikanya. Beberapa orang yang lewat menjatuhkan uang mereka didepan kami. Aku senang sekali. Tidak, bukan karena uang itu. Tapi karena kebahagiaan telah menjalari setiap sendi ku lagi.
Tak lama, ada sebuah mobil yang berhenti dipinggir jalan dekat kami. Seorang laki – laki paruh baya turun dan menghampiri kami. Keita berhenti memainkan alat musiknya, aku pun berhenti menari.
“Keita, kami sangat merindukan mu. Kembali lah ke rumah, nak. Hidupkan lah rumah kita dengan musikmu.” Ujar laki – laki itu dengan sangat mengejutkan. Jadi dia adalah ayahnya Keita.
Otou-san, arigatou gozaimasu. Arigatou ne otou – san (ayah, terima kasih. Terima kasih banyak ya, yah)!” ujar Keita sambil menghambur ke pelukan ayahnya. Kedua ayah dan anak itu larut dalam kerinduan mereka. Aku mengusap air mata ku terharu.
“Kami tunggu kau di rumah. Cepat kembali lah. Ibu mu sangat merindukanmu.” Ujar ayah Keita lagi sambil melepaskan pelukannya.
Hai, otou-san (iya, ayah)” jawab Keita mantap. Setelah itu ayah Keita pergi meninggalkan kami. Keita pun sesaat menatapku. Ada begitu banyak cerita yang ku tangkap dari sinar matanya. Satu hal yang aku tahu pasti, Keita telah merengkuh kebahagiannya lagi, begitu juga dengan ku.
Suara harmonika kembali terdengar. First Arabesque kembali mengisi distrik Shinjuku yang ramai ini. Aku kembali menggerakkan badan ku. Aku dan Keita tahu, kami dapat merengkuh dunia dengan mimpi dan cinta yang telah menyebar di setiap aliran darah dalam tubuh kami. Keita, kau dan musikmu akan selalu menjadi bagian dalam hidupku, selamanya. Dan Arabesque adalah satu hal yang menyatukan kita. Tarian ku, musik mu, dan mimpi kita.
◦♫♥♪◦

"Berjuanglah untuk segala hal yang ingin kau raih dalam hidup ini. Karena mimpi bukanlah suatu hal yang mustahil untuk Tuhan Yang Maha Agung"

Tidak ada komentar :